Bab 1. Masa Berkabung Yang Berat
Dok!
Dok!
Dok!
Rumah berpondasi kesunyian itu tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Suaranya sangat nyaring, membuat Sandra si empunya rumah sempat terlonjak kaget di kamarnya.
"Siapa ya?" Sandra bertanya-tanya namun belum bergerak dari tempat tidurnya.
Memang semenjak ayahnya meninggal beberapa hari yang lalu hampir tak pernah ada tamu yang datang ke rumah sederhana itu. Saudara dan kerabat seakan enggan datang ke rumah berlantai satu nan sederhana ini meski hanya mengucap kata bela sungkawa.
Brak!
Brak!
Ketukan pintu terdengar lagi, bahkan lebih keras dari yang tadi.
"Permisi!" kata itu terucap dengan nada nyaris berteriak. "Tolong keluar!" teriaknya lagi, sangat nyaring, sehingga membuat Sandra sedikit lega sebab tadi tidak membukanya.
"Buka pintunya atau kudobrak!" ancam pria tidak dikenal dari luar rumah membuat Sandra ketakutan.
Sandra sontan bangkit dari atas kasur, sebab tak mau pintunya dirusak oleh mereka. Memang pintu tampak hal sepele untuk diurus, tapi jika pintu tetap melibatkan uang, maka Sandra tidak akan membiarkan pintu itu rusak. Saat ini masalah yang sedang membuat Sandra di ambang segan hidup ialah uang.
"Ya, Pak?" sapa Sandra ramah lalu mengintip sedikit pada celah pintu itu. Dia enggan membukanya lebar.
Sandra dapat melihat setidaknya ada tiga preman di depan rumahnya itu. Yang tanpa aba-aba langsung menarik pintu rumah Sandra, sehingga kini pintu itu terbuka lebar. “Aduh, kalian siapa?”
"Kita kesini mau menagih hutang-hutang Ayah kamu!" seru salah satu dari mereka, yang badannya paling besar dan paling sangar.
"Ayah saya sudah meninggal, Pak. Lima hari yang lalu karena kecelakaan," ucap Sandra, sedang mencoba mencari pengertian dari mereka.
"Lantas bagaimana dengan hutangnya?" tanya orang itu.
"Hutang tetap hutang, dan harus dibayar. Meski Ayah anda sudah meninggal, beliau masih meninggalkan hutang untuk dibayar!" sambar yang lainnya.
"Anda tahu, kalau Ayah anda tidak membayar hutang, maka beliau tidak akan tenang di alam sana karena tidak membayar hutang semasa hidupnya!"
Mata Sandra melebar, ia sungguh tidak mau ayahnya sengsara di alam sana. Sandra sudah siang malam berdoa agar ayahnya diterima di sisi Allah SWT, dan diampuni segala dosa-dosanya, dan ditempatkan di Surga. Namun, hanya karena hutang, Sandra jadi pesimis doanya terkabul, dan Sandra sadar bahwa kalimat preman tersebut memang benar. Sandra harus membayar hutang ayahnya.
Mau bagaimanapun sikap ayahnya selama beliau masih hidup di dunia ini, Sandra tetap ingin ayahnya mendapatkan tempat yang terbaik di sana. Jadi Sandra memang harus membantu ayahnya dalam membayar hutang.
"Tapi, Pak. Saya masih dalam suasana duka, jadi belum bisa mencari uang, dan saya sama sekali belum memiliki uang untuk membayar hutang-hutang ayah saya, jadi saya minta perpanjangan waktunya ya, Pak. Saya janji saya akan segera membayarnya." Sandra memohon dengan harap-harap yang cukup menyilaukan mata tiga preman di hadapannya, sehingga membuat mereka sedikit iba.
Apa lagi kata 'masih dalam suasana duka' membuat mereka pada akhirnya mengangguk, memberi Sandra kesempatan untuk mencari uangnya terlebih dahulu.
"Ya sudah kalau begitu, kita kasih kamu waktu sehari lagi untuk melunasi hutang-hutang ayah kamu!" ujar preman itu dengan mulai menurunkan nada bicaranya.
Sandra tentu mengangguk dengan senyum lega. "Baik, Pak. Terima kasih atas pengertian dan kesempatannya."
Selepas itu, tiga preman tadi pun pergi dari rumah Sandra, membuat gadis berambut panjang sepinggang serta berkulit sawo matang itu sontak menjatuhkan diri di atas lantai rumahnya, lalu mulai frustasi memikirkan hutang ayahnya. “Ayah, aku pikir kau sudah cukup memberikan luka di hidupku selama ini. Ternyata kau masih saja membuatku susah!” bisiknya sambil menghapus air matanya yang terus berlinang sejak kematian sang ayah.
***
Sehabis didatangi oleh tiga preman, dan menagih hutang ayahnya dengan kalimat yang cukup menohok Sandra mengenai bagaimana nasib ayahnya di akhirat jika hutang-hutangnya belum dibayar, akhirnya Sandra menemui Bianka. Salah seorang kenalannya yang pernah menjanjikan Sandra pekerjaan.
Saat itu Sandra menolak karena merasa pekerjaan yang ditawarkan temannya saat itu sangat berat sebab dia harus mau tidur di rumah juragannya sedang dia di rumah tinggal dengan sang adik yang masih SMA.
Namun karena saat ini dia sangat membutuhkan uang akhirnya dia membulatkan tekat untuk kembali menemui Bianka karena terdesak oleh kebutuhan dan semacamnya, termasuk hutang. Kala itu Bianka berjanji akan menawarkan Sandra pekerjaan lagi jika dia terdesak.
"Sandra!" seru Bianka saat bertemu dengan gadis malang itu setelah berjanji bertemu di sebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari rumah Sandra.
"Maaf ya, aku telat. Soalnya tadi ada kerjaan mendadak yang harus diselesaikan dengan segera." Bianka mencoba menjelaskan keterlambatannya.
"Nggak papa, lagipula aku juga belum lama sampai!" jawab Sandra, mencoba memaklumi keterlambatan temannya itu.
"Jadi gimana?" Bianka langsung bertanya, memulai pembahasan tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Aku mau menerima tawaran pekerjaan yang sudah kamu kasih." Sandra menjawab.
"Jadi kamu mau bekerja?" tanya Bianka lagi. “Bukankah kau dulu berat untuk tinggal di rumah juraganmu karena adikmu masih sekolah?”
“Ya, aku terdesak. Aku rasa bekerja lebih baik daripada aku hanya menganggur dan jadi gila karena kebanyakan bengong!” Sandra menjawab dengan senyuman khasnya yang manis.
"Okay, kalau begitu, aku akan membantumu," kata Bianka yang lekas memberi Sandra sebuah kertas yang bertuliskan alamat sebuah rumah mewah di kawasan Alam Sutera, Tangerang, Banten.
"Besok kamu datang saja ke alamat rumah ini, untuk selebihnya akan aku urus nanti. Jadi kamu tinggal datang dan langsung kerja sana!" jelas Bianka begitu menghibur hati Sandra.
Gadis 23 tahun itu lalu menerima secarik kertas itu, lalu membaca alamat yang tertera di sana. Lalu Sandra pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Dan pembahasan mereka telah selesai sampai di sana.
***
Keesokan harinya.
Sandra mengunjungi alamat yang telah diberikan oleh Bianka. Dia segera tau jika rumah yang ditujunya adalah rumah mewah Brian Diono dan dia belum lupa siapa pria pemilik rumah mewah itu.
“Ini rumah Brian Diono. Ya ampun, dunia ini sempit sekali!” gumamnya.
Pria kaya ini adalah mantan kekasih Sandra semasa di SMA dulu. Kala itu Sandra masih gadis polos dan dekil hingga mudah sekali terjerat cinta pria playboy ini.
Tentu dia tidak menyangka akan bekerja di sini, pun perubahan hidup Brian yang kini sudah menyandang sebagai CEO perusahaan furniture. Lalu meski Sandra sudah lama tidak bertemu dengan Brian, tetapi dia masih ingat betul seperti apa wajah mantannya.
“Apa dia masih sesombong yang dulu!” bisik Sandra saat menekan bel rumah mewah berlantai tiga itu. "Bisa saja dia sudah lupa sama aku, jadi aku hanya perlu bersikap seperti belum pernah mengenalnya. Dengan begitu, dia nggak akan tahu kalau aku Sandra mantan kekasihnya." Sandra mengatakan itu pada dirinya sendiri sambil meyakinkan jika pilihannya benar.
Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan berwarna biru tua keluar dari dalam rumah.
“Permisi!” sapa Sandra saat wanita itu menghampirinya. “Saya Sandra. Saya dikirim agen perawat untuk melayani Tuan Brian!” ucap gadis cantik itu sambil menunjukkan kartu nama Bianca, temannya.
“Masuklah!” sapa seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pelayan setia keluarga ini. “Aku tak akan banyak bicara. Tugasmu hanya melayani Tuan Brian saja dan sekarang segeralah ke kamarnya!” tegas pelayan itu lalu menunjukkan kamar Brian yang berada di lantai dua. “Ingat, mata Brian sedang ditutup perban, jadi segeralah menuruti permintaanya apapun itu!”
Sandra mengangguk lalu melangkah memasuki kamar Brian, untuk memulai tugasnya memberikan obat pada pria yang pernah meninggalkan luka di hatinya.
Dengan langkah mengendap dia tiba di samping Brian yang dia kenal tak suka dengan suara gaduh dari langkah kaki orang di dekatnya.
"Pak Brian, sudah saatnya anda meminum obat," ucap Sandra.
Brian bergegas duduk di samping tempat tidurnya dengan mata yang tertutup kasa seperti yang dijelaskan oleh pelayannya barusan.
“Mmm, aromamu!” bisik Brian sambil mengendus aroma tubuh perawat barunya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Ih, kenapa aku pakai parfum yang sama dengan yang dia tahu. Dia pasti mengenalku dengan cepat!” bisik Sandra dalam hati menyalahkan dirinya namun terlambat.
“Tapi tak mungkin dia!” bisik Brian lagi lalu mengulurkan tangannya ke arah Sandra. “Mana obatku!”
Sandra tidak tahu apa artinya itu, seperti Brian mengenalnya kah atau bagaimana. Namun, melihat sikap Brian yang berubah dia pun memutuskan dugaannya tentang pria ini masih mengingatnya.
"Siapa namamu?" tanya Brian yang seolah sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan.
“Aku?” tanya Sandra yang tiba-tiba jadi salting karena pertanyaan singkat tuannya.