bab 4
“Aku.....” Tanganku terus memainkan ujung jilbab persegi empat warna pink yang kukenakan.
“Jujur aja sayang, kalo emang kalian saling mencintai, ya nggak papa menikah. Umur kamu juga udah 20 tahun kan.” Nasehat dari ummi.
Aku masih menunduk, malu. Pipiku rasanya panas banget. Reza nyenggol lenganku.
“Kamu diajakin ngomong. Kok malah tidur sih.”
Iisshh emang rese dia ya. Nggak tau kalo aku grogi nggak karuan kek gini. Aku melotot kearahnya.
“Eh, malah melototin. Kita semua nunggu jawaban kamu kak. Bukan malah melotot kek gitu.” Omongnya lagi. Iihh pen aku jitak kepalanya itu. Nyebelin banget.
“Sayang,” mama Fhika ikutan manggil. “Gimana? Kamu mau?”
Aku menatap wajah om Evan yang juga menatapku sedari tadi. Wajahnya teduh, tampan dan terlihat penuh kelembutan. Dia seumuran Ayah, tapi jujur aku memang tertarik padanya. Menikah itu prinsipku sekali seumur hidup, aku nggak boleh salah pilih imam. Tampang baik belum tentu dia baik sama Alloh juga kan. Aku belum mengenalnya lebih dalam lagi, aku belum mengenalnya sedekat apa dia sama Tuhanku.
Beralih aku menatap Ayah, ummi, mama dan Papa Re. “Aku minta waktu untuk mikirin ini dulu Pa, Yah, om.” Itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
Terlihat om Evan menghembuskan nafas kasarnya. “Iya nggak papa Dek,” ucap om Evan yang aku tau, aslinya dia nggak ngarep jawaban ini yang keluar dari mulutku.
Mendengar panggilan itu wajahku bersemu merah, ada banyak kupu-kupu terbang disampingku. Seneng bangeeeettt.
“Lah, ngomong iya aja pake acara mikir, biasanya kamu nggak pernah mikir kan.” Aku timpuk bahunya pakai tas selempangku dengan pelan. Reza ngeloyor masuk kedalam.
“Dasar,” umpatku lirih.
“Kalo gitu saya permisi ya. Mau balik ke kantor.” Om Evan beranjak. Menjabat tangan papa Re dan Ayah.
“Hati-hati ya Van.”
“Iya. Makasih ya Lin.”
Ayah hanya tersenyum dan menepuk lengan om Evan. Lalu dia menatapku dengan senyum manis itu.
“Aku balik ke kantor dulu ya dek.” Pamitnya padaku.
Iihh malu, karna ada keluargaku disini. “Iya om, hati-hati.”
Dia berjalan keluar rumah, reflek kakiku mengikutinya keluar rumah. Membalikkan badan sebelum membuka pintu mobil. “Aku akan tunggu jawabannya Dek,” lalu tersenyum manis.
Aku hanya terpaku Melihatnya hingga dia masuk kedalam mobil dan mulai menjalankannya pergi meninggalkan rumahku. Aku Kembali masuk setelah asap mobil om Evan nggak kelihatan.
“Aure, duduk dulu sayang.” Mama Fhika nyuruh aku duduk disofa tempat kita ngobrol tadi.
Papa sama Ayah udah nggak kelihatan. Pasti mereka main badminton disamping rumah.
Aku nurut, meraih setoples kacang telur favoriteku dan duduk memangkunya. “Kenapa ma?”
“Kamu udah lama kenal sama Evan?” tanya ummi.
Aku ngangguk. “Pas aku kelas 1 SMP dulu mi.”
“Jadi diam-diam kamu sering ketemu sama dia?” mama Fhika ikutan kepo.
Aku Cuma nyengir. Kaya’nya mending nggak usah ngomong deh. Kalo jawab baru tiga kali ketemu, pasti kedua wanita didepanku ini syok.
“Iihh mama sama ummi kepo. Aku mau istirahat ah.” Aku meninggalkan mereka yang masih diam menanti ceritaku.
“Aure!!” teriak umi yang nggak terima aku tinggalkan.
Meletakkan tas diatas meja, nyopot sepatu dan jilbab. Mulai merebahkan tubuh diatas ranjang. Mata menerawang jauh, wajah om Evan lengkap dengan senyum manis itu berkelebatan. Membuat bibirku mengulas senyum berkali-kali.
