Bab 12 Terusir
Bab 12 Terusir
“Pergilah!” Seorang wanita berkaki jenjang berteriak dari pintu. Sempat-sempatnya model dengan piyama seksi itu mengibaskan rambutnya.
Tak lama kemudian, Bianca keluar rumah. Berjalan angkuh menghampiri Tarno. Tarno menatap marah pada Bianca.
"Aku akan mengurus surat perceraian kita," ucap Bianca menohok hati Tarno. Lengkap dengan tangan yang berkacak di pinggang.
Tarno tentu saja tak terima. Sudah di usir dan akan bercerai.
Kepalanya hendak pecah. Pelan-pelan, ditatapnya perempuan ini lekat. Dan seperti bertepuk sebelah tangan, Bianca membuang muka. Seolah Tarno adalah sampah yang harus dibuang pada tempatnya.
Tarno mengepalkan tangannya. Lelaki yang sejatinya tampan ini, tak percaya, jika Bianca beraninya membuang setelah semua pengorbanannya ia berikan.
Sungguh, Bianca tak punya hati. Oh, dia lupa, jika hati perempuan ini sudah menjadi milik dokter kandungan, yang padahal dilihatnya di Gugel, punya istri yang cantik dan anak yang tampan.
"Harusnya kita bicara baik-baik, tidak seperti ini!" sungut Tarno tersulut emosi. Giginya bergemerutuk.
Sesabar apa pun Tarno. Sebaik apa pun dirinya. Tetap saja, Tarno hanyalah manusia biasa.
Dia masih memiliki perasaan, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi luapan emosi. Meskipun lelaki baik itu selalu mengalah, bahkan hingga kini.
Kurang sabar apa dia selama ini? Sudah berusaha menjadi suami yang baik untuk Bianca.
Dia menghormati Bianca lebih dari dirinya sendiri. Bahkan, rumah megah ini adalah bukti dari hasil jerih payahnya.
Rumah yang ia dapatkan dari jerih payah syuting, endorse, dan iklan ketika sedang naik daun. Dan dengan tololnya, rumah ini ia buat dengan segala surat atas nama Bianca.
Namun, Bianca yang tak punya hati justru mengusirnya seenak jidat. Sadisnya!
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi! Sebentar lagi hubungan kita selesai!" sarkas Bianca sembari menatap tak suka pada Tarno.
"Aku ini suamimu. Seharusnya apa saja masalah, kamu harus menceritakannya padaku!" ucap Tarno yang berusaha mengontrol kemarahan.
Tarno itu memiliki pikiran yang amat dewasa. Ia berasumsi bila segala masalah sudah sepatutnya diselesaikan dengan baik.
Bukan dengan emosi maupun kemarahan yang mengembara. Itu semua hanya akan menambah masalah saja, bukan malah menyelesaikannya.
"Sudahlah! Terima kenyataan. Sebentar lagi hubungan ini selesai. Selamat tinggal dan segera angkat kaki dari rumah."
“Bianca! Ingatlah, kita melalui ini sudah cukup lama. Aku selalu berusaha menghargaimu,” kata Tarno. Dan suaranya mulai parau, dengan mata yang basah.
“Dan waktu itu sudah selesai, kamu dan aku ... END!”
“Kenapa?” cecar Tarno. “apa karena aku sudah tak terkenal lagi? Aku masih mampu, kok, menjadi lelaki yang mencukupi kebutuhan istrinya!”
Bianca tertawa. Dia tepuk jidatnya.
“Capek deh, Tarno!” kata Bianca.
Tarno terkesiap. Teganya, Bianca memanggilnya dengan Tarno saja.
“Kamu sudah berakhir. Sebagai suami, kamu sangat memalukan. Dan aku menjadi bulan-bulanan, karena bersuami yang pengangguran. Oh ya, aku salah ya? Kamu masih menjadi pelawak figuran,”
Jres! Sakit hati sekali, Tarno. Apa yang dikatakan Bianca menusuknya.
Bianca langsung melenggang pergi. Memasuki rumah dan membanting pintu dengan keras.
Tarno menatap nanar pada pintu tersebut. Mengelus dada hanya sekedar untuk menenangkan diri sendiri.
Dua satpam tadi pun hanya mampu menunduk saja. Menyaksikan perdebatan suami istri yang sudah berakhir itu.
Dengan berat hati, Tarno melangkah pergi. Malam yang seharusnya digunakan untuk melepas penat, justru menjadi saksi bisu akan kejadian barusan.
Semilir angin malam pun menerpa tubuh Tarno hingga ke tulang rusuk. Tarno rapatkan sedikit jaket abunya, yang terlihat sedikit kumal.
"Bapak mau pergi ke mana?" tanya salah satu satpam.
Kedua satpam tersebut berjalan pelan di belakang Tarno. Mengikuti Tarno hingga ke depan pintu gerbang.
"Ke mana saja. Ya sudah, saya pergi dulu. Tolong, jaga rumah dengan baik," kedua satpam pun mengangguk.
Tarno sudah keluar dari gerbang. Tak lama kemudian, gerbang pun tertutup rapat. Tarno tertawa hambar. Seakan menertawakan ketidakberdayaannya sendiri.
Di bawah langit malam. Di atas bumi tempatnya berpijak. Tarno berjalan entah kemana tujuannya kali ini.
Tak lama kemudian, Tarno memutuskan untuk menginap di rumah salah satu penonton bayaran reality show yang dia kenal. Terpaksa.
Beruntung, karena ia mengingat bila rumah kenalannya itu tak begitu jauh. Sehingga bisa dijangkau walau hanya dengan berjalan saja.
Sesampainya di rumah tersebut, Tarno langsung mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan sepasang suami istri muncul di hadapan Tarno.
"Pak Tarno, ada apa, ya?" tanya penonton tersebut dengan ramah sekaligus terkejut. Buru-buru, dia mengajak Pak Tarno untuk memasuki rumahnya.
Pengap. Sempit, dengan banyak barang di segala sudut.
Wajar saja, bila penonton bayaran tersebut kaget. Pasalnya saja, Tarno jarang sekali berkunjung ke rumahnya, walau mereka saling mengenal satu sama lain.
Terlebih, tiba-tiba Tarno datang di malam hari. Itu menimbulkan banyak pertanyaan.
"Bolehkan saya menumpang tinggal di sini untuk beberapa saat?" tanya Tarno penuh harapan.
"Tentu sa—"
"Tidak boleh!" sergah istri penonton itu yang sontak memotong ucapan suaminya. Matanya melotot, seperti Mas Koki yang bermata bengkak.
Penonton itu menatap terkejut pada istrinya. Ia merasa tak enak hati dengan Tarno. Bagi penonton bayaran tersebut, tak ada ruginya membantu Tarno. Terlebih, sosok Tarno yang sudah ia kenal baik dan bijaksana.
"Jangan dengarkan istri saja! Mari, Pak, masuk!" ucap penonton bayaran tersebut sembari mempersilakan Tarno masuk.
Tarno ragu, tapi si pemilik Rumah sudah menggiring Tarno masuk. Tarno pun langsung duduk di sofa ditemani dengan pemilik rumah. Namun, istri dari penonton bayaran tersebut, terlihat amat murka.
Sang istri mengira, Tarno akan menginap dalam jangka waktu yang cukup lama. Itu sama saja menjadi beban nantinya.
"Tidak bisa, Mas! Aku tidak setuju bila orang itu menginap di rumah kita!" semprot istri tersebut sembari menatap tak suka pada Tarno.
"Pak Tarno itu baik orangnya. Dia sering membantu!" ucap suaminya mencoba memberi pengertian pada istrinya.
Istri tersebut semakin murka. "Perekonomian kita sudah susah, Mas. Kamu mau menampung satu orang lagi? Pikir baik-baik, Mas!" teriak istri tersebut.
Sontak keduanya bertengkar hebat. Tarno tak enak hati dengan penonton bayaran itu. Kedatangannya malah membuat sepasang suami istri itu adu mulut dan berakhir dalam pertengkaran hebat.
Sungguh, niat Tarno hanya ingin menumpang untuk malam ini saja lantaran hari juga semakin larut. Namun, rupanya istri penonton bayaran tengah salah paham.
"Sudah. Jangan bertengkar. Lebih baik saya pergi saja," ucap Tarno sembari menenteng kembali kopernya.
"Bapak tidak perlu mendengar ucapan istri saya. Bapak boleh tinggal di rumah ini."
Tarno pun menggeleng. Ia tak sampai hati membiarkan pertengkaran itu terus berlanjut.
Terlebih, ini malam hari yang seharusnya digunakan untuk merehatkan raga. Bukan malah bertengkar seperti ini.
"Tidak apa-apa! Saya akan pergi saja," balas Tarno sembari tersenyum.
"Baguslah. Pergi sana dari rumah saya," sungut istri tersebut yang masih emosi
Penonton bayaran pun bernapas gusar. Tak habis pikir dengan tingkah istrinya itu.
"Tapi, Pak. Ini sudah malam. Lantas, bapak mau ke mana?" tanya penonton bayaran tersebut.