Bab 7 Love You More
Bab 7 Love You More
“Tega kamu, Mas! Kenapa tidak diangkat?”
Vindi menatap miris pada layar ponsel itu. Sesekali mengusap air mata yang dengan nakalnya tak mau hanya sekedar untuk berhenti.
Pikiran kacau dan kalut. Bahkan, kini, tampilan Vindi sudah seperti gembel saja. Menangis dan meraung pilu tanpa henti.
Beberapa kali mencoba menghubungi, namun tak ada jawaban. Kini, Vindi menyerah. Melempar asal ponsel berlogo apel ke sofa.
"Mama. Kenapa menangis?" tanya Verrel sembari berlari kecil menghampiri Vindi yang malang.
Sungguh, Vindi semakin histeris kala menatap Verrel yang juga tengah menatapnya dengan tatapan polos, khas anak kecil. Dengan jemari mungilnya, Verrel mengusap air mata yang setia menemani Vindi.
Vindi tak tahan lagi. Ia langsung memeluk erat malaikat kecilnya. Kini, hanya Verrel kekuatan hidupnya.
Setelah memeluk Verrel, Vindi pun menangkup wajah kebingungan Verrel. Mencium seluruh wajah Verrel dengan sayang. Tak lupa pula mencium tangan mungil yang sudah mengusap air matanya.
"Mama tidak apa-apa," ucap Vindi parau, berusaha menyembunyikan luka dengan tersenyum.
Sungguh, tersenyum untuk menutupi luka itu amat menyakitkan. Pura-pura bahagia itu termasuk hal yang paling bodoh.
Karena apa? Karena, sudah begitu hancur, tapi masih sok tegar. Lucu sekali, bukan?
"Tapi, Mama menangis, aku juga sedih. Jangan menangis, ya, Ma!" ucap Verrel seakan mengerti bila wanita yang sudah melahirkannya itu sedang bersedih. Tidak baik-baik saja.
Harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia? Kini, cintaku telah berpaling dan menghianati ikatan suci yang sudah beberapa tahun kami dirikan.
Cintaku, kekasihku, penyemangat hidupku kini dengan teganya berhianat. Jika aku bisa membagi keluh kesal ini. Aku harap, sang angin mampu membawa pergi jauh rasa sakit yang bersemayam di ulu hati.
Layaknya sang angin yang tengah membawa pergi jauh dedaunan yang kering meninggalkan pohon. Jika aku boleh meminta, aku akan meminta badai dapat membersihkan takdir buruk ini.
Menghempaskan jauh dan menggantinya dengan kebahagiaan. Bukan lara yang kian menyakitkan. Jika aku boleh berharap, harapanku hanyalah semoga semua ini hanyalah mimpi buruk yang hanya sebatas bunga tidur.
Seperti nyata, tetapi bila sudah bangun, aku akan tersadar bila itu hanyalah mimpi. Namun, jika menoleh pada kenyataan, kebenarannya memang seperti itu.
Realita tak semanis ekspestasi. Hanya berangan dan terkesan semu. Sungguh, adakah obat yang bisa menyembuhkan sakitku ini? Batin Vindi berharap banyak.
***
“Bianca, selangkah lagi, kamu milikku, ha ha!”
Di lain tempat, Reno terlihat bangga dan tentu saja amat senang kala mendapati dirinya yang sedang banyak diperbincangkan di dunia maya. Terlebih, ia bisa merasakan dirinya diekspos bersama Bianca.
Harusnya Reno malu. Namun, nyatanya tidak sama sekali.
Reno tersenyum bangga pada diri sendiri. Entah apa yang merasuki pikiran Reno.
“Oh, Bianca yang cantik, yang kuimpikan selama ini. Tak kusangka, akhirnya ini akhirnya. HAPPY ENDING!” Masih saja Reno mengagumi aib itu.
Sudah gilakah ia? Tentu saja tidak.
Bahkan, saat pemberitaan pelik seperti ini pun ia justru tak mengabari Vindi. Atau bisa saja memberi penjelasan pada wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu. Nyatanya tidak.
Bila diibaratkan, Reno memang sudah lupa daratan. Ia terlalu asik tenggelam dalam lautan kesenangan semata.
Tak pernah bisa memikirkan posisi Vindi. Tak mau sedikit saja mengerti akan perasaan Vindi.
Sungguh, Reno yang egois dan tentunya Vindi yang sabar. Pasangan yang sebentar lagi akan runtuh.
"Aku akan menemui Bianca," ucapnya dengan bangga sembari melepas jas dokter yang masih melekat di tubuhnya.
Setelahnya, dengan bersiul senang, Reno mulai bersiap.
Reno tahu. Tentu saja banyak sekali nantinya wartawan yang kian menghadiri fashion show yang sedang dijalankan Bianca.
Bagi Reno itu tak masalah. Yang terpenting, penampilan harus oke dan memukau di depan public.
"Perfect boy!" puji Reno pada diri sendiri.
Penampilan sudah oke. Kini, Reno langsung menyambar kunci mobil dan tak lupa pula ponsel miliknya.
Di perjalanan, Reno mengecek ponsel dan berdecak kala ada puluhan panggilan dan juga pesan dari Vindi. Ia tak berniat menelfon balik, atau bahkan, membuka pesan dari Vindi.
Semua pesan langsung Reno hapus. Sungguh, jahat sekali Reno!
"Sekarang, prioritasku adalah Bianca," ucap Reno dengan menyeringai.
Dan lelaki ini berpikir, seperti apa aksinya nanti. Apakah perlu dia tersenyum iba untuk Bianca. Atau dia harus memeluk, bila perlu menggendong perempuan ini. Semata-mata agar terhindar dari khalayak pers.
Sebuah panggilan lagi. Vindi – istrinya.
“Kamu tolol atau dungu, Vindi? Jika suamimu tak mau menjawab, harusnya kamu tahu artinya.”
Sebuah panggilan lagi. Vindi tak jera rupanya.
“Stupid! Damn! Hentikan Vindi. Sampai langit terbelah, aku tak akan mengangkatnya!” Reno masih tak merasa bersalah. Asyik saja lelaki ini menuju mobilnya.
Reno sudah tak ada minat untuk sekedar menemui Vindi. Bayangan Vindi seakan memang sudah sirna dari pikiran Reno.
Yang Reno inginkan hanyalah Bianca. Berpikir bagaimana secepatnya menghampiri Bianca.
Tidak perlu ada Vindi lagi dalam otaknya. Ia merasa jengah dengan Vindi yang padahal istrinya sendiri.
"Selalu tampan," puji Reno pada diri sendiri kala sebelum memasuki mobil mewahnya, sempat-sempatnya ia bercermin pada kaca spion. Setelah itu, dia memasuki mobil dan langsung tancap gas menemui pujaan hati.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Reno sampai. Keluar dari mobil mewahnya dan langsung berjalan penuh kharisma.
Dari kejauhan Bianca melihat kehadiran Reno. Dari lima belas menit yang lalu, Bianca sudah menyelesaikan pertunjukan show sebuah brand baju.
Bianca masih sibuk dengan puluhan wartawan yang mengerubungi dirinya. Reno tersenyum miring dan berinisiatif untuk menemui Bianca, saat ini juga.
Sungguh, Reno itu terlalu nekat. Harusnya ia malu bersikap seperti itu.
Terlebih, ini akan menyebar sangat pesat lagi beritanya. Rupanya, urat malu Reno sudah putus. Itu semua pengaruh dari Bianca.
Dengan percaya diri, Reno menghampiri Bianca. Menghalau para wartawan yang mengerubunginya. Sontak saja, aksi itu mengundang kehebohan di media massa.
Bianca pun tak keberatan dengan tingkah nekat Reno. Reno yang datang langsung menyodorkan lengannya untuk digandeng oleh Bianca.
Dengan senang hati Bianca menerima uluran itu. Keadaan semakin ricuh.
Banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut para wartawan. Sungguh, sangat ricuh.
Reno membawa keluar Bianca dari kerumunan tersebut. Tak lupa pula menampilkan senyum menawan.
Saat semakin terdesak, sontak saja Reno langsung merangkul pundak Bianca.
Sungguh, sudah heboh, tambah heboh saja.
Reno membawa Bianca menuju mobil. Memang, tak ada sepatah maupun beberapa patah kata yang terlontar dari mulut Reno.
Namun, senyuman pria itu tak pernah pudar. Sepertinya, Reno memang amat senang dengan semua ini.
"Pasti sebentar lagi berita tentang kita kembali menghiasi layar televisi," ucap Bianca setelah mereka berhasil memasuki mobil.
Bianca menggenggam hangat lelaki ini. Dirinya seolah bersimpati, dan takut, jika hal ini akan merusak citra Reno.
"Tidak masalah, biar sekalian publik tahu hubungan kita ini," jawab Reno enteng sembari menyalakan mesin mobil.
Teng! Seperti mendapat durian runtuh. Inilah saat yang ditunggu-tunggu Bianca.
Perempuan ini tak kuasa berkaca-kaca. Dia tatap Reno dengan sepenuh hati.
"Love you." Bianca bergelanyut manja pada lengan kokoh Reno yang sedang menyetir.
Reno pun terkekeh. "Love you more," balasnya.
Mobil sport yang dikemudikan oleh Reno pun turut membelah kerumunan wartawan yang masih setia mengerubungi mobilnya. Meninggalkan seberkas berita yang sudah pasti akan diliput di layar kaca.