Soetedjo Grup
Olivia masih membatu. Dia tidak menyangka pagi ini akan di sambut kegilaan atasannya itu. Melepas baju? Ini tidak normal.
Mata Olivia berkaca. Dulu dia keterlaluan pada semua bawahannya. Dia sadar hal tersebut. Tapi tidak segila ini. Ternyata benar mitos mengatakan kalau karma lebih kejam.
"Apa kau tuli!?" Bentak Nicholas membuat wanita yang berada di hadapannya terkejut.
"Maaf Tuan, tapi ..." Jawab Olivia dengan bibir bergetar.
Matanya menyapu seluruh ruang. Dinding ruangan ini terbuat dari kaca yang di tutupi oleh kain tipis berwarna putih.
"Apa Chelsea tidak menjelaskan hal ini padamu? Bahwa kau harus siap setiap saat, jika aku ingin di layani. Tidak peduli di manapun itu." Nicholas bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Olivia.
Kelinci malang yang terjebak di kandang singa. Begitulah nasib Olivia sekarang. Hanya menunggu ajalnya menjemput.
Olivia mundur teratur saat Nicholas kian mendekat. Rasa sakit di pangkal tubuhnya belum sembuh sempurna. Akan amat menyakitkan jika harus di tancapkan benda tumpul itu lagi.
Wajah olivia kian cemas saat punggungnya menabrak tembok sehingga membuat langkahnya terhenti. Nicholas tersenyum bengis melihat Olivia tak berkutik.
"Tuan, aku mohon Tuan, beri aku waktu untuk terbiasa melakukan semuanya,"
Tidak mau mendengar ucapan wanita malang di hadapannya, Nicholas terus melangkah dan mendekatkan wajahya ke tengkuk Olivia. Aroma bunga lili menyeruak ke indra penciuman ria itu.
"Ada banyak wanita yang antri ingin naik ke ranjangku, harusnya kau bersyukur," bisik Nicholas dan menunggalkan gigitan kecil di tengkuk Olivia.
Argh ...
"Jangan pernah mengerang di hadapanku, atau ... aku pastikan kau tidak akan bisa turun dari ranjang besok pagi," ucap Nicholas mulai membuka kancing jas Olivia.
"Tidak Tuan, aku mohon ..."
"Semakin kau memohon, semakin aku ingin melahapmu bulat-bulat,"
Jemari Nicholas sudah berhasil membuka semua kancing jas. Olivia memberanikan diri mencengkram tangan pria yang mengungkungnya.
Mata tajam Nicholas menatap lekat mata Olivia. Dadanya kembang kempis menahan amarah, baru kali ini ada wanita yang berani menahannya.
Olivia mendorong tubuh Nicholas hingga keduanya terjatuh di sofa. Wajah muram Nicholas berubah seketika, dia kira wanita ini akan menolaknya.
Tidak ada pilihan lain. Dia sudah memutuskan untuk masuk ke dalam dunia Nicholas yang penuh lendir dan tidak bisa mundur lagi.
"Ternyata benar, kau hanya pura-pua polos." Nicholas membuang wajah.
"Kenapa? Apakah kau menyesal telah menermaku jadi sekertaris yang harus memenuhi hasratmu tiap saat?" jawab Olivia memainkan jemarinya di pundak Nicholas.
"Untung tubuhmu bisa memuaskanku, kalau tidak ... Aku akan membuangmu karena telah berani bermain-main denganku," Nicholas mendorong tubuh Olivia.
Tubuh wanita itu terhempas di lantai. Nicholas bangkit dan merapikan jasnya. Dia sedikit menunduk dan menarik rambut panjang Olivia.
"Tetaplah jadi jalang yang baikatau hanya kehancuran yang kau dapatkan nantinya," ancam Nicholas melepaskan rambut Oliva dan sedikit mendorongnya.
Nicholas mengayunkan langkah kakinya keluar ruangan. Olivia hanya mampu menatap kepergian pria tempramen tersebut. Sakit, itu yang di rasakan wanita malang ini.
Olivia bangkit dan merapikan penampilannya kembali. Dia menahan air mata yang mulai tumpah kembali. Berukang kali dia mendongakkan pandangan agar buliran bening itu tidak terjun bebas.
"Nona Olivia!" sapa seorang pria bertubuh tinggi dan gagah. Dia memakai jas dan kacamata hitam.
Olivia menarik napas panjang dan memutar tubuhnya. Dia melangkah mendekat dan menyapa pria tersebut.
"Tuan Nich menunggu Anda di mobil,"
Pria yang memakai jas hitam itu berdiri di ambangpintu, menanti seorang wanita yang tak kunjung mengayunkan langkahnya keluar ruangan.
Olivia masih sibuk menenangkan dirinya. Setelah lima menit mengatur napas dan mental, Olivia meraih tas dan beberapa berkas di atas meja kerjanya.
Wanita itu melangkah keluar ruangan di susul oleh pria bertubuh kekar di belakang. Semua pasang mata menatap ke arah Olivia. Kali ini dia benar-benar menyita perhatian.
Dirinya lebih terlihat seperti nyonya besar dari pada seorang sekertaris. Olivia megayunkan kakinya lebih cepat dan masuk ke dalm mobil.
Olivia memilih duduk di depan. Dia tidak mau berurusan dengan singa lapar di kursi belakang. Dia belum siap bila harus melayaninya pagi ini.
"Maaf Nona," ucap pria bertubuh kekar itu melempar bola matanya ke samping. Mengisyaratkan agar Olivia segera pindah kursi.
Olivia memasang wajah melas. Sebenarnya pria tubuh kekar itu kasihan. Tapi dia tidak mau amarah Tuannya meledak.
"Apa aku harus menjelaskannya lagi Ric?" ucap Nicholas dengan suara mengancam.
Ricky, pria bertubuh besar itu menundukkan kepala. Dia membuka sisi jas. Di sana Olivia bisa melihat jejeraan senjata tajam.
"Dimohon kerja samanya Nona" ucap Ricky menutup jas dan menatap tajam Olivia.
"Astaga, sebenarnya kalian pembunuh atau pembisnis." Olivia pasrah, dia turun dan pindah ke kursi belakang.
Terlihat senyum tipis di wajah Nicholas. Senyuman itu hilang seketika saat Olivia membuka pintu dan menghempaskan tubuhnya di kursi belakang.
Mobil itu melaju meninggalakan area kantor. Mata Olivia menatap jauh ke langit biru lewat jendela yang sedikit terbuka. Di samping, Nicholas sibuk dengan ponselnya.
"Kita akan bertemu dengan presidir Soetedjo Grup," ucap Nicholas dengan mata masih menatap layar ponsel.
Soetedjo Grup ...
Nama itu membuat jantung Olivia berhenti sejenak. Bongkahan bantu besar seolah menghimpit saat ini yang membuat dadanya begitu sesak.
Melihat sekertarisnya tak memberi tanggapan, Nicholas melempar pandangannya ke samping. Sepertinya, nama itu tidak asing untuk sang sekertaris.
"Jadi ada hal yang tidak aku ketahui?" tanya Nicholas menaikkan alisnya.
"Tidak Tuan, siapa yang tidak kenal perusahaan besar tersebut. Saya hanya sedikit grogi," dusta Olivia.
Bagaimana dia tidak kenal dengan perusahaan besar tersebut. Dia dan Ayahnya berusaha mati-matian untuk membesarkan nama itu. Sayang sekali Ayahnya harus menutup mata saat perusahaan itu mencapai puncak kejayaannya.
Dan sekarang ... dia pewaris tunggal malah dengan mudahnya menghancurkan usaha yang telah di perjuangkan selama lima belas tahun terakhir.
"Kau hanya perlu bertingkah seperti tadi, sangat mudah bukan!?," sahut Nicholas meremehkan.
Ingin sekali tangan Olivia melayang menampar wajah tampan yang ada di sampingnya. Dia kira dirinya adalah orang paling gila saat menyiksa semua karyawannya.
Ternyata ada yang lebih gila. Mood yang berubah di setiap detik, belum lagi sifat tempramen yang mengerikan.
"Aku anggap kau paham dan setuju, jangan pernah mempermalukanku di depan klien," ucap Nicholas kembali menatap layar ponselnya.
Olivia mencengkram tangannya kuat. Bagaimana bisa dia bertemu dengan bajingan itu, sementara kehidupannya saja masih mengenaskan seperti ini.
Mobil berhenti di depan salah satu gedung pencakar langit. Di gedung tersebut terdapat lambang perusahaan yang di buat elegan.
"Papa, maafin Oliv. Aku janji akan merebutnya lagi. Bagaimanapun caranya," bisik Olivia menekan dadanya yang tiba-tiba sesak.