Bab 2. Mencari Jalan Keluar
“Iya, kamu! Kenapa jadi grogi?” tanya Brian lebih lantang.
“Sandra!” jawab gadis polos itu yang khawatir Brian mengenali suaranya.
“Nama yang bagus. Giatlah bekerja. Jangan seperti perawat lain yang hanya bekerja beberapa hari saja di rumah ini!” ujarnya lantang lalu mulai menelan satu dari obat yang sudah diberikan Sandra padanya.
Sandra segera menoleh, lalu menatap Brian dengan ekspresi tanya mengenai hal apa yang Brian butuhkan.
"Bawakan vitaminku ke sini," kata Brian sambil menunjuk ke sebuah laci di samping tempat tidurnya.
Lekas saja Sandra menuruti perintah Brian, dan mengambil lagi nampan berisi beberapa keping vitamin kemudian ia bawa ke arah Brian.
"Silakan diminum vitaminnya, Pak," ucap Sandra dengan suara yang makin bergetar.
"Tolong kamu yang suapin obatnya untuk saya," pinta Brian lalu tersenyum nakal.
“Hah! Saya?!” Sandra melebarkan bola matanya, tak menyangka jika matannya ini masih saja bisa berbuat genit padahal dia sedang sakit. “Perasaan tadi dia bisa minum obat sendiri, kenapa sekarang malah minta di suapi?” bisik Sandra lalu menatap lagi wajah Brian yang masih tersenyum genit.
Awalnya gadis ini enggan menurut Tapi Sandra yakin perintah Brian ini tidak bisa Sandra bantah. Dia sangat butuh gaji besarnya dan dia tidak boleh melepaskan begitu saja hanya karena dia tidak menuruti perintah aneh tuannya.
"Baik, Pak." Pada akhirnya Sandra pun mengambil sebutir vitamin berwarna orange yang lekas Sandra arahkan ke mulut Brian.
"Ekhem." Sandra berdehem guna mengalihkan rasa gugupnya. “Kalau sudah, saya pamit dulu!”
"Kamu di sini dulu ya, Sandra," perintah Brian tegas.
"Tapi, Pak...." pupil mata Sandra melebar menyadari jika ini perintah yang tidak biasa.
"Ini perintah!" Brian langsung menginterupsi Sandra supaya tidak menolak.
Brian menarik tubuh Sandra hingga tubuh mungil ini pun terduduk di samping ranjang tuannya hingga mereka duduk begitu dekat.
Kedekatan itu terbilang terlalu dekat, dan tanpa di sadari Brian apa yang dia lakukan pada perawat barunya ini disaksikan oleh Widuri, tunangan Brian yang baru saja membuka pintu kamarnya.
"Kalian sedang apa?!" teriak Widuri lantang.
Sandra sontak bangkit dari duduknya, lalu terlihat kebingungan harus memberi reaksi seperti apa, tetapi Sandra memilih langsung pergi dari sana.
"Dia perawat kamu sekarang?" tanya Widuri begitu Sandra telah pergi.
"Iya." Brian menjawab singkat.
"Aku nggak mau kamu dirawat sama dia. Sebaiknya kamu pecat saja!"
Brian tak bereaksi, karena dia tidak mau memecat Sandra, sebab ada rencana yang telah tersusun di kepalanya.
“Hah! Kau ini pencemburu. Jangan begitulah. Dia perawat baru, masa mau langsung dipecat,” rayunya meyakinkan Widuri yang terkenal pencemburu.
“Kau mau aku mati cemburu melihatmu berdekatan dengan wanita muda itu!”
“Tadi dia hanya menyuapiku vitamin, sudahlah. Jangan diperpanjang!”
Bujuk rayu Brian tampaknya belum bisa diterima oleh Widuri. Lihat saja wajahnya kini masih tidak mau Sandra ada di sana.
Sebagai tunangannya, Widuri jelas tidak mau melihat Brian dekat dengan wanita lain selain dirinya, meski wanita itu berprofesi sebagai perawat Brian sekalipun.
"Aku kan butuh perawat," elak Brian yang masih ingin membujuk Widuri mengizinkan Sandra ada di sampingnya.
"Kenapa kamu nggak minta tolong aku saja?" tanya Widuri menawari bantuan. "Kan aku bisa jagain kamu, apalagi aku tunanganmu."
"Memangnya kamu punya waktu buat selalu ada disamping aku? Di saat aku butuh kapanpun waktunya?" Brian bertanya setengah menantang apakah bisa Widuri melakukannya.
