Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 — Ujian Pertama Sang Dewa Kota

Malam itu, Reno berjalan menyusuri jalanan sempit menuju kontrakannya. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang belum turun. Lampu jalan berkedip-kedip, membuat bayangannya menari di dinding kusam bangunan sekitar.

Ia membuka pintu kamar yang berderit pelan. Di dalam, suasananya sama seperti biasa — sepi, sempit, dan dingin. Tapi malam ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang mengalir di dadanya.

Kekuatan yang ia rasakan sejak kemarin masih ada, seolah mengendap di dalam tubuhnya.

Bukan halusinasi. Bukan mimpi. Itu nyata.

Reno duduk di kasur tipis, memandang gelang hitam di pergelangan tangannya.

Cahaya samar berpendar setiap kali ia menyentuhnya.

“Mungkin ini sumbernya…” gumamnya pelan.

Ia mencoba mengingat kembali wajah pria tua misterius itu — sosok yang menatapnya dengan mata tajam, lalu menyerahkan gelang ini sebelum menghilang begitu saja di tengah hujan.

Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa memberikan kekuatan seaneh ini?

---

Ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

> “Kau tidak perlu takut dengan kekuatan itu. Tapi ingat, setiap kekuatan punya harga.”

Reno terdiam.

Pesan itu muncul begitu saja tanpa nama pengirim. Ia mencoba membalas, tapi pesan gagal terkirim.

“Harga?” bisiknya pelan. “Harga apa?”

Belum sempat ia berpikir lebih jauh, suara teriakan dari luar membuatnya terlonjak.

“Aduh! Tolong! Dompet saya!”

Reno segera berdiri dan berlari keluar. Di ujung gang, seorang wanita muda berlari tergesa sambil memegang tasnya, sementara dua pria bertopeng mengejarnya dengan pisau di tangan.

Tanpa berpikir panjang, Reno ikut berlari. Langkahnya terasa ringan, seolah tubuhnya ditarik oleh tenaga tak terlihat. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di depan para penjahat itu.

“Berhenti!” serunya.

Kedua pria itu menoleh, lalu salah satunya tertawa mengejek. “Siapa lo, hah? Pahlawan kesiangan?”

Reno menatap mereka datar. “Lepaskan tasnya, sebelum kalian menyesal.”

“Menyesal?” pria bertubuh besar itu tertawa keras. “Lo pikir lo siapa?!”

Ia melompat ke depan dan mengayunkan pisaunya ke arah Reno.

Namun sesuatu yang aneh terjadi — saat pisau itu hampir mengenai, tangan Reno bergerak lebih cepat dari pandangan mata. Ia menangkap pergelangan tangan lawannya dan memutarnya.

Pria itu berteriak kesakitan, pisau terlepas, dan tubuhnya terpental ke dinding.

Satu lagi mencoba menyerang dari belakang, tapi Reno menendangnya sekali — keras, akurat.

Pria itu terhempas jatuh ke tanah dan pingsan di tempat.

Wanita yang dikejar menatap dengan mata terbelalak. “Kamu… siapa?”

Reno menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Cuma orang biasa.”

Ia mengambil tas yang sempat terjatuh, lalu mengembalikannya.

“Ini milikmu.”

Wanita itu menerima dengan tangan gemetar. “Terima kasih… kalau kamu nggak datang, aku—”

“Sudahlah,” potong Reno lembut. “Pulanglah. Jangan lewat gang ini lagi malam-malam.”

Saat wanita itu pergi, Reno menatap dua pria yang terkapar di tanah. Di dalam dirinya, ada dorongan aneh — semacam rasa lapar, bukan terhadap makanan, tapi terhadap kekuatan.

Ia bisa merasakannya: gelang di tangannya bergetar halus, seolah menyerap sesuatu dari tubuh para penjahat itu.

Cahaya biru samar menembus kulit gelang, lalu mengalir ke tubuhnya. Seketika, seluruh ototnya menegang, dan kesadarannya bergetar.

“Ini… kekuatan mereka?” bisiknya ngeri.

Namun anehnya, tubuhnya tidak terasa sakit. Justru sebaliknya — energi itu membuatnya semakin kuat, pikirannya semakin tajam, dan napasnya lebih stabil.

“Setiap kekuatan punya harga…” Ia mengulang kata-kata dari pesan misterius tadi.

“Mungkin… harga itu adalah rasa kemanusiaanku.”

---

Keesokan paginya, Reno duduk di warung kecil sambil memandangi koran.

Di halaman depan tertulis:

> “Aksi Pahlawan Misterius Gagalkan Pencurian di Tengah Malam.”

Ia tersenyum kecil.

“Sudah mulai terdengar, ya…”

Tiba-tiba suara seseorang memanggil dari belakang. “Reno? Reno Aditya?”

Ia menoleh. Seorang pria muda berpakaian rapi berdiri di sana — Raka, sahabat lamanya yang dulu mengkhianatinya.

“Rak…” suara Reno datar, tapi matanya tajam.

Raka menatapnya canggung. “Aku… aku nggak nyangka ketemu kamu di sini.”

“Ya, dunia kecil,” jawab Reno tenang sambil menyeruput kopi.

“Aku… mau minta maaf soal dulu,” ucap Raka. “Aku cuma ikut perintah Arman. Kalau nggak, aku juga bakal dipecat.”

Reno menatapnya tanpa emosi. “Aku nggak marah, Rak. Tapi aku nggak lupa.”

Raka terdiam. “Kamu… berubah ya. Dulu kamu penakut, sekarang… aura kamu beda.”

Reno tersenyum samar. “Mungkin karena aku udah capek jadi pecundang.”

Ia berdiri, meletakkan uang di meja. “Hidup ini kayak roda, Rak. Dulu aku di bawah. Sekarang, aku mulai naik.”

Sebelum pergi, Reno menepuk bahu Raka pelan — tapi Raka merinding hebat. Entah kenapa, tubuhnya terasa berat dan kaku, seolah disentuh oleh kekuatan tak kasat mata.

Reno hanya berbisik di telinganya, “Sampaikan salamku pada Arman. Katakan padanya… waktu membalas dendam sudah dekat.”

Raka menatap kepergian Reno dengan wajah pucat.

Ia tahu, Reno bukan lagi orang yang sama seperti dulu.

---

Sore harinya, Reno kembali ke kontrakan dan membuka laptop lamanya.

Di layar, ia mengetik cepat — rencana-rencana yang selama ini hanya berani ia impikan:

membangun usaha kecil, berinvestasi, membuka jalan menuju kebebasan finansial.

Namun sesuatu di dalam dirinya berbisik lebih keras.

> “Kau bisa lebih dari itu. Dunia ini terlalu kecil untukmu.”

Ia menatap gelang di tangannya, yang kini bersinar samar lagi.

“Mungkin ini ujian pertamaku…”

Ia berdiri, menatap keluar jendela.

Dari kejauhan, lampu-lampu kota berkedip seperti bintang di bumi.

“Kalau dunia ini pernah menginjakku,” katanya pelan, “maka kali ini aku akan membuat dunia ini berlutut.”

---

Di sudut gelap kota, dua pria berbadan besar duduk di mobil hitam. Salah satunya memegang ponsel dan berbicara dengan nada serius.

“Bos, targetnya sudah muncul lagi. Nama: Reno Aditya. Kita tunggu perintah.”

Suara dari seberang menjawab dingin.

> “Jangan ganggu dia dulu. Aku ingin lihat sejauh mana pecundang itu bisa naik sebelum aku jatuhkan sendiri.”

Panggilan berakhir.

Dan di gedung tinggi Tirta Group, Arman berdiri di depan jendela sambil tersenyum sinis.

“Selamat datang kembali, Reno. Mari kita lihat, seberapa lama kau bisa bertahan di permainan ini.”

Sementara itu, di kamar sempitnya, Reno memejamkan mata.

Dalam keheningan malam, gelang hitam itu kembali bersinar terang, dan suara misterius terdengar samar:

> “Langkah pertama sudah dimulai. Kini lihatlah, siapa yang benar-benar pantas disebut Dewa Kota.”

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel