Bab 6 Mengatakan Cantik pada Istri Orang
Bab 6 Mengatakan Cantik pada Istri Orang
"Kamu cantik malam ini," ucap Reno sembari menggenggam jemari lentik milik Bianca.
Bianca pun tersipu, "Hanya malam ini cantiknya? Kemarin-kemarin?" tanya Bianca yang pura-pura merajuk.
"Selalu cantik, sayang. Dan—" Reno sengaja menjeda ucapannya. Ia menatap lekat wajah Bianca. Bianca juga tengah menatap Reno.
"Dan ... apa?" tanya Bianca memicingkan mata.
"Menggoda," jawab Reno sembari mencium punggung tangan Bianca. Seakan menyalurkan rasa cinta yang begitu dalam.
Bianca tertawa renyah. Romantis sekali. Ibarat pasangan yang sesungguhnya.
Mereka mengabaikan bila ini di tempat umum. Terlebih, Bianca merupakan super model yang karirnya tengah naik daun.
Tentu saja pasti banyak orang yang mengenali. Terlebih, tanpa mereka sadari, sedari tadi ada papparazi yang mengabadikan moment manis itu lewat kamera.
Tak lama kemudian, makanan pun datang. Langsung saja mereka menyantap berbagai hidangan yang tersaji sembari bercanda gurau.
Terkadang, Reno terang-terangan merayu Bianca. Bianca pun menanggapi dengan suka cita. Sungguh, amat serasi.
Beberapa saat, kala Bianca dan Reno menyelesaikan acara makan malam. Keduanya pun memutuskan kembali bermalam di sebuah hotel. Bianca dan Reno bergandengan tangan menuju mobil.
"Silakan tuan putri," ucap Reno sembari membuka pintu mobil untuk memberi akses agar Bianca masuk ke dalam kursi penumpang.
"Oh, manis sekali," puji Bianca sembari membelai sebentar wajah Reno. Reno pun terkekeh sembari mengerlingkan mata.
"Apa pun untukmu," balas Reno sembari menutup pintu mobil.
Mereka berdua pun sudah berada di dalam mobil. Kemudian, mobil tersebut melaju dengan kencang membelah jalanan kota malam yang masih ramai itu.
Membawa dua insan ke tujuan mereka bersama, yaitu hotel. Sesampainya di hotel, mereka berjalan beriringan sembari berpelukan.
Jangan lupakan seseorang yang sedari tadi mengikuti dirinya. Sudah pasti puluhan gambar yang sudah di dapat oleh orang tersebut.
Baik Reno dan Bianca, mereka berdua sama-sama tak sabar mengulangi masa indah. Menghabiskan sepanjang malam bersama.
Semilir angin pun menerpa keduanya. Seakan memberi kesan syahdu yang tercipta antara Reno dan Bianca.
"Tidak sabar!" seru Bianca yang terdengar merdu di indera pendengaran Reno.
"Sebentar lagi sampai," balas Reno pelan.
Mereka berdua kembali masuk dalam satu kamar hotel yang sudah Reno pesan. Mengunci pintu dan menikmati malam panjang.
Seperti tak ada hari esok lagi. Sungguh, mereka lupa akan status.
Entah seperti apa esok akan menyambut mereka. Mereka hanya mencari kesenangan dan kepuasan masing-masing.
“Kamu jago sekali, Reno!”
“Oh ya, bagaimana dengan pelawak Gorilla itu?” kata Reno dengan lihainya mempermainkan tombol-tombol Bianca.
“Aduh, banjir!” keluh Bianca. Tanpa menjawab pertanyaan Reno.
“Hush! Pelan-pelan sayang. Nanti teriakannya sampai ketahuan Papparazi,” kata Reno bercanda.
Bukannya takut, Bianca yang miliknya sudah meleleh ke mana-mana, malah mendekap lelaki ini. Dia tatap Reno.
Senyumnya manis. Dan Reno membalas dengan senyum kepuasan.
“Kalau sampai ketahuan, apa kamu mau tanggung jawab? Atau malah meninggalkanku?” pancing Bianca.
“Aku akan bersamamu, Sayang. Kita hadapi bersama!”
“Omong kosong. Bilang saja, kamu akan meninggalkanku, Mas Reno – Si Dokter Ganteng. Tak apa, aku sudah pasrah,” keluh Bianca.
Dan dalam sisa kepuasaan, Bianca menggengam hal yang sudah membuatnya banjir. Membuat Reno hanya menyisakan bagian putih matanya saja, larut pada sebuah rasa.
Bianca tersenyum. Dia buat Reno senang, sebelum lelaki itu memberi jawaban.
“Ah, Bianca! Kamu ... hebat!” kata Reno, seraya mengusap puncak kepalanya.
Keduanya saling berbalapan napas kelelahan. Reno masih saja liar.
Dan Bianca membiarkan saja lelaki ini memandanginya. Seolah hal haram itu sah-sah saja untuk Reno.
“Aku akan bertanggungjawab, Sayang. Peganglah omonganku,”
Bianca mengerdikkan mata genit. “Aku tidak mau pegang omongan. Tapi ... aku mau memegang ini.”
Keduanya tertawa. Tak sadar, jika hari esok akan membuat mereka seolah mati berdiri.
***
Astaga! Bianca, benarkah itu dia?
Model B dan Dokter Kece menjalin hubungan terlarang.
Uwooo. Ini sosok yang menikung Tarno Sang Gorilla.
Tulisan-tulisan online pagi ini sangat hangat. Tidak hanya online. Tetapi, juga televisi dan radio dengan program info seleb.
Dunia maya memang benar-benar dengan cepat untuk menyampaikan berbagai kejadian. Semua informasi bagaikan ribuan buih di lautan. Sungguh, semua terkemas dengan apik.
Terlebih, sekarang ini tengah heboh dan sudah menjadi trending topic berita tentang hubungan gelap Reno dan Bianca. Bianca itu seorang model dan tak heran pula bila kehidupan sehari-harinya akan berbaur dengan wartawan. Bahkan, sering pula wajahnya menghiasi layar televisi.
Di sisi lain, Vindi yang baru saja pulang setelah menyelesaikan pekerjaan langsung mendudukkan diri di sofa ruang tengah. Menyalakan televisi dan beberapa kali kerap mengganti channel.
Sampai, ia tak sengaja melihat berita yang menayangkan potret mesra suaminya dan juga Bianca. Seperti suami istri saja mereka.
"Ti—tidak mungkin,"
Vindi shock dan langsung menutup mulutnya. Perlahan, tanpa diminta, cairan bening langsung keluar dari sudut mata Vindi.
Rasa sakit yang kian menyayat membuatnya kerap kali memukul dadanya. Sesak, itulah yang ia rasakan. Vindi menangis dalam diam.
Setabah apa pun seorang istri bila menyangkut soal suami yang dengan tega bermain api dengan wanita lain, sudah pasti membuat istri terpuruk. Ribuan rasa sakit datang bertubi-tubi. Terlebih, bila datangnya secara tiba-tiba. Sungguh, lahir dan batin amat terluka.
"Semuanya hancur!" ucap Vindi menatap lurus ke layar televisi.
Layar televisi itu masih setia menampilkan beberapa foto mesra antara Reno dan juga Bianca. Dimulai dari Reno yang mencium punggung tangan Bianca, bahkan sampai berpelukan menuju kamar hotel.
Semua terasa lengkap dengan hadirnya caption yang menambah kebenaran akan perselingkuhan antara Bianca dan juga Reno.
"Tega kamu, Pa!" histeris Vindi yang seperti kehilangan separuh hati. Sedari tadi pun mata Vindi sudah buram, karena linangan air mata. Sungguh, sedih di antara puncak kesedihan.
Vindi langsung mematikan televisi dan membanting remote itu hingga menjadi berkeping-keping. Vindi menjambak rambut frustasi. Berteriak, memanggil nama Reno.
Rasa tertekan kian menghampiri. Namun, sebisa mungkin ia harus mengontrol semua ini.
"Sudah sejauh ini rumah tangga kita. Aku tak mau bila harus berakhir begitu saja," ucap Vindi pelan sembari terus meraung pilu.
Vindi ambil tisu. Kemudian, ia seka air mata yang mengalir deras.Dan tisu itupun seperti tak berdaya.
Hati wanita itu rapuh dan mudah tersentuh. Hanya dengan perkataan saja, mereka — para wanita — akan memikirkannya sepanjang waktu.
Karena apa? Karena segala hal yang ditangkap oleh mereka selalu menggunakan hati.
Maka dari itu, hati wanita lemah. Seharusnya seorang pria harus bisa mengerti dan senantiasa menjaga perasaan.
"Inikah firasat yang kerap kali menghantui pikiranku?"
Vindi menatap langit-langit ruangan itu. Seolah menerawang jauh. Ingin menyalurkan rasa sakit. Tapi ini bukan opsi terbaik.
Tamparan kali ini cukup keras menyentil ulu hati. Saat Reno bersikap acuh dan dingin, ia memilih sabar.
Sekarang pula, sekuat mungkin Vindi berusaha tenang. Bohong memang bila dia tak apa-apa, karena pada dasarnya, dia sedang tak baik-baik saja. Namun, sekuat tenaga Vindi sabar.
Dengan tangan bergetar, Vindi mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Mencoba menghubungi Reno untuk meminta penjelasan. Panggilannya tersambung, tapi tak diangkat oleh Reno.
Dia ulang sekali. Tersambung. Tapi, tak diangkat.
“Jawab, Mas Reno! Jawaaab!” teriak Vindi histeris.
Dan kepalanya terasa berputar. Dia merasakan terhantam vertigo.
Kuat Vindi. Kamu harus kuat. Guman Vindi dalam hatinya.