Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 — Luka Lama, Api yang Menyala

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai lusuh kamar kontrakan Reno. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membuka mata dengan semangat yang berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah — bukan hanya tubuhnya yang terasa lebih kuat, tapi juga hatinya yang kini dipenuhi tekad dan keberanian.

Ia berdiri di depan cermin. Tatapannya tajam. Di balik mata itu, ada api yang belum pernah menyala sebelumnya.

“Aku... bukan lagi pecundang,” gumamnya lirih, tapi sarat keyakinan.

Tubuhnya terasa ringan. Luka di punggung yang semalam terasa perih kini lenyap. Bahkan lebam di pipinya yang didapat karena dipukul atasannya di pabrik — sudah menghilang.

Semua rasa sakit yang dulu menahannya… seolah dibakar habis oleh kekuatan misterius yang kini mengalir dalam nadinya.

---

Beberapa menit kemudian, Reno berjalan ke luar kamar dengan pakaian rapi.

Kaos hitam polos, celana jeans, dan sepatu yang sudah lama tidak ia pakai karena terlalu lusuh. Tapi pagi itu, semuanya tampak berbeda.

Bukan karena bajunya baru — tapi karena auranya.

Ketika ia melewati gang kecil menuju halte, beberapa orang yang biasa meremehkannya menatap dengan heran.

“Eh, itu Reno, ya?” bisik seseorang di warung kopi.

“Iya, tumben kelihatan rapi. Dapat kerjaan baru kali.”

“Mana mungkin, orang dia cuma buruh yang dipecat.”

Reno hanya tersenyum tipis. Dulu, kata-kata seperti itu menusuk hatinya. Tapi sekarang, justru jadi bahan bakar untuk melangkah lebih jauh.

Di dalam bis kota, Reno duduk diam sambil menatap keluar jendela.

Kota itu — gedung-gedung tinggi, jalanan macet, hiruk-pikuk manusia — dulu membuatnya merasa kecil.

Sekarang, ia melihatnya dengan pandangan berbeda.

Kota ini akan tahu siapa aku sebenarnya, batinnya.

---

Setibanya di kawasan pusat bisnis, Reno melangkah menuju gedung tinggi berlogo Tirta Group — perusahaan tempat ia pernah bekerja sebagai teknisi rendahan, sebelum dipecat secara memalukan.

Hari ini, ia datang bukan untuk melamar kerja. Tapi untuk mengembalikan harga dirinya.

Di lobi, satpam menatapnya heran.

“Eh, Reno? Kamu ngapain ke sini? Bukannya udah dipecat bulan lalu?”

Reno tersenyum. “Cuma mau ketemu seseorang. Tenang aja, aku nggak bikin masalah.”

Namun langkahnya terhenti ketika suara yang sangat ia kenal terdengar dari belakang.

“Lihat siapa yang datang… si pecundang yang dulu aku tendang keluar.”

Reno berbalik.

Di sana berdiri Arman, mantan atasannya — pria arogan dengan jas mahal dan senyum menghina.

Beberapa karyawan yang lewat ikut berhenti, menatap dengan tatapan penuh ejekan.

“Masih punya muka datang ke sini?” ejek Arman. “Kau pikir aku bakal terharu dan kasih kau kerja lagi?”

Reno menatapnya tenang. Tidak seperti dulu, ia tak lagi menunduk.

“Tenang aja, aku nggak butuh kerjaan dari orang sepertimu.”

Arman tertawa keras. “Oh? Jadi kau datang mau minta maaf?”

“Tidak,” jawab Reno, datar. “Aku datang untuk mengingatkanmu… bahwa hidup itu berputar.”

Suasana di lobi langsung hening.

Reno berbalik hendak pergi, tapi Arman mendorong bahunya keras. “Berani kau bicara begitu ke aku?!”

Refleks, Reno menatapnya tajam.

Seketika, Arman mundur selangkah — entah kenapa tubuhnya kaku, seperti ditekan oleh kekuatan tak terlihat.

Mata Reno bersinar samar, tapi tak ada yang menyadarinya selain Arman yang kini pucat.

“Apa… apa ini…?” gumam Arman ketakutan.

Reno tersenyum samar. “Anggap saja karma kecil.”

Ia melangkah pergi meninggalkan gedung itu dengan langkah tenang.

Setiap langkah terasa seperti menandai awal kehidupan baru.

---

Sore hari, Reno duduk di atap sebuah gedung tua, menatap langit oranye.

Angin bertiup lembut, membawa kenangan masa lalu — ejekan, hinaan, rasa sakit, semua berputar di kepalanya.

“Tuhan… kalau kekuatan ini benar nyata, aku nggak akan menyalahgunakannya,” katanya pelan. “Tapi aku juga nggak akan diam waktu orang lain berbuat jahat lagi.”

Di tangannya, gelang hitam yang ia dapat dari pria tua misterius itu tiba-tiba berpendar cahaya biru lembut.

Suara samar terdengar di kepalanya.

> “Gunakan kekuatanmu untuk menegakkan keadilan, bukan untuk keserakahan.”

Reno tersenyum. “Baik. Tapi sebelum itu, aku harus berdiri di atas kaki sendiri.”

Ia membuka ponsel tua miliknya.

Di layar muncul pesan lama dari Raka, sahabat yang dulu mengkhianatinya.

> “Maaf, Ren. Aku cuma ikut arus waktu itu. Bos Arman yang suruh aku laporin kamu.”

Reno mengetik balasan singkat.

> “Nggak apa-apa, Rak. Tapi tunggu aja. Aku bakal balik, dan kali ini aku bukan Reno yang dulu.”

Ia menutup ponsel, berdiri, dan menatap kota yang mulai menyala dengan lampu-lampu sore.

Baginya, setiap cahaya itu adalah peluang — dan setiap orang di bawah sana, entah teman atau musuh, akan segera tahu nama Reno Aditya.

---

Malam turun perlahan.

Dari kejauhan, suara klakson, musik jalanan, dan hiruk pikuk kota berpadu menjadi irama kehidupan yang keras.

Namun di tengah keramaian itu, seorang pria biasa sedang menyiapkan langkah besar.

Langkah pertama menuju dunia yang tak pernah membayangkan kehadirannya.

Dan itu baru permulaan.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel