Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Buaya Air Tawar

Bab 14 Buaya Air Tawar

"Om Tarno, itu pizza buat Om," teriak anak kecil itu.

Tarno kaget. Ia hanya bisa memandangi sekotak pizza dan anak kecil itu secara bergantian.

Anak itu ... anaknya Dokter Reno, batin Tarno. Dia tahu, karena dia sudah melihat potret keluarga pebinor istrinya.

Astaga! Apa anak ini tidak tahu, jika bapaknya diambil istriku?

Tentu saja, Tarno tidak tahu, jika istri dari lelaki yang diambil Bianca baru saja mendapat kesedihan. Reno sudah dalam proses menceraikan Vindi juga.

Flashback on.

Vindi mengendarai mobil. Membelah keramaian kota dan padatnya kendaraan yang berlalu lalang. Ini semua Vindi lakukan demi menghibur Verrel.

Memang benar, saat ini hati Vindi sangat dan teramat terluka. Namun, ia menyisihkan ego dan rasa sakit. Apapun ia lakukan hanya untuk membuat Verrel ceria kembali.

"Sudah sayang! Jangan sedih terus, ya?" ucap Vindi dengan tangan kiri yang terulur mengusap sayang kepala Verrel.

"Papa pergi, Ma. Aku sedih," ucap Verrel dengan parau.

Vindi bisa melihat kesedihan yang terpancar di mata Verrel. Melihat anaknya yang bersedih, kesedihan Vindi berlipat ganda.

Namun, sebisa mungkin Vindi mengontrolnya. Vindi tak mau bersedih di depan Verrel. Ia tak mau menambah kepedihan anaknya.

Anak kecil itu sedari tadi menangis. Seakan tahu dan paham apa yang tengah terjadi di keluarga kecilnya.

Terlebih, dengan mata kepalanya sendiri, Verrel menyaksikan kepergian Reno. Itu dampaknya amat besar untuk Verrel.

"Papa hanya pergi sebentar. Papa akan pulang bila urusannya selesai," ucap Vindi seolah meyakinkan Verrel.

Vindi tersenyum getir. Sebenarnya, ia tak sampai hati berkata seperti itu. Ada rasa nyeri yang masih setia mendiami lubuk hati.

Namun, apalah daya, dia hanya ingin Verrel tak terjebak dalam lingkaran kepedihan. Cukup dia saja, jangan melibatkan anaknya. Sungguh, Vindi tak ridho bila seperti itu.

"Jangan menagis, sayang! Ada Mama di sini. Mama selalu ada buat Verrel. Mama janji," ucap Vindi menghibur Verrel.

Miris bukan, Vindi menasehati anaknya seperti orang paling tegar di dunia. Sementara dirinya saja, menahan mati-matian air mata agar tak luruh begitu saja.

Perih, sakit, sesak, semua tengah bersemayam di hati Vindi. Dia ditikung seorang model cantik.

"Tapi, Ma. Kenapa Papa cuek tadi? Aku juga mengejar Papa saat hujan. Namun, Papa juga tidak berhenti," cerca Verrel seolah mengorek peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Vindi bernapas gusar. Dia bingung, harus dengan cara apa lagi untuk meyakinkan Verrel.

Vindi takut bila seperti ini secara terus menerus, maka dia tak akan bisa menjawab pertanyaan yang Verrel lontarkan.

"Mungkin Papa tak melihat keberadaan Verrel. Makanya Papa tidak berhenti," bohong Vindi.

Sungguh, Vindi itu sangat benci kebohongan. Namun, lihatlah! Bahkan, sekarang ini ia tengah berbohong.

Terlebih, dengan anaknya sendiri, Verrel. Ia benci kebohongan. Ia pula benci dibohongi.

Namun, demi kebahagiaan anaknya, ia rela melakukan hal yang amat dirinya benci. Kebohongan.

"Tapi, Ma. Papa berubah akhir-akhir ini," lesu Verrel.

Sebutir air mata jatuh membasahi pipi Vindi. Namun, Vindi segera mengusap air tersebut dengan kasar.

Jangan sampai menangis di depan anak! Vindi takut Verrel semakin bersedih.

"Papa tidak berubah. Papa hanya lelah, itu saja. Papa ingin menenangkan diri. Bila sudah tak lelah, Papa pasti mau bermain lagi dengan Verrel."

Vindi mencoba membuat anaknya paham. Walau sulit, tapi Vindi harus tetap berusaha.

"Papa nyuekin aku, itu sakit, Ma!" adu Verrel bersedih.

Bukan hanya kepada kamu, Nak. Papa bersikap seperti itu. Dengan Mama lebih parah. Kamu masih kecil, tidak pantas berada di situasi seperti ini.

Maafkan Mama yang belum bisa menjadi ibu yang sempurnya untukmu. Belum bisa menjadi seorang istri yang di idam-idamkan oleh Papamu. Ucap Vindi dalam hati.

"Pokoknya, Verrel nggak boleh sedih lagi. Papa itu kerja, nanti pulang lagi. Oke?" ucap Vindi yang masih mencoba meyakinkan Verrel.

Anak kecil itu pun pasrah. Ia mengangguk dan berusaha untuk mempercayai setiap perkataan Vindi.

Tak lama kemudian, Vindi melihat sosok yang amat familiar tengah berada di trotoar jalan. Namun, dia lupa siapa sosok itu. Berkali-kali Vindi menamatkan dan menajamkan penglihatan, tetap saja dia lupa.

"Itu siapa, ya? Seperti tak asing," ucap Vindi sembari berpikir.

Verrel yang sedari tadi menunduk sedih, ketika mendengar ucapan Vindi, Verrel pun mendongak. Verrel pun mengikuti arah pandang Vindi yang fokusnya kini terpecah. Satu di jalan, satunya lagi masih setia memandangi seseorang.

"Kayaknya aku tahu deh, Ma," ucap Verrel berseri.

Vindi pun menoleh sebentar pada anaknya. Tak lupa pula tetap fokus mengendarai mobil.

Ya, walau sekarang ini yang lebih mencuri perhatiannya itu adalah seseorang itu yang amat familiar. Siapa dia?

"Siapa sayang?" tanya Vindi penasaran.

Jika anaknya tahu, sudah pasti itu orang penting atau bahkan sanak saudara yang jauh, maybe. Namun, tetap saja, walau familiar, tetap terlihat asing di indra penglihatan Vindi.

"Itu Om Tarno, Ma. Pelawak terkenal itu." Verrel pun memberi tahu Vindi.

Vindi pun menyerngit. Ia sangsi bila itu adalah sosok Tarno, pelawak terkenal. Mana mungkin pelawak terkenal ada di pinggir jalan dengan kondisi seperti itu?

Pikiran Vindi berkelana. Tangannya gemetar.

Tarno kan suaminya Bianca, Si Jalang itu? Kenapa dia seperti gelandangan? Apa dia juga diusir oleh Bianca? Batin Vindi berkecamuk.

Tapi, apa benar dia Tarno? Atau ... hanya mirip belaka?

"Masa sih? Tidak mungkin, sayang! Ngapain coba dia di situ?" sergah Vindi yang masih tak percaya.

"Serius, Ma. Aku hafal betul dengan Om Tarno," ucap Verrel meyakinkan.

Saat pikiran Vindi kalut. Tiba-tiba saja, Verrel mengambil sekotak pizza yang tadi dia beli bersama Vindi. Verrel ingin memberikannya pada Tarno.

Langsung saja Verrel lempar kotak tersebut ke arah Tarno. Vindi pun kaget dan hanya terdiam. Membiarkan saja.

Entahlah. Harusnya dia marah pada Tarno, yang tak bisa menjaga Bianca dengan baik.

Namun, kali ini perasaannya berkata lain. Dia merasa, Tarno juga mengalami hal yang sama : terdepak, tersisih, dibuang dari kehidupan para peselingkuh itu.

"Om Tarno, itu pizza buat Om," teriak anak kecil itu.

Dan Tarno tampak terkejut. Dia berusaha menghindari pandangan Vindi. Namun, Vindi terlanjur menemukan luka di mata pelawak itu.

Flashback off

***

Jika malam tadi terlalu berat buat Vindi dan Tarno. Namun, tidak untuk pagi ini buat Bianca dan Reno.

Saat ini, Bianca tengah menggelar konferensi pers. Tentu saja dikelilingi oleh puluhan wartawan yang haus akan berita. Kali ini, Bianca tak sendiri, melainkan bersama Reno.

Bianca berjalan dengan angkuh memasuki tempat konferensi pers. Jangan lupakan Reno yang selalu ada di sampingnya. Bianca tampak menautkan tangannya pada lengan Reno.

Reno terlihat amat percaya diri. Dia senang bila dirinya disorot kamera. Reno ibarat haus akan ketenaran.

Sesampainya di depan media, Bianca langsung berdiri dengan angkuh dan sesekali tersenyum pada awak media. Bianca pula ditemani oleh managernya.

"Selamat siang. Saya Bianca. Langsung saja, di sini saya akan mengklarifikasi. Bahwa, saat ini, saya tengah mengurus proses perceraian saya dengan Mas Tarno," ucap Bianca dengan lantangnya.

Sesekali Bianca tersenyum, namun masih dengan raut yang amat serius kala mengatakan hal tersebut. Tak lupa, sekerat akting dengan mata bermanik-manik basah. Buaya air tawar itu menangis tersedu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel