bab 9
“Insyaalloh besok malam Ayah dan Ibuk saya akan saya ajak datang kesini untuk meminta Aure secara resmi.” Ucap Evan dengan sopan.
Mereka sedang duduk diruang tamu. Linxi, Zeta, Aure dan Evan. Reza sudah ada di pesantren. Memang hampir setiap hari Reza selalu menghabiskan waktu dipesantren.
“Makasih Van. Jujur, aku sangat bahagia mendengar kabar ini. Walau aku masih belum bisa melepaskan anak gadisku untuk lelaki yang dia sayangi.” Linxi menanggapi.
“Jadi, kamu nggak nerima lamaranku ini Lin?” Tanya Evan dengan khawatir. Wajah itu juga terlihat di Aure.
Linxi menyunggingkan senyum. “Khawatir banget nggak aku terima jadi mantu.” Linxi terkekeh. “Jelas aku terima, nggak sabar pengen cepet dengar kamu panggil aku dengan panggilan ‘Ayah’. Hahahh.....” tawanya mulai terdengar.
“Dasar calon mertua sialan!!” Evan nglempar bantal sofa ke Linxi.
“Yang sopan sama mertua!! Aku tolak tau rasa kamu!!” ancam Linxi dengan bercanda.
“Cckkk, kesalahan tuhan terfatal itu jadiin Aure anak kamu.” Balas Evan sambil geleng-geleng kepala.
“Huuss malah nyalahin sang pencipta. Dosa!!”
“Mending dosa deh dari pada nggak jadi kawin sama Aure.” Jawab Evan enteng.
Gadis berjilbab putih yang sedari tadi diam itu mulai menunduk, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Gombalan Evan selalu membawa kupu-kupu beterbangan dikepalanya.
Ummi Zeta hanya ikut tertawa kecil mendengarkan obrolan absurd kedua pria itu. “Silahkan diminum dulu Van.”
“Iya, makasih ummi.” Evan meraih gelas berisi jus jeruk didepannya.
“Ppcckk, kalo yang ini aku nggak rela. Berasa kamu mengencani istriku.” Seru Linxi.
“Uhuk...uhuk...uhuk.” evan tersendak minumannya. “Anjiirr emang. Aku suruh panggil Zeta apa?”
“Au ah.”
Evan mulai berdiri. “Aku permisi ya, udah malam. Assalamualaikum.”
Linxi dan Evan berjabatan tangan. “Waalaikumsalam, hati-hati ya nak.”
Evan meninju bahu Linxi pelan. “Mertua sinting.”
Evan menatap kedua wanita yang juga berdiri disamping Linxi. “Pamit ya. Assalamualaikum.”
Zeta mengangguk. “Waalaikumsalam.”
Tanpa diminta, Aure segera berjalan mengekori Evan yang melangkah keluar rumah. Berhenti tepat disamping mobil Evan. Mereka berdiri berhadapan. Evan bisa menatap wajah bahagia Aure saat ini. Wajah yang merona merah dan senyum manis itu sangat terlihat.
“Pamit ya dek. Aku pulang dulu. Besok kalau nggak ada halangan aku main kesini.”
Masih dengan senyum yang mengembang, Aure mengangguk. “Hati-hati ya om. Aku tunggu.”
“Assalamualaikum dek.”
“waalaikumsalam.”
Evan masuk kemobil dan mulai menyalakan mesin. Menatap sekilas ke Aure sebelum menjalankannya, melambaikan tangan dengan pelan lalu berjalan pergi.
Aure memegangi kedua pipinya yang terasa panas, lalu masuk kedalam setelah mobil Evan tak lagi terlihat.
Tanpa dia sadari, ada seorang lelaki dengan wajah memerah dibakar cemburu di atas moge berwarna putih kombinasi orange.
“Jadi itu lelaki yang berhasil ngerebut hati calon bini gue.” Ucapnya penuh kebencian. “Lihat aja. Gue nggak akan biarin lo dimiliki yang lain.”
