Bab 11 Peselingkuh Akhirnya Lajang Semua
Bab 11 Peselingkuh Akhirnya Lajang Semua
KEAJAIBAN ITU ADA.
Dunia terbalik. Siapa yang menyangka. Anak basket terkeren versi Bianca kini bukan siapa-siapa. Dan Reno, Si Cupu Busuk, yang tak dianggap menjadi lelaki mempesona dengan gelar dokter.
Nyatanya, anak basket terkeren yang dulu menjadi kekasih Bianca, kini hanya menjadi cleaning service di rumah sakit tempat Reno bekerja. Yang bahkan, seringkali memutar jalan, jika berpapasan dengan Reno, karena malu.
Sungguh, takdir memang tak bisa ditebak. Seperti roda yang tengah berputar. Kadang di atas, kadang pula berada di bawah.
"Kenapa masih menggigil kedinginan seperti ini?" tanya Bianca heran.
Reno pun terbangun dari lamunannya. Lamunan akan masa lalu, memang akan selalu menjadi cerita usang, yang bisa dinikmati di kemudian hari.
Semuanya menjadi memori penting dalam hidup. Walau pahit, setidaknya jangan pernah lupa bila kisah dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Reno menatap perempuannya, yang dulu ia kagumi, dan sebentar lagi betul-betul akan menjadi miliknya. Perempuannya? Aha! Kata-kata itu rasanya pas.
"Aku habis kehujanan," ucap Reno sembari duduk di depan Bianca. Reno tertawa melihat raut wajah Bianca yang menggemaskan. Melotot seolah protes dengan keadaan Reno.
"Kenapa sampai kehujanan?" tanya Bianca memicingkan mata.
Memang, di luar tengah hujan deras. Namun, pikir Bianca itu Reno sudah dewasa dan sudah seharusnya sedia payung.
Bukan malah bermain hujan seperti itu. Penampilannya jadi kurang menarik dan malah lepek.
"Tidak apa-apa! Tidak usah dipikirkan," balas Reno yang sontak membuat Bianca mengangguk saja.
"Dikhawatirkan memangnya tidak mau?" tanya Bianca mendengus.
Reno pun terkekeh. Langsung saja dia memegang jemari Bianca. Membuat wanita itu merasakan betapa dinginnya tangan Reno.
"It's okey. Tidak perlu khawatir!" balas Reno tersenyum.
"Baguslah kalau begitu," ucap Bianca tersenyum simpul. “Perlukah kamu aku peluk sayang, biar ada unsur hot-nya?”
Reno pun mengangguk. “Boleh, tapi nanti. Ketika hanya ada aku dan kamu, hehe...”
Reno setia memandangi wajah cantik Bianca. Wajah yang nyatanya sedari dulu mampu memikat hati Reno.
Rasa yang memang sedari dulu ada dalam hati Reno, kini semakin besar saja terhadap Bianca. Perempuan yang dari dulu cantik, dan semakin cantik dengan matangnya usia. Dan tentunya ... BAHENOL.
"Ingatkah kamu, Bi, pada Tristan yang dulu kamu puja semasa SMA?" tanya Reno sembari tersenyum.
Bianca memicingkan mata. Ia pun sontak menggeleng. Tak tahu lagi di mana keberadaan mantan pacarnya itu.
"Aku tidak tahu lagi dia di mana. Kalau dia sukses, sudah pasti akan mudah dilacak," balas Bianca santai. Seakan memandang orang lain dari kepamoran dan kehidupan yang mapan saja.
Reno pun tersenyum sembari menggeleng pelan. Sungguh, kata-kata Bianca itu membuat Reno tak habis pikir.
Reno tahu bila sedari dulu Bianca memang suka dengan orang-orang yang terkesan penting dan memiliki derajat tinggi di lingkungan. Namun, justru itu yang membuatnya tertantang.
"Dasar matre kamu ya!" sindir Reno, "jangan-jangan, kamu mau denganku, karena sekarang aku seorang dokter dan mapan? Meninggalkan Tarno, karena pamornya semakin redup. Begitu?" tanya Reno was-was.
Reno dengan sabar menunggu jawaban Bianca. Bianca pun tersenyum misterius. Sebelum menjawab pertanyaan Reno, ia justru mengambil buah cherry yang berada di sebuah pan cake dan memakannya sensual.
Itu semua selalu dalam pengawasan mata elang Reno. Bianca masih menikmati buah tersebut dan sesekali tersenyum penuh arti ke arah Reno.
"Memang sih seperti itu," balas Bianca setelah mengunyah cherry tersebut. “Semua perempuan matre, kan?”
