Bab 9 Masih Suami Terkutuk
Bab 9 Masih Suami Terkutuk
“Tega kamu, Mas. Di depan Verrel, kamu berlaku demikian,” desis Vindi dikalahkan suara gemuruh hujan.
Senja itu indah. Namun, jika kehadiran senja diambil alih oleh hujan berpetir, sungguh, itu amat menyedihkan.
Senja yang seharusnya menjadi momen indah, justru dirusak oleh badai kepedihan. Deras hujan pun menghantam jalanan dengan begitu garang.
Rasa kalut dan sedih yang berkepanjangan membuat hari-hari Vindi amat sulit. Terlebih sore ini. Ditemani oleh hujan dan dilengkapi oleh petir. Seakan memberi irama mencengkam bagi Vindi.
Di cuaca yang seperti itu pun tak menyurutkan keinginan Reno untuk pindah apartemen. Ia memutuskan untuk meninggalkan Vindi dan Verrel.
Bayangan Bianca selalu terngiang di benak. Oleh karena itu, Reno memutuskan untuk menjauhi Vindi.
Tampak Reno tengah berpayung membawa sebuah gitar. Gitar yang dulunya selalu ia mainkan untuk Vindi dalam moment romantis.
Kini, tak akan ada lagi moment seperti itu. Gitar tersebut, Reno masukkan ke dalam sebuah truk box sewaan, yang kerap disewa untuk pindahan apartemen.
Di sisi lain, Vindi tak kuasa melihat kepergian Reno. Ia harus menghentikan sebelum semua terlambat.
Vindi menatap pilu ke arah Verrel dan mendekati anak kecil itu. Langsung saja, Vindi mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi anak kecil itu.
"Sayang, tunggu Mama di sini, ya!" ucap Vindi sembari membelai rambut Verrel.
Vindi tak kuasa melihat tatapan polos anak semata wayangnya itu. Sungguh, ini amat menyakitkan jiwa dan raga.
"Mama, Papa mau ke mana?" tanya Verrel sendu.
Bagaimana bisa Vindi menjelaskan semua pada Verrel. Anak kecil yang tak berdosa itu pun harus menjadi korban keegoisan Reno. Sungguh, Vindi amat gusar.
"Sayang dengar Mama! Kamu tunggu di sini, Mama akan berusaha mencegah Papa pergi," ucap Vindi dengan bergetar.
"Papa mau pergi ninggalin kita?" tanya Verrel lagi. Anak ini mulai bermanik-manik air mata. Tangisnya hendak tumpah.
"Percaya sama Mama, semua akan baik-baik saja. Tunggu di sini!" ucap Vindi.
Bahkan, Vindi pun menatap miris pada Verrel kala ia sendiri saja tak yakin akan ucapannya itu. Namun, setidaknya dia sudah berusaha mencegah Reno.
Verrel pun mengangguk. Langsung saja Vindi berlari tergopoh-gopoh menyusul Reno.
Bahkan, Vindi tak peduli bila kaki yang tanpa alas itu sewaktu-waktu bisa terluka. Yang ia prioritaskan adalah agar Reno tak pergi.
"Jangan pergi, Pa!" isak Vindi semakin menjadi.
Di tengah guyuran hujan, kini menjadi saksi bisu kehancuran hati Vindi. Berharap akan pujaan hati tetap setia menemani.
Namun, rasanya sungguh mustahil. Kini, akan ada perpisahan yang bahkan sulit sekali untuk Vindi cegah.
"Pa. Dengarkan aku! Jangan tinggalkan aku dan anak kita! Aku mencintaimu," mohon Vindi sembari bersimpuh memegangi kaki Reno.
Bukannya iba, justru Reno malah menatap benci pada Vindi. Bahkan, sekedar menatap Vindi saja ia merasa tak sudi. Sungguh, otak Reno isinya hanyalah Bianca dan cintanya.
"Lepas!" sungut Reno sarkas.
Brak! Reno mendorong Vindi, hingga perempuan ini nyaris terpleset ke belakang.
Sejenak, Vindi terhuyung. Tapak kakinya berusaha mengkondisikan, agar dirinya tak oleng.
Tak ada kelembutan, tak ada kebaikan dalam ucapan itu. Yang tersisa hanyalah rasa jengah dan kemarahan yang menguasai ubun-ubun Reno.
Dan dia semakin kesal lagi, karena Vindi pantang menyerah. Tangan Vindi yang dingin memegang pergelangannya.
"Tolong! Pikirkan lagi nasib rumah tangga yang sudah lama kita jalani ini!" mohon Vindi nyaris berteriak, karena harus melawan derasnya air hujan.
Alam pun seakan tahu bila Vindi sedang lara. Hujan memang seperti obat penenang, terlebih itu setelah sekian lama tak turun hujan. Aroma petricor pun kian menambah kesan syahdu.
Namun, ini berbeda! Hujan bukan menjadi ketenangan, melainkan saksi bisu kepedihan seorang wanita.
"Keputusanku sudah bulat! Jika kemarin aku mengatakan kita harus berpisah, maka itu akan terjadi! Kamu tak bisa menyangkalnya lagi!" sarkas Reno yang langsung mendorong tubuh Vindi akan menjauh.
Vindi pun tersungkur kedua kali, tapi berusaha bangkit kembali. Selagi bisa, Vindi akan tetap berusaha.
"Kamu gegabah, Pa! Tolong pikirkan sekali lagi. Kumohon," ucap Vindi. Air matanya menyatu dengan aliran hujan.
Reno pun tersenyum sinis. Menatap remeh pada Vindi. Bahkan, tatapannya pun sungguh membuat Vindi semakin terpuruk.
"Kamu sudah tak menarik. Bahkan, permainan Bianca saja di springbed sangat ganas dan jauh lebih nikmat dibanding kamu. Buat apa saya bertahan? Sekali tidak, akan tetap tidak!"
Vindi amat tertohok. Bayangan akan berita di televisi tentang perselingkuhan Reno dan Bianca pun masih terngiang jelas.
Isakan Vindi semakin menjadi. Vindi yakin, bila hubungan antara Reno dan Bianca pun sudah sampai hubungan terlarang dan haram.
Vindi mengamit tangan Reno. "Jangan pergi. Akan kulakukan apa pun untukmu," lirih Vindi berkata untuk terakhir kalinya. Penuh akan harapan.
Reno menghentakkan tangan. Kontak langsung antara mereka pun terlepas. Reno menatap Vindi gusar.
"Selamat tinggal!" ucap Reno melangkah pergi.
Namun, baru beberapa langkah, Reno berhenti. Berbalik dan menatap kembali pada Vindi.
"Harta gono-gini akan dibagi adil. Sebaiknya kamu segera angkat kaki dari rumah.
Karena, rumah ini akan saya jual, agar nantinya hasil dari penjualan kita bagi dua." jelas Reno panjang lebar.
Vindi pun menggeleng. Ia tak butuh harta itu. Yang Vindi butuhkan hanyalah keutuhan kembali rumah tangga mereka. Itu saja!
"Aku tak butuh harta!" sergah Vindi sendu. Entah bagaimana lagi menjelaskan semua pada Reno. Vindi butuh Reno, bukan harta!
Reno pun tertawa absurd, "Jika kamu tak angkat kaki, maka cicil saja satu milyar setengah kepadanya. Karena ditaksir rumah ini akan laku tiga milyar," ucap Reno yang sontak membuat Vindi terhenyak.
Vindi tak habis pikir dengan Reno. Mengapa Reno setega itu terhadap dirinya? Sungguh, ini menyulitkan.
Dan tubuhnya menggigil sudah. Dingin begitu menusuk-nusuk. Dan deras hujan mulai mengaburkan netranya yang dibasuh juga oleh air mata.
Vindi Berharap kisah cinta mereka akan abadi. Namun, tiba-tiba saja, badai begitu cepat menyapa.
Tanpa di duga, tak bisa diprediksi. Semua itu serba cepat. Menyisakan kepiluan yang amat mendalam.
Vindi yang malang tak pernah menduga semua akan menimpa dirinya. Suami yang ia puja setiap harinya.
Suami yang ia cintai selama hidupnya kini berpaling. Berpaling dan menorehkan luka batin yang amat menyayat. Sungguh, inilah kepedihan yang hakiki.
Vindi berdiri kehujanan menatap Reno yang kini sudah naik mobil mewahnya. Mengiringi mobil box pindahan yang mulai melaju mendahuluinya.
Suara petir kian menyambar. Verrel yang sedari tadi terdiam, kini melihat Papanya pergi merasa bersedih. Ia langsung berlari mengejar mobil Reno hingga ke jalan.
Bahkan sama seperti Vindi, anak kecil ini juga tak menggunakan alas kaki. Dia terjang derasnya hujan.
"Papa!" teriak Verrel berkali-kali.
Bahkan, Verrel pun sudah melewati Vindi, yang seakan masih terhipnotis dengan ucapan selamat tinggal Reno. Vindi masih terdiam meresapi semua yang tengah terjadi.
Melihat Verrel yang tengah berusaha mengejar dirinya, harusnya Reno berhenti. Namun, ia malah tancap gas.
"Vindi sialan! Kenapa hanya bengong saja?" ucap Reno bermonolog sembari memukul keras kemudi.
Reno sedikit memperlambat laju mobilnya. Tapi, tidak berhenti.
Hatinya sedikit bimbang. Haruskah ia bawa Verrel juga?
Namun, ini akan menyakiti Vindi sekali. Dia masih punya hati.
Lagi pula, dia tak begitu yakin, Bianca akan setelaten Vindi. Begitulah paradoks. Sudah tahu begitu, Reno masih memilih Bianca.
“Papaaa!” jerit Verrel sekuatnya.