Widuri jadi bungkam. Ia memiliki kesibukan juga, jadi untuk selalu ada kapanpun saat Brian butuh, Widuri tidak bisa menjanjikannya untuk bisa. Widuri tidak akan sanggup, tapi ia juga tidak mau Brian dekat-dekat dengan perawat wanita itu. Widuri tidak mau memakan api cemburu setiap hari bahkan setiap saat.
"Memangnya kamu nggak bisa apa-apa?" tanya Widuri.
"Kamu kan tahu sendiri aku habis kecelakaan sampai mataku dioperasi. Aku masih belum bisa beraktivitas seperti biasanya, jadi aku butuh perawat, bahkan untuk makan sekalipun." Brian menjawab sambil menunjuk ke arah matanya yang memang masih rapat tertutup perban.
Widuri jadi terdiam lagi, tampak sedang berpikir untuk mempertimbangkannya.
"Kamu kan sibuk, terlebih nggak bisa selalu datang buatku yang kadang minta bantuannya mendadak dan tiba-tiba. Karena apa yang aku butuhin nggak terjadwal, jadi aku harus didampingi sama perawat yang akan selalu ada setiap saat," kata Brian menjelaskan.
Widuri menghela napas. "Tapi aku kasih syarat kalau kamu masih mau mempertahankan perawat itu!"
Brian sontak tersenyum mendengarnya. "Apa syaratnya?" tanya berusaha terlihat tak berlebihan.
"Kamu nggak boleh terlalu dekat sama dia, kalian harus tahu batasan. Ingat, kamu sudah tunangan sama aku dan tegaskan ke dia kalau kamu sudah punya tunangan!" tegas Widuri yang tak mau sampai kehilangan CEO kaya ini.
Brian tanpa kesulitan pun mengangguk-anggukkan kepalanya dengan patuh. Mudah saja dia berjanji seperti itu, karena mengingkari akan jauh lebih mudah dilakukan. Jadi Brian mengangguk saja supaya pembicaraannya dengan Widuri cepat selesai.
"Kamu bisa janji sama aku, kan?" tanya Widuri, meminta kepastian.
"Iya janji. Kamu bisa pegang omonganku ini," jawab Brian begitu meyakinkan.
Sesaat Widuri tidak mau percaya, tetapi ia mencoba untuk mempercayai tunangannya itu, sehingga dengan berat hati, Widuri pun mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju.
"Ya sudah, aku izinkan kamu mempertahankan perawat itu," kata Widuri pada akhirnya.
Dalam diam, Brian bersorak senang.
"Katanya hari ini kamu ada jadwal pergi?" Brian mengingatkan Widuri tentang rencana tunangannya itu.
"Iya, aku kesini mau liat keadaan kamu sebentar, baru setelah itu berangkat."
"Ya sudah kamu berangkat saja. Jangan khawatir sama aku," kata Brian, berusaha mengusir Widuri secara halus.
"Ingat loh kamu harus jaga batasan kamu sama perawat itu!" Widuri kembali mengingatkan.
"Iya ingat." Brian tersenyum simpul lalu mengangguk pelan.
"Kalau gitu, aku pergi sekarang!” pamit Widuri lalu berlalu.
Brian pun terdiam untuk menunggu suara pintu yang tertutup sebagian kepastian jika Widuri sudah pergi.
Dreg!
Pintu tertutup dan Brian Pun mengepalkan tangannya ke atas tanda kemerdekaannya sudah tiba. “Akhirnya nenek sihir itu meninggalkanku disini sendirian. Ini saatnya aku bersenang-senang!” bisik pria hidung belang itu lalu menunggu beberapa menit sebelum kembali berteriak.
"Sandra!" Brian berteriak, memanggil nama perawat yaitu dengan harapan Sandra cepat-cepat menghampirinya.
"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Sandra muncul dari balik pintu kamar Brian namun kali ini dia sudah berganti baju sama seperti pelayan lain di rumah mewah ini.
Pertanyaan formal itu membuat Brian mendengus. Ia tahu dirinya adalah atasan Sandra, dan sikap sopan Sandra memang sudah seharusnya wanita itu lakukan. Namun, Brian yang mengingat Sandra sebagai mantan kekasihnya merasa hal itu tampak aneh, tapi Brian tetap menyukainya, karena dengan begitu, Sandra jadi akan menuruti semua perintahnya.
"Ambilkan saya makan!" ucap Brian memerintah Sandra.
"Baik, Pak. Akan segera saya buatkan," kata Sandra menuruti perintah juragannya.
"Jangan terlalu lama." Brian tersenyum nakal dan mantan kekasihnya itu apa maksud dari perintah pria tampan berambut ikal itu kali ini.
“Dia pasti mau nakal!” bisik Sandra sambil berlalu.