Reno tertawa. Ia menatap Bianca tak habis pikir.
Namun, Reno meyakinkan diri bila Bianca itu hanya sedang bergurau saja. Dari tampang pun Reno menilai kalau Bianca hanya bercanda dan tak serius dengan perkataannya tadi.
"Dasar kamu, ya!" ucap Reno sembari mencubit hidung mancung Bianca.
"Sakit loh. Jangan ditarik-tarik!" protes Bianca tak suka.
"Maaf, sayang," ucap Reno sembari terkekeh.
Bianca yang dipanggil sayang pun malah merona. Merasa malu, tapi buru-buru ia sangkal.
Memang, soal umur tidak menjadi timbangan untuk bersikap manis layaknya kisah percintaan para remaja kebanyakan. Mendadak mereka seperti anak baru gede alias ABG.
Ketika cinta datang, hanya mereka yang ada di planet Bumi. Yang lain, mengontrak!
"Aku sudah berpisah dengan Vindi. Jadi, kamu kapan berpisah dengan Tarno?" tanya Reno serius.
"Sebentar lagi!" kata Bianca santai. “Tunggulah!”
***
Dan ucapan Bianca, rasanya tidak main-main. Menggelayutkan sedih di hati suaminya.
Seperti sekarang, di sebuah pagar rumah yang mewah atas nama Bianca – meskipun Tarno yang membangunnya, seorang pelawak termenung. Ya, pelawak itu adalah Tarno.
Tarno menghela napas. Air mata sudah menggenang di pelupuk. Siap untuk meluncur. Walau mencoba dibendung, tetap saja tidak bisa. Air mata luruh begitu saja.
Dia baru pulang show, setelah menjadi pelawak figuran di sebuah acara. Dia menatap layar ponsel, lalu melihat sebuah foto saat dia tampil di acara.
Viral sebuah berita dengan headline, "Tarno yang mulai kandas," dengan caption akhir yang mengguncang USAI SUDAH CERITA PELAWAK TERKENAL KARBITAN.
"Kenapa nasibku seburuk ini," ucap Tarno menyeka air mata.
Tarno tak mau menangis. Jujur saja, ia benci air mata. Namun, keterpurukan membuatnya tak berdaya.
Sekarang ini dirinya masih berada di samping pagar rumah. Bersender seolah ingin menghilangkan segala beban yang tengah dirinya pikul.
"Sabar, hanya itu yang bisa aku lakukan," katanya getir.
Setelahnya, Tarno berjalan memasuki halaman depan rumahnya.
Sesampainya di teras rumah yang cukup megah, Tarno menatap terkejut pada pakaian-pakaiannya yang berserakan di teras. Sungguh, Tarno semakin merasa miris saja.
Tak jauh dari situ, ada dua orang satpam yang memandangnya penuh iba. Dua satpam tersebut, langsung menghampiri Tarno.
"Kami bantu ya, Pak," ucap salah seorang satpam.
Tarno hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya berkelana dan masih tak percaya dengan Bianca yang tega mengusir dirinya.
"Bapak baik-baik saja, kan?" tanya satpam yang lainnya sembari membereskan pakaian Tarno.
Namun, setelahnya, satpam tersebut menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa pertanyaan itu amat tak bermutu.
Tarno memandang si penanya. Dia bernapas gusar dan berusaha untuk tersenyum. Tersenyum untuk terlihat baik-baik saja itu menyakitkan dan terkesan bodoh.
"Saya tidak baik-baik saja!" ucap Tarno lesu.
Dua orang satpam itu saling menatap satu sama lain. Mereka berdua ingin sekali membantu ketidakberdayaan Tarno.
Namun, apalah daya, mereka hanyalah satpam saja. Juga, masih bekerja di bawah kehendak Bianca.
Bisa-bisa pekerjaan menjadi taruhan bila mereka membantu Tarno. Akhirnya, hanya ini yang bisa mereka lakukan.
"Yang sabar ya Pak,"
"Iya. Terima kasih sudah mau membantu," ucap Tarno yang langsung mengambil alih kopernya.
Bianca mengusirnya dengan tak sopan. Sebelum pergi, Tarno ingin meminta penjelasan.
Ia memang bersedih. Tapi, juga ada sedikit emosi yang berkecimpung di dalam hati.
Tak lama kemudian, Bianca keluar rumah. Berjalan angkuh menghampiri Tarno. Tarno menatap marah pada Bianca.
"Aku akan mengurus surat perceraian kita," ucap Bianca menohok hati Tarno.