Bab 13 Pizza dari Anak Perempuan Tertikung
Bab 13 Pizza dari Anak Perempuan Tertikung
“Tidak usah sok baik, Pak! Tarno itu saja diusir istrinya yang model kaya itu, harusnya kita juga melakukan hal sama.”
Kata-kata istri penonton bayaran itu sangat menyakitkan. Tapi, Tarno berusaha maklum.
"Bapak tidak perlu mendengar ucapan istri saya. Bapak boleh tinggal di rumah ini."
Tarno pun menggeleng. Ia tak sampai hati membiarkan pertengkaran itu terus berlanjut.
Terlebih, ini malam hari yang seharusnya digunakan untuk merehatkan raga. Bukan malah bertengkar seperti ini.
"Tidak apa-apa! Saya akan pergi saja," balas Tarno sembari tersenyum. Matanya basah. Dan rasanya, separuh Bumi menindihnya.
"Baguslah. Pergi sana dari rumah saya," sungut istri tersebut yang masih emosi.
“Diam, Bu. Ibu tak tahu malu! Pak Tarno ini sering memberikan kita makanan box, yang sering bapak bawa, setelah jadi penonton bayaran. Lupa, ya?”
“Lupa, pak! Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang,” sengit istri penonton bayaran.
“Ka ... kamu! Tak sopan, Bu!”
“Cukup, Pak!” cegah Tarno pada penonton bayaran, yang hendak melayangkan tamparan pada wajah istrinya.
Tarno benar-benar tak enak. Dia sudah menjadi perusak hubungan antara dua insan pasutri.
“Saya pergi saja, Pak. Oh, ya, saya bawa roti kotak, sisa kru tadi. Ambillah buat anak-anakmu,” kata Tarno.
Istri penonton bayaran terdiam, sedikit tak enak. Demikian juga dengan penonton bayaran yang memandang sengit istrinya.
Penonton bayaran pun bernapas gusar. Tak habis pikir dengan tingkah istrinya itu.
"Tapi, Pak. Ini sudah malam. Lantas, bapak mau ke mana?" tanya penonton bayaran tersebut.
Tarno tersenyum. Sebenarnya, ia juga bingung akan pergi ke mana. Tambahan pula, kepalanya sudah penat sekali.
Tarno tak memiliki tempat tujuan sama sekali. Namun, ia juga tak bisa untuk tinggal di situ. Hanya membuat pasangan itu semakin larut dalam pertengkaran nantinya.
"Saya akan pergi ke rumah teman saya." Bohong Tarno, karena tak memiliki cara lain selain berbohong.
"Bapak yakin? Apa perlu saya antar?" tawar pria itu. Lelaki itu segera menyambar jaket kumalnya, yang tergantung di dekat pintu.
Tarno menggeleng, "Tidak perlu repot-repot. Saya bisa sendiri. Maaf bila kehadiran saya justru membuat kamu ribut dengan istri kamu," ucap Tarno tulus.
"Saya yang seharusnya minta maaf, Pak. Bukan Bapak! Ya sudah, jika memang Bapak ingin pergi, hati-hati Pak." Ucap penonton bayaran tersebut.
Tarno pun pergi. Ia memutuskan untuk memesan ojek online untuk menuju ke sebuah losmen.
Namun, saat di jalanan sepi, sekawanan jambret menghampiri. Tarno berusaha berontak. Namun, penjambret dengan tubuh gempal langsung saja menghadiahi bogeman tepat di perut Tarno.
Tarno pun tersungkur. Namun, dia berusaha bangkit kembali seraya ingin mengambil koper yang tak jauh dari jangkauannya.
Karena, tadi saat dia tersungkur, kopernya pun terlepas. Namun, saat hendak menggapai, preman tadi langsung menendang tangan Tarno.
"Ayo kita pergi!" ucap salah satu preman itu. Preman yang lebih dari dua itu pun bergegas pergi.
"Tolong, jangan bawa koper dan dompet saya," ucap Tarno berusaha bangkit kembali.
"Tidak kapok juga ini orang, ya!" ucap salah satu preman dan langsung memukuli Tarno hingga membabi buta.
Tarno yang tak kuat pun langsung kembali tersungkur. Ia lemah dan tak sadarkan diri. Para penjambret tersebut tertawa dan langsung meninggalkan Tarno yang penuh memar di sekujur tubuhnya.
Tarno terkapar di trotoar. Setelah dipukuli oleh penjambret tadi, inilah nasibnya. Wajah penuh lebam dan tentu saja itu menyakitkan.
Tarno mencoba bangkit. Namun, baru saja ingin berdiri, seluruh badannya masih terasa sakit. Sejenak ia hapus noda darah, yang merembes dari sudut bibirnya.
Ia memutuskan untuk duduk kembali. Tarno menatap sekeliling hanya untuk mencari kopernya.
"Di mana koperku?" tanya Tarno yang entah pada siapa. Dia acak-acak rambutnya
Tak lama kemudian, Tarno mengingat musibah yang tadi dia alami, koper dan dompetnya raib. Dan lunglailah ia.
Malam yang menghanyutkan asanya. Malam ini dia muncul di berita online sebagai pelawak tutup karir. Malam ini pula, dia diusir Bianca dari rumah dengan perceraian di ambang mata. Dan seolah belum cukup, dia kehilangan barang-barang tersisa.
Ia tak bisa menyelamatkan barang-barangnya. Jangankan barang-barang, fisik saja sudah rapuh dan babak belur.
Untung saja, barang berharga masih ada yang selamat, yaitu ponselnya. Dia tautkan ponsel dan wajahnya, membuat ponsel itu basah dengan air matanya.
"Aku sudah tak punya apa-apa," ucap Tarno tersenyum getir.
Dalam keadaan seperti ini saja, Tarno mencoba tersenyum. Walau kalut dan tentu saja dirundung kebingungan.
Namun, yang terjadi sudah terjadi. Ibarat nasi yang sudah resmi menjadi bubur tak akan bisa dikembalikan menjadi nasi lagi.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Dengan tak bersemangat, Tarno mengecek notifikasi pesan. Pesan tersebut berisi pemberitahuan bahwa uang bayaran untuk figuran reality show sudah ditransfer.
Tarno hanya menatap nanar pada layar benda pipih itu. Semua tampak percuma. Bahkan, pesan itu pun terasa hambar bagi Tarno.
"Astaga, aku harus apa? Atm ada di dompet dan dompet itu sudah di ambil oleh penjambret," frustasi Tarno.
Ia menjambak kasar rambutnya. Saat ini Tarno sangat frustasi. Kejadian demi kejadian membuatnya tak berdaya. Bahkan, kondisinya saat ini lebih memprihatinkan.
"Sepeser pun aku tak punya uang lagi. Semua raib. Aku harus bagaimana?" Tarno menatap sedih pada jalanan yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
Meratapi nasib yang tak berkesudahan. Semua terjadi begitu saja. Menyisakan luka yang amat mendalam untuk Tarno.
Ingin mengeluh, namun merasa tak pantas. Karena, Tarno masih yakin, bila di luaran sana masih banyak yang belum beruntung dan bahkan hidup susah melebihi dirinya saat ini.
Bukan hanya itu, sesuap nasi pun belum terisi di dalam perut sejak pulang tadi. Sekarang cacing yang ada di perut Tarno berdemo ria. Tarno lapar, sangat lapar!
"Bahkan, aku belum sempat makan. Cobaan bertubi-tubi datang," lelah Tarno meringis sembari memegangi perutnya yang kram. Efek terkena pukulan dan juga rasa lapar yang tengah melanda.
Tarno hanya bisa pasrah dan berharap. Semoga ada keajaiban datang.
Dalam bentuk apa pun. Sekarang dia terlalu rapuh dan tak berdaya. Hanya bisa terpaku meratap langit.
Jika boleh mengeluh, sudah pasti Tarno mengeluh pada langit. Jika bisa protes, sudah pasti Tarno protes pada semilir angin yang sedari tadi menerpa. Namun, itu hanya pengibaratan semu saja.
Tanpa di duga, tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang melemparkan sekotak pizza. Terlihat, seorang anak kecil menjulurkan sedikit kepalanya dari kaca mobil. Tarno pun melihat semua itu.
"Om Tarno, itu pizza buat Om," teriak anak kecil itu.
Tarno kaget. Ia hanya bisa memandangi sekotak pizza dan anak kecil itu secara bergantian.
Anak itu ... anaknya Dokter Reno, batin Tarno. Dia tahu, karena dia sudah melihat potret keluarga pebinor istrinya.
Astaga! Apa anak ini tidak tahu, jika bapaknya diambil istriku?