Dengan kecepatan tinggi, Zefan kembali menjalankan mogenya meninggalkan rumah Aure. Motor Zefan berhenti diparkiran basemen sebuah club terbesar di Jakarta. Tempat biasa dia menghabiskan waktu luang.
Dia langsung masuk keruang VIP di lantai tiga. Gabung sama Willy, Lucta dan Been. Naruh pantat disofa samping Been dan ngambil sebotol wiski, menuangkan kedalam gelas, beberapa kali meneguknya hingga tak terasa dia hampir habis sebotol wiski.
“Kenapa ni anak?” tanya Willy pada kedua temannya yang memang sedari tadi memperhatikan Zefan.
“Kaya’nya lagi patah hati deh.” Sahut Been sambil tersenyum menyeringai.
“Heran sama dia, bisa tergila-gila sama gadis culun kaya’ Aure gitu. Apa bagusnya coba?” Lucta menimpali.
“Iya, bodynya aja nggak keliatan. Pakai baju ketutup terus. Jangan-jangan panuan.” Been yang ngomong.
Langsung ditonyor sama Willy. “Itu namanya perempuan sholeha bego. Otak kadal!!!”
“Ah, ngimpi aja lo Zef punya bini sholeha gitu. Tiap malam lo main unyel-unyelan.” Lucta ngomong sama Zefan yang udah hilang kesadaran.
Zefan mulai berdiri, narik seorang cewek sexy yang pakai baju kurang bahan, dan membawanya masuk kedalam kamar.
“Tuh, kelakuan kek gitu masih ngimpi dapat yang sholeha!!! Nggak logis!!” Been meneguk segelas wiski dan mengikuti langkah Zefan dengan menggandeng cewek juga.
“Sampai detik ini lo belom pengen nyoba Wil?” tanya si Lucta. Karna memang hanya Lucta dan Willy yang tak pernah menyewa wanita bayaran. Mereka hanya sekedar main di club dan minum-minum.
Willy geleng kepala. “Gue ngebayanginnya aja jijik.”
Lucta mengeryitkan dahinya. “Why?”
“Bekas beberapa orang, dadanya udah banyak yang ngelumat. Emang udah abis mandi, dan bersih. Tapi gue ngebayangin banyak kuman dari mulut orang-orang itu. Iihh ogah!!” Willy begidik ngeri.
“Tai lo!!” umpat Lucta, lalu meneguk segelas wiski.
“Cih, kalo aja nggak ada Amanda, gue pastiin tiap malam juga lo unyel-unyel cewek bayaran disini.” Ucap Willy. Dia merebahkan tubuhnya disofa, mengambil sebatang rokok, menyalakan korek dan mulai terlihat asap mengepul dari batang rokok itu.
Lucta hanya tersenyum mendengar ucapan Willy, karna memang benar adanya. Amanda, wanita yang dia kencani selama setahun ini. Masih duduk dibangku SMA kelas tiga. Tapi sudah berkali-kali Lucta menyentuhnya, bahkan lebih.
“Udah ah, cabut. Kata-kata lo bikin gue pengen ngelonin Amanda.” Lucta beranjak dan melangkah keluar ruangan.
“Anjiing!!” umpat Willy. Tak begitu lama, Willy mengikuti langkah Lucta.
~~
Pukul 8.00am
Evan sudah standby didepan rumah Aure. Karna dia cuti tiga hari, dia ingin mengantar jemput Aure selama kuliah. Tentu atas ijin Linxi, ayah Aure.
“Om, apa nggak ngerepoti si? Aku nggak enak sama Ibuk dan Ayahnya om.” Kata Aure saat sudah masuk kedalam mobil.
Evan segera menjalankan mobil meninggalkan rumah Aure. “Ngabtar calon istri nggak ada yang salah dek.” Jawab Evan tanpa natap Aure.
“Om,...emmm” Aure mencoba mencari tema lain dari obrolannya.
“Kenapa?” kali ini Evan melirik Aure sekilas.
“Sebelumnya apa om udah pernah berkeluarga?”
“Belum.” Jawabnya singkat, bahkan terlihat tak berniat memperpanjang ulasan.
“Pernah punya pacar?” tanya Aure lagi setelah lama menanti ulasan tapi tak dia dapatkan.
“Udah, sekali. Udah pesan baju pengantin. Tapi gagal nikah.”
“Udah lama om?”
“Iya, 10 tahun yang lalu. Sebelum aku ketemu sama kamu.”
“Berarti udah move on ya?”
“Ya udahlah. Sekarang yang ada dihati ini Cuma kamu dek. Aku ingin segera menghalalkanmu. Agar sepenuhnya bisa jagain kamu.” Evan menatap Aure sekilas untuk memperlihatkan keseriusannya.
Aure mengedip-ngedipkan matanya sambil memegangi kedua pipi yang mulai memerah karna tersipu malu.
Evan tersenyum melihat tingkah Aure yang menggemaskan. “Ngapain kek gitu? Baru gitu aja seneng. Apa lagi kalo udah aku nikahi. Aahhh aku yang seneng.”
Seketika Aure tertawa kecil melengking. “Ya seneng dong om. Ini pertama kalinya aku menyukai seseorang.”
Evan mendekik. “Masa’?”
“Iihh nggak percaya. Dari dulu banyak sih yang ngedeketin.”
“Sombong.”
“Enggak sombong, ini mau cerita. Dengerin jangan dikomentari.”
Evan menyunggingkan senyum tanpa membalas kata-kata Aure.
“Dulu waktu aku masih SMA, aku pernah ditembak sama kakak kelas tiga orang. Adik kelas dua orang, teman seangkatan tiga orang dan yang satu kelas dua orang. Saat udah lulus sekolah, aku masuk universitas. Baru masuk ospek, aku udah ditembak sama kakak pembimbing.....”
“Berapakah jumlah kata cinta yang Aure dapat selama lima tahun ini?” Evan memotong kata-kata Aure. “Itu soal matematika deh kaya’nya.”
Aure memukul pelan kursi yang Evan duduki. “Iiihh, om Evan diceritain kok malah ngejek sih. Sebel.” Mulai cemberut dan bibirnya manyun penuh.
“Hahahha...” Evan jadi ketawa lepas melihat Aure yang kesal. Baginya itu sesuatu yang sangat menyenangkan.
“Malah ngetawain. Ini aku lagi ngambek lho om. Dibujuk kek atau dikasih apa gitu. Malah diketawain.” Sewotnya tanpa natap Evan lagi.
“Aku sih maunya kasih pelukan, ciuman dan.....”
“Kita bukan mukhrim, ommm.” Aure menekan kata-katanya dan menatap Evan dengan kesal.
“Seminggu lagi kita akan jadi mukhrim. Pasti aku kasih itu.”
Tak bisa lagi Aure menyembunyikan rasa bahagianya. “Yakin banget ya?”
“Tentu dong. Harus optimis agar semua berjalan lancar.” Evan menghentikan mobil tepat di depan kampus Aure.
Dia berbalik dari duduknya dan menatap ke Aure yang juga menatapnya. Sejenak pandangan mereka bertemu, hanya saling pandang dengan debaran dada masing-masing.
“Udah ah, aku mau ke kelas. Makasih ya om.” Aure membuka pintu mobil.
“Dek,” panggilnya sebelum kaki Aure beneran turun dari mobil. Yang dipanggil hanya noleh tanpa jawab. “Ntar pulangnya telfon aja. Aku jemput sebelum waktu pulang tiba.”
Tersenyum manis dan ngangguk. “Iya om. Om hati-hati ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, dek.”
Aure segera turun dan menutup pintu mobil. Berjalan santai menaiki tangga dan masuk kekelas. Sudah ada beberapa anak disana. Mereka sibuk dengan buku masing-masing, tapi lebih banyak yang sibuk ngobrol dengan teman didekatnya. Zefan belum tampak ada didalam. Aure mendudukkan pantat dikursi yang biasa dia tempati.
**
yang belum tau asal usul bella, ranisya, aure, baca novel BAJINGAN KESAYANGAN. kalau asal usul Evan dan keluarganya adadi novel BRANDAL KAMPUNG.