Bab 10 Sebuah Rahasia Reno
Bab 10 Sebuah Rahasia Reno
"Vindi sialan! Kenapa hanya bengong saja?" ucap Reno bermonolog sembari memukul keras kemudi.
Reno sedikit memperlambat laju mobilnya. Tapi, tidak berhenti.
Hatinya sedikit bimbang. Haruskah ia bawa Verrel juga?
Namun, ini akan menyakiti Vindi sekali. Dia masih punya hati.
Lagi pula, dia tak begitu yakin, Bianca akan setelaten Vindi. Begitulah paradoks. Sudah tahu begitu, Reno masih memilih Vindi.
“Papaaa!” jerit Verrel sekuatnya.
Jger! Setelah itu muncul suara petir.
Anak ini sedikit ketakutan, menangkup kepalanya dengan kedua tangan mungilnya. Namun, dia kembali berlari mengejar Reno.
"Vindi tolol! Woi, liat anakmu! Verrel sudah berlalu dari hadapannya. Tapi, masih saja dia mematung tak jelas seperti itu," kesal Reno yang seperti tak terima dengan sikap Vindi.
Reno masih setia memantau Verrel dan Vindi dari kaca spion.
"Vindi, kenapa bodoh sekali? Apakah kamu sudah dikutuk jadi patung? Dasar dungu!" tanya Reno seakan tak terima.
Reno memanglah Reno. Ia tak sadar bila yang di sini itu yang seharusnya menyandang predikat bodoh itu adalah dirinya sendiri.
Bukan Vindi. Namun, itulah sifat buruk Reno. Mengklaim orang tanpa intropeksi terlebih dahulu.
Memang ada benarnya juga ucapan Reno. Vindi juga teledor, karena membiarkan Verrel mengejar Reno yang bahkan sampai di jalan.
Namun, perlu di ingat, Vindi sedang dalam keterpurukan. Keadaan yang membuat Vindi seperti itu.
Vindi lemah. Ia seakan terprovokasi oleh keadaan. Perhatiannya terambil penuh pada setiap perkataan yang Reno lontarkan tadi.
Bagai alunan klasik yang malah membuat hati gusar dan sakit yang berkepanjangan. Vindi malang, Vindi rapuh. Itu semua gara-gara Reno yang memilih Bianca ketimbang dirinya.
Jger! terdengar petir menyalak. Dua kali lebih keras dari sebelumnya.
“Papa! Papa jahat! Aaa, kalau papa pergi, jangan pernah ketemu Verrel lagi! Aaa, papa!” Verrel masih berlari.
Dan gedebuk. Anak ini terjatuh, dan sesaat bergulingan di jalanan.
Reno terkejut luar biasa. Sesaat, di remnya mobil.
Lalu, ketika melihat anak ini bangkit dan berlari mengejarnya, Reno kembali tancap gas. Seraya mengumpat, “Vindi! Otaknya ditinggal di rumah? Itu anak kamu belum dikejar juga?”
Tak lama kemudian, sepertinya Vindi tersadar akan keteledorannya. Vindi melihat Verrel yang tengah mengejar mobil Reno. Vindi pun langsung berlari menghampiri Verrel.
"Syukurlah!" ucap Reno yang sedikit lega ketika melihat Vindi yang sudah menyusul langkah Verrel.
Jauh di lubuk hati Reno yang paling dalam, ada guratan kesedihan yang terpatri. Melihat Verrel yang berusaha mengejarnya, itu sedikit membuat ulu hati Reno sakit.
Namun, jauh-jauh Reno langsung menyangkal perasaan itu. Keputusan untuk meninggalkan Vindi dan Verrel sudah bulat.
Harusnya ia merasa lega, karena sebentar lagi dapat bersanding dengan Bianca. Bukannya malah memendam perasaan sedih, karena sudah berhasil menjauhkan diri dari Vindi dan Verrel.
***
Di sebuah Restoran Prancis. Dengan suasana glamour penuh kemewahan.
Terlebih, di sini, banyak sekali para bule yang tengah berkunjung dan tentunya dengan tujuan mengisi perut.Terlihat, Bianca yang cantik, karena banyak sekali make up tebal yang menghiasi wajahnya.
Terlebih, dengan mengenakan gaun kekurangan bahan. Gaun yang seperti sundel bolong. Ia terlihat sedikit resah menunggu Reno yang tak kunjung datang.
“Ke mana Si Cupu fans aku itu,” monolog Bianca.
Dia terlihat kesal. Namun, tak pelak, ucapannya tadi membuatnya tergelak. Mengingat sebuat rahasia Reno yang sekarang gantengnya luar biasa itu.
Bianca tipe orang yang sangat benci yang namanya menunggu. Dia lebih senang ditunggu dari pada seperti ini.
Sungguh, ini terkesan menyebalkan dan membosankan. Tak jarang pula, banyak tatapan-tatapan bule dengan tampang genitnya pada Bianca. Bianca risih dan bersikap bodo amat.
Malam ini, Reno dan Bianca memang sudah janjian makan malam bersama. Namun, sedari tadi, Bianca menunggu kehadiran Reno yang tak kunjung datang.
Bianca terlihat sedikit resah. Biasanya bila sedang berjanjian, Reno selalu tepat waktu. Tidak seperti sekarang ini.
"Mana sih Mas Reno? Woi, Si Cupu! Masa karena hujan saja, sudah keok telat begini, sih," tanya Bianca yang entah pada siapa.
Lebih tepatnya pada diri sendiri. Bianca bosan hanya bisa mengaduk-aduk pipet yang sebagai pelengkap dalam segelas jus jeruk kesukaannya.
"Serius lama banget!" cibir Bianca.
Makanan pun sudah terhidang manis di meja minimalis itu. Bianca sengaja memesannya lebih dulu, agar nantinya bila Reno sudah datang, mereka tinggal menikmati makannya tersebu.
Tanpa harus menunggu ke dua kalinya. Menunggu Reno saja lamanya setengah abad, apalagi menunggu makanan. Bisa-bisa acara dinner mereka gagal.
Tak lama kemudian, senyum Bianca merekah. Ia melihat Reno yang baru saja muncul dari pintu restoran tersebut.
"Datang juga!" sorak Bianca tersenyum ceria. Bahkan, wajahnya yang sedari tadi kusut, kini makin berbinar.
Bianca pun melambaikan tangan pada Reno yang sedari tadi malah ke sana kemari mencari keberadaan Bianca. Baik Reno maupun Bianca, keduanya saling melempar senyum.
Reno bergegas menghampiri Bianca. Namun, Reno datang seraya menggigil.
"Si Cupu, kenapa telat datangnya?" tanya Bianca memanggil Reno.
Tahukah kenapa? Ternyata Bianca dan Reno satu SMA.
Bianca memang kerap kali memanggil Reno dengan panggilan Si Cupu, dulu waktu SMA.
Reno tertawa renyah, walau nyatanya masih menggigil kedinginan. Karena, Bianca mengingatkan panggilan perempuan ini semasa SMA dulu. Ini, membawa Reno masuk ke dalam lamunan masa lalu.
Flashback on.
Di sebuah SMA yang cukup terkenal. Ada seorang cowok cupu dan sangat pintar, ternyata tengah menaruh hati pada seorang cewek cantik yang sudah menjadi model di usia muda.
Cowok itu tak lain dan tak bukan adalah Reno. Dengan si cewek yang ternyata Bianca.
Awal mula, dengan berbekal keberanian, Reno memantapkan hati untuk mengajak Bianca berkenalan. Menghampiri Bianca yang tengah sendirian di taman sekolah.
Reno pun merapikan penampilannya yang padahal sudah sangat rapi. Bahkan, rambutnya ia sisir sangat rapi. Sungguh, khas cowok cupu.
"Halo, kenalin aku Reno," ucap Reno sembari mengulurkan tangan pada bianca yang tengah membaca buku permodelan.
Bianca pun memicingkan mata. Merasa sangat malas bila ketenangannya diusik. Terlebih dengan cowok yang tampangnya sangat cupu seperti Reno. Sungguh, Bianca sangat malas.
Bianca menatap sinis pada Reno yang bahkan sedari tadi melebarkan senyuman khas Pepsodent.
"Ngomong sama siapa?" tanya Bianca dingin. Sedingin es di kutub utara.
Sudah di sambut dingin, masih saja tak menyerah. Reno justru duduk di samping Bianca. Sontak, Bianca malas dan langsung menggeser duduknya.
"Ngomong sama kamu," ucap Reno menatap Bianca penuh harap.
"Hm," gumam Bianca dingin. Terlalu malas menanggapi tampang kayak Reno.
"Namanya Bianca kan ya?" tanya Reno lagi.
"Kalau iya memang kenapa?" sungut Bianca yang langsung menutup bukunya.
"Pengen kenalan sama kamu, Bianca," ucap Reno senang.
"Cupu banget sih!" sungut Bianca dingin. "Bagusnya dipanggil Si Cupu tuh," lanjut Bianca sembari bangkit. Menatap sebentar pada Reno dan langsung pergi.
Reno pun menatap nanar kepergian Bianca. Walau amat nyeri karena mendapat hinaan, tapi tak membuat Reno menyerah. Justru rasa cinta Reno semakin besar saja.
Mulai saat itu, setiap harinya, Reno berusaha mendekati Bianca. Namun, suatu hari beredar berita di sekolah bila Bianca resmi berpacaran dengan anak basket terkeren.
Sungguh, mulai saat itu, Reno sudah tak bisa lagi mendekati Bianca. Mengubur dalam-dalam perasaannya yang entah kapan bisa terbalas.
Reno menjauh tanpa syarat. Apalagi selalu mendapat penolakan dari Bianca.
Reno sadar, bila dia hanyalah butiran debu dibanding pacar Bianca yang amat tersohor di SMA itu.
Mulai saat itu, Reno menyerah dan hanya bisa pasrah, tak lupa pula berdoa dan berharap semoga ada keajaiban yang menghampiri.
Flashback off.