Bab 8 Suami Terkutuk
Bab 8 Suami Terkutuk
“Jadi, itu pebinornya?”
“Wow, cakep banget, ya. Pantesan Bianca membuang Tarno pada tempatnya.”
“Hush, emang Tarno sampah? Aslinya, dia cukup tampan, lho. Aku pernah ketemu sama dia.”
“Cakep dari Hongkong. Lha, julukannya aja Pelawak Gorilla, kok. Pasti jelek. Nyatanya, dibuang Bianca.”
Demikianlah pembicaraan para pedagang makanan di hall bersama, yang menyaksikan infotainment terbaru. Heboh!
Topiknya sama dengan yang digunjingkan tukang parkir, mahasiswa halu, ibu rumah tangga dan tukang sayur, yaitu tentang Reno yang menyelamatkan Bianca dari kerumunan wartawan.
Benar saja, tak butuh waktu lama berita itu tersebar. Di mana-mana pemberitaan tentang aksi Reno yang menghampiri Bianca di penggelaran show itu sedang marak dibicarakan.
Berbagai channel televisi sudah pasti meliput berita itu. Rumor-rumor semakin pedas seakan menggelora masuk ke dalam hati para penonton berita.
Sungguh, dalam seketika berita itu trending topik. Lebih panas dari berita sebelumnya.
Terlihat, mata sayu seseorang tengah menatap nanar pada layar televisi yang memperlihatkan aksi Reno tersebut. Sebutir air mata turun dan sontak mengundang butiran lain yang memang sudah berlomba-lomba ingin keluar.
"Aku harus apa?" tanya wanita itu parau.
Sekalipun Vindi tak mengalihkan tatapan dari layar tersebut. Sedari tadi pandangannya mengabur oleh linangan air mata. Ia benci akan hati yang mudah rapuh.
Memang, wanita kerap ditakdirkan bila menanggapi sesuatu selalu menggunakan hati. Hati yang mudah tersentuh.
Mengakibatkan sakit yang amat menyayat. Separah itukah kerapuhan hati seorang wanita?
Mudah rapuh, tapi nyatanya kebanyakan pria tak tahu akan kondisi dan cara menghargai wanitanya.
"Aku tak boleh terpuruk! Aku harus membicarakan ini dengan Mas Reno," ucap Vindi sembari menghapus dengan kasar air matanya.
Vindi harus bangkit. Jangan terpuruk oleh keadaan.
Keterpurukan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Opsi yang paling tepat, yaitu membicarakan segala kegundahan dalam hati. Berbicara dari hati ke hati.
Dan rencana ini pun tampaknya akan segera berjalan. Pagi ini, Reno pulang ke rumah.
Vindi pun langsung menghampirinya. Membantu Reno melepas jas, bahkan sampai melepas sepatu. Semua yang Vindi lakukan itu dengan diam, tanpa sepatah kata pun.
Padahal, Reno sudah menduga bila dirinya pulang, sudah pasti akan mendapat sambutan panas dari Vindi. Namun, nyatanya Reno salah besar.
Reno pun juga hanya diam saja. Memantau gerak-gerik Vindi.
Reno tahu bila Vindi habis menangis. Terlihat jelas mata Vindi yang bengkak dan hidung memerah.
Jangan lupakan wajah wanita itu yang terlihat sangat pucat. Sungguh, Vindi lebih mirip mayat hidup saja.
Bodoh memang, bila menyia-nyiakan wanita seperti Vindi. Kurang sabar apa dirinya selama ini?
Selalu terlihat tegar walau badai tengah menghadang. Vindi pun berusaha mengontrol emosi. Baginya, emosi juga tak dapat menyelesaikan masalah.
"Aku ingin bicara sama kamu," ucap Vindi kala Reno akan memasuki kamar mandi.
"Oke. Aku mau mandi dulu," jawab Reno datar sembari memasuki kamar mandi.
Vindi pun menatap nanar pintu kamar mandi. Air mata yang sedari tadi ditahan olehnya, kini keluar juga.
Tak dapat lagi terbendung. Vindi terisak sembari memukuli dadanya yang sungguh terasa amat sesak.
Suara isakan itu kian beriringan dengan suara gemercik air dari dalam kamar mandi.
Berkali-kali Vindi menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Berusaha menghentikan tangisannya.
Vindi tak mau bila Reno melihatnya menangis. Mengusap wajah dengan selimut yang ada di ranjang. Lalu, dengan miris, Vindi mengedarkan pandangan ke seisi kamar.
Vindi mengingat banyak kenangan yang sudah dirinya dan Reno rangkai di kamar ini. Bukan hanya terhitung oleh jam, tapi sudah bertahun-tahun lamanya.
Dengan sisa kekuatan yang terselip di ulu hati, Vindi mencoba mempertahankan apa yang memang menjadi miliknya. Mampukah? Kenyataannya, bicara dari hati ke hati, seperti bicara saat bibir ini membeku. Berat!
Semoga semesta masih memberi kesempatan pada Vindi untuk menjadi seorang istri yang baik untuk Reno. Walau, nyatanya sebaliknya, justru Reno yang harunya sadar diri dan berusaha menjadi suami terbaik untuk Vindi. Namun, sepertinya itu adalah hal langka.
"Mau bicara apa?" tanya Reno yang entah kapan sudah menyelesaikan ritual mandinya.
Vindi pun menoleh pada Reno. Ia masih berusaha mengontrol rasa sakit.
"Aku ingin membicarakan semua yang sudah terjadi." Vindi menatap sebentar pada Reno dan langsung berjalan menuju balkon kamar.
Di sana, Vindi duduk pada kursi yang memang sudah ada di balkon. Mau tak mau, Reno pun mengikuti jejak Vindi. Duduk di samping Vindi sembari melihat mentari yang masih malu-malu untuk menampakkan diri.
"Katakanlah, apa yang ingin kau katakan!" ucap Reno dingin.
Vindi tersenyum miris kala mendapati sikap Reno yang tak berubah. Justru semakin dingin saja.
Ia pikir, Reno pulang ingin menjelaskan semua. Nihil. Reno justru bersikap seperti itu dengan tampang seperti tak memiliki dosa saja.
"Aku akan memaafkan dirimu. Karena, itu sebuah ke-khilafan semata," ucap Vindi dengan bergetar.
Reno kaget. Ia pikir Vindi akan mengajak dirinya untuk mengakhiri rumah tangga mereka.
Namun, justru Vindi berkata seperti itu. Tidak, Reno sudah memantapkan diri dengan memilih Bianca.
"Tapi, aku tidak meminta maaf, Vin. Sepertinya juga aku tak berniat meminta maaf." Ucapan itu sangat menohok hati Vindi.
Bahkan, panggilan sayang mereka — Mama dan Papa — sudah tak lagi dipakai oleh Reno. Reno memanggil Vindi dengan namanya. Sungguh, ada yang lebih sakit dari ini?
"Kamu tak ingin mempertahankan rumah tangga kita?" tanya Vindi sembari meneteskan air mata.
Reno pun menatap datar pada Vindi. Vindi pun juga begitu.
Ia masih berharap bila Reno mau meminta maaf dan mempertahankan rumah tangga mereka. Bukan malah mengorbankan.
Vindi tak ingin adanya perceraian yang nantinya akan berdampak pada anaknya, Verrel. Dan rasanya, harapan itu menipis, ketika melihat Reno sudah tersenyum sinis padanya.
Tangan Reno terulur untuk menyeka air mata Vindi. Vindi semakin terisak dalam kepedihan ini.
"Sampai kamu menangis darah saja, tak akan merubah keputusanku. Sudahlah, jangan menangis! Hanya buang-buang tenaga."
Reno langsung bangkit dan bernapas gusar. Hati Vindi semakin hancur kala mendengar kata-kata menohok dari Reno.
Ia sudah tak berdaya untuk mencegah Reno. Jika boleh membenci, Vindi akan membenci dirinya sendiri.
Diri yang terlalu rapuh dan membuatnya tak berdaya. Kakinya gemetar. Tapi, Vindi paksakan berdiri.
"Bertahanlah! Setidaknya, untuk anak kita," ucap Vindi dengan harapan terakhir.
Reno menghadap pada Vindi. Mendekati wanita itu dan langsung memegang kedua bahu Vindi. Menatap lekat manik mata Vindi dalam-dalam.
Vindi hanya bisa memelas. Vindi masih menaruh penuh harapan. Namun, kata-kata Reno justru membuat hidupnya hancur.
"Dengar! Aku sudah tidak ingin bersamamu lagi. Hatiku sudah mantap memilih Bianca sebagai pasangan hidupku."
Setelah mengatakan itu, Reno langsung pergi meninggalkan Vindi. Vindi pun langsung luruh.
Perempuan ini meraung pilu. Seolah mengeluarkan segala kepedihan yang ada.
"Jangan pergi! Lupakah kamu dengan semua hal yang pernah kita lalui?" tanya Vindi.
Sontak, Reno menghentikan langkahnya. Berbalik, tanpa minat menghampiri
Vindi lagi. Vindi pun menatap nanar pada Reno. Kini, Vindi lebih mirip pengemis saja.
"Aku akan merangkai kisah baru bersama Bianca!" seru Reno sinis.
Reno kembali melangkah. Kini, Reno benar-benar pergi dari hadapan Vindi.
Vindi hanya bisa pasrah. Sekuat apapun mempertahankan rumah tangganya, bila Reno sudah tak mau dan berpaling, akan terkesan percuma.
Walau begitu, setidaknya Vindi sudah berusaha semaksimal mungkin dalam hal ini. Mungkin ini yang dinamakan permainan takdir.
Vindi tak bisa menentang takdir. Ia harus merela, walau itu terlalu menyakitkan.
“Aku berharap, kamu akan menyesal, Mas,” kata Vindi. Sesak dadanya.
Bruk! Lutut wanita ini menghempas lantai. Dia pegangi dadanya yang terasa amat nyeri. “Terkutuklah kamu, Mas!”
Dan semesta mendengar permintaan perempuan teraniaya ini. Akankah itu terjadi?