Ddrrtt....ddrrtt
Ponsel yang ada didalam tas bergetar, ada panggilan telfon masuk. Aku bangkit dan mengambil ponsel. Tertera nama ‘Zefan’ si penelfon.
“Assalamualaikum,” sapaku dengan malas.
“Waalaikumsalam sayang.”
“Iiisshh apa sih zef, nggak usah panggil kek gitu deh. Geli banget.” Ucapku dengan sewot.
Terdengar tawa kecil darinya. “Nanti sore gue main kerumah elo ya.”
“Enggak.” Tolakku.
“Kenapa? Ada Reza kan? Kita nggak akan berduaan.” Dia tau aku selalu menggunakan alasan itu untuk menolak ajakannya.
“aku udah ada janji Zef. Udah deh ya, aku mau bobok siang. Assalamualaikum.”
Aku tutup telfon sepihak. Lalu meletakkan ponsel di sampingku. Tiba-tiba wajah jail Zefan melintas dikepalaku, ah dia. Tampan, maco dan dia sangat baik. Tapi entahlah, aku nggak tau kenapa aku sama sekali nggak punya rasa apapun kedia. Bahkan saat dekat dengannya jantung rasanya biasa aja. Beda jauh kalo sama om Evan.
Baru mengingat namanya aja, itu udah buat bibirku mengulas senyum.
Ddrrtt....drrtt
Kembali ponsel bergetar, sekarang ada sebuah pesan wa yang masuk. Aku langsung duduk saat melihat nama si pengirim.
“Om Evan,” ucapku lirih dengan senyuman yang semakin menjadi.
[Nanti jam 6 ada acara?]
Segera kuketik pesan balasan.
[Nggak ada om] kirim, dan itu langsung centang dua biru.
[Mau jalan-jalan?]
Kembali aku tertawa kecil. [Mau]
[Aku jemput jam 5]
Aku langsung guling-guling diatas tempat tidur. Terasa ada banyak bunga bermekaran didalam dadaku.
~~
Berkali-kali menatap bayanganku didalam cermin lemari yang memperlihatkan seluruh tubuh. Aku cantik, dengan make up tipis, kerudung warna hijau lumut dan baju yang senada. Aku pakai celana jeans dan sepatu kets warna hitam sama seperti warna tas yang tersampir di bahuku.
Tok...tok....tok
“Re, itu dibawah ada Evan.” Suara ummi dari luar kamar.
Senyum kembali menghiasi wajahku. “Iya mi, bentar.”
Memegang kedua pipi dengan tanganku, mengatur nafas agar aku tak grogi dan terlihat biasa saja.
Bismilah....
Mulai melangkah keluar kamar, menuruni tangga pelan dan berjalan menuju ruang tamu. Mataku tertuju pada seorang lelaki yang memakai topi terbalik, rambut bagian depan terlihat sedikit, dengan kaos panjang warna maroon dan celana jeans warna hitam, pakai sepatu kets warna maroon juga. Ya Alloh, sempurna sekali ciptaanmu ini. Dia memang sudah berumur, tapi sangat tak terlihat jika umurnya jauh dariku.
Dia sibuk mengusap ponselnya hingga tak menyadari kedatanganku. Lanjut menempelkan ponsel di telinga.
“Udah jadi?” ngomong sama ponsel. “Ok, nanti aku ambil.”
Dia menutup ponselnya, sesaat mata kita bertemu. Dadaku berdebar saat matanya menatapku tak kedip, bahkan di langsung berdiri dan terus menatapku. Aku jadi salah tingkah.
“Ada yang salah om?” aku nunduk memperhatikan sepatu, celana, bajuku, bahkan membenarkan posisi jilbabku.
“Kamu cantik.” Ucapnya.
Aku mendongakkan kepala menatapnya, ternyata dia udah jalan keluar rumah. Kembali senyum mengembang dibibirku. Aku mengikutinya keluar rumah, ternyata dia lagi ngomong sama Ayah.
“Aku ajak Kaureen jalan bentar ya.” Ijinnya sama Ayah.
Ayah tersenyum dan menepuk pundak om Evan. “Jagain gadisku ya.”
“Percayain sama aku.”
Kembali senyum bahagia menghiasi wajahku, senang melihat dua lelaki yang kini mulai membuatku tersipu malu. Segera aku membuka pintu mobil om Evan dan duduk di samping kemudi.
Om Evan masuk ke mobil, dia mulai hidupin mesin, kemudian natap aku. Kaya’ ada sesuatu yang mau dia omongin. Aku balas natap dia, lama-lama dia mendekat. Tangannya terulur mengunci tubuhku, bisa aku rasakan hembusan nafas yang begitu hangat menyapu wajahku. Kulitnya putih bersih tanpa ada bekas komedo ataupun jerawatnya. Lama mata kami saling menyapa. Aku sangat berharap dia tak mendengar degub jantung yang semakin tak karuan ini. Karna wajahnya kian mendekat, aku menutup mataku, memperkirakan apa yang akan terjadi.
“Jangan lupa pasang pengamannya dek,” ucapnya lembut. Tangannya memasang sealbeat di tubuhku, lalu kembali duduk keposisi awal dan mulai menjalankan mobil.
Huufftt......jantung masih nggak karuan, aku mengelus dadaku pelan. Terlihat dia melirikku sambil tersenyum kecil.
Aku dan dia sama-sama diam dalam keheningan. Dia menyalakan musik, lagunya bondan mengalun memenuhi mobil. Aku mulai mengikuti alunan lagu yang berjudul ‘Bunga’. Samar aku mendengar om Evan mengikuti lirik lagunya.
“Seakan mataku tertutup,
Kuingin cinta ini dapat kau sambut
Harapkan perasaan ini kau tau
Sungguhku ingin kau jadi milikku.”
Aku tersenyum mendengar suara om Evan saat nyanyi, lumayan lah, merdu. Perjalanan kurang lebih 45 menit, kita sampai didepan sebuah resto yang bernuansa alam. Om Evan mengajakku masuk, naik kelantai tiga, tepatnya di rooftop. Kita duduk dibagunan yang mirip gubuk disebelah pinggir. Dari atas sini, aku bisa melihat seluruh bangunan gedung-gedung dan jalanan yang macet dikota jakarta. Aku juga bisa menatap bintang yang memenuhi langit malam.
“Waahh, viewnya indah banget om.”
“Kamu suka?” tanyanya. Dia mulai duduk di kursi.
Aku ngangguk, masih takjub dengan pemandangannya. Menelentangkan kedua tanganku, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Aku Excited disini. Lama aku berdiri melihat keramaian jakarta. Tiba-tiba ada jaket yang menempel di tubuhku.
“Dingin,” om Evan menempelkan jaket yang sedari tadi dia tenteng. Dia berdiri disampingku.
“Om nggak pakai jaket?”
Dia tersenyum dan melipat tangan didepan dada. “Ngeliat kamu seneng aku juga udah seneng.”
“Apaan nggak nyambung.”
Dia terkekeh. “maaf ya.” Ucapnya kemudian.
Aku menatapnya dengan kening berkerut. “Buat apa?”
“Tetiba ngelamar kamu.”
Aku Cuma diam kemudian menatap lurus kedepan.
“Maaf, aku hanya takut kamu dipinang yang lainnya. Padahal belum tentu kamu nerima aku juga.” Dia tersenyum kecil. “tapi aku serius kok.”
Aku menatapnya. “iya om, aku tau om nggak main-main. Tapi, aku masih belum yakin sama apa yang aku rasakan. Buatku, menikah itu sekali seumur hidup. Aku hanya ingin mengenal om dulu sebelum mengambil keputusan.”
“Itu lebih bagus.”
“Silahkan dinikmati.” Seorang pelayan sudah selesai menata makanan pesanan om Evan tadi.
“Iya mbak, makasih.” Ucapku, dan pelayan itu pergi.
Kami berdua duduk di meja bulat, saling berhadapan dan mulai memakan steak yang kami pesan.
“Enak ya om makanannya. Sama kaya’ buatan mama Fhika.”
Dia tersenyum. “Iya, aku udah lama nggak pernah makan disini. Rasanya masih sama.”
Hening. Kami makan dalam diam, setelah selesai makan om Evan memberiku kotak kecil berwarna hitam, ada pita ditengahnya.
“Buatmu.”
Ragu untuk meraihnya. “Apa ini om?”
“Sebut saja hadiah.”
“Tapi aku nggak lagi ulangtahun.”
“Aku si nggak perlu nunggu ulangtahun untuk memberimu hadiah. Buka aja, moga kamu suka.”
Aku meraih kotak itu, membukanya pelan. Sebuah jilbab segi empat berwarna caramel dengan motif ilalang di bagian ujungnya. Sangat cantik.
“Bagus banget ini om.” Aku kembali menutup kotak hitam ini dan memasukkan kedalam tasku. “Makasih ya om. Aku pasti akan memakainya.”
Om Evan hanya tersenyum dan mengangguk, dia mengalihkan pandangannya.
Ddrrtt....ddrrtt
Ponselku bergetar, sebuah panggilan telfon masuk. Zefan sipenelfon, sejenak aku melirik om Evan yang ternyata menatapku.
“Angkat aja,” ucapnya, lalu berdiri dan berjalan disamping pagar pembatas.
“Asslamualaikum,” sapaku dengan malas.
“Waalaikumsalam Re,” suara Zefan di sebrang sana, suasana terdengar berisik. Sudah pasti dia sedang ada di club. Biasanya dia juga begitu.
“Kenapa Zef?”
“Tadi aku kerumahmu, kata tante Zeta kamu sudah lebih dulu pergi dengan seorang lelaki. Jadi diam-diam kamu menjalin hubungan dengan seseorang Re?”
“Ngomong apa sih Zef. Itu bukan urusan kamu ya.”
“Itu penting buatku Re, secepatnya aku akan melamarmu. Tunggu waktunya. Assalamualaikum.”
Zefan mematikan telfon sepihak. Aku menatap layar ponsel yang kembali menghitam. “Waalaikumsalam.”
Kembaliku masukkan ponsel kedalam tas. Beranjak dan ikut berdiri disamping om Evan.
“Jadi kamu benar udah punya pacar ya?” tanya om Evan dengan tiba-tiba. “Maaf deh, malah bawa kamu kabur gini. Yaudah yuk, aku antar pulang.”
“Om, aku....”
“Aku nggak papa Dek,” dia berjalan lebih dulu.
~~
Didalam mobil kami sama-sama terdiam, akupun bingung harus ngomongnya gimana. Tapi aku juga nggak mau om Evan salah faham dengan Zefan.
Mobil berhenti didepan sebuah masjid yang ada dipinggiran jalan.
“Kita sholat magrib dulu dek.” Tanpa nunggu tanggapan dariku dia sudah lebih dulu keluar.
Aku mengikuti langkahnya. Kita berpisah ditempat wudhu. Mengikuti sholat magrib berjamaah dan langsung kembali kedalam mobil.
**
Mobil berhenti tepat di depan rumahku, bahkan aku sudah melihat mobilku ada didepan rumah. Pasti om Evan sudah menyuruh seseorang mengantarnya.
“om,” Aku menarik kaosnya saat dia hendak membuka pintu. Dia menoleh dan menatapku penuh tanya. “Aku belum punya pacar, aku dan Zefan memang sudah berteman sejak SMA. Aku tau dia menyukaiku, makanya aku menjauh karna tak ingin dia terlalu berharap lebih padaku.”
Ada guratan kelegaan diwajah om Evan. “Makasih,” dia menepuk lembut kepalaku yang tertutup jilbab. “Jadi, apa aku ada harapan?”
Aku hanya tersenyum lalu membuka pintu mobil dan keluar. Menyisakan wajah om Evan yang kesal dan berusaha mengejarku.
“Dih, udah gede main kejar-kejaran.” Reza yang baru aja keluar rumah menatapku heran.
“Mau kemana?” sapa om Evan pada adikku itu.
“Biasa om, mau ke pesantren. Ada pengajian disana.”
“Boleh ikut,”
“Yakin?”
“Tentu.”
“Ayo.”
“Naik mobilku aja.” Om Evan mendekatiku yang masih berdiri diambang pintu. “Pamitin ke ayah dan Ummi ya, aku pergi ngaji sama Reza. Nanti balik kesini lagi.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Iya om.”
“Yuk Za,”
“Om mau pakai kaos gitu?”
“Aku ada baju koko sama sarung di mobil.”
“Oh,”
Aku masih berdiri menatap kepergian dua lelaki itu masuk ke mobil dan pergi meninggalkan rumah.