Bab 5 Main Belakang
Bab 5 Main Belakang
Hari berikutnya pun sikap Reno juga semakin dingin saja. Bukan hanya pada Vindi, tetapi juga pada Verrel, anak mereka.
Seperti malam ini yang kebetulan Reno pulang tak terlalu larut. Verrel masih asyik menonton kartun di ruang keluarga.
Mendengar suara klakson mobil Reno, sontak saja Verrel langsung berlari dan berniat ingin menghampiri Reno. Namun, saat Reno sudah memasuki rumah, seperti biasa, ia langsung bersikap cuek nan acuh.
"Papa. Verrel kangen," ucap Verrel yang langsung menghambur dalam pelukan Reno.
"Minggir! Papa capek!" Reno pun melepas pelukan Verrel dan langsung berjalan kembali menuju kamar.
Vindi yang baru saja keluar dari dapur pun seketika menatap sendu pada Verrel. Anak kecil itu terlihat mengejar Reno kembali.
"Papa. Ayo main!" rengek Verrel sembari menarik ujung kemeja Reno.
Reno geram. Ia ingin beristirahat.
Namun, saat ini anaknya malah rewel. Reno berbalik dan menatap tajam pada Verrel yang sontak membuat anak itu beringsut mundur. Takut dengan tatapan Reno yang amat menusuk.
Keterdiaman Verrel membuat Reno tersenyum miring. Sungguh, tak ada minat untuk menanggapi anak kecil itu.
Padahal, Verrel itu anaknya sendiri. Reno kembali melangkah dan langsung membuat Verrel bersedih.
"Sayang, sini peluk Mama!" ucap Vindi yang langsung bergegas menghampiri Verrel.
Verrel menoleh dengan berlinang air mata. Vindi kaget kala melihat malaikat kecilnya menangis. Vindi langsung memeluk erat tubuh mungil itu.
"Mau main dengan Papa," adu Verrel dengan sesenggukan.
Vindi pun mengusap sayang punggung Verrel yang masih sesenggukan dalam pelukannya. Vindi sedih mendengar tangisan yang amat menyayat ulu hati.
Rasanya, Verrel begitu mendamba akan sosok Reno yang memang sudah hampir tak pernah memiliki waktu untuk anaknya. Reno, kenapa? Sebegitu berubahkah kamu?”
"Papa capek, sayang. Main dengan Mama saja, ya?" lagi-lagi, hanya bualan itu yang dapat Vindi lakukan untuk menenangkan Verrel.
Verrel pun mengangguk. Melihat itu, tentu saja membuat Vindi bernapas lega. Namun, ia tak tega bila anaknya juga menjadi korban sikap dingin Reno.
Vindi masih bisa mengontrol suasana hati saat kerap kali Reno acuh dan dingin kepadanya. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, ia tak terima bila perlakuan Reno menjalar pada Verrel. Anak mereka tak tahu apa-apa.
Ibu mana yang tak bersedih kala melihat putranya bersedih? Jawabannya sudah pasti tak ada. Ikatan batin seorang ibu amatlah kuat pada anaknya.
Bagai benang yang dilengkapi dengan jarum. Layaknya semut dan gula.
Seperti kata aku dan kamu yang akan menjadi kita. Seperti itulah pengibaratan kecil bentuk kasih seorang ibu terhadap anaknya.
Anak adalah berlian yang tak boleh tergores sedikit pun. Vindi sangat menyayangkan sikap Reno terhadap buah hatinya.
“Kamu kenapa, Mas?” demikian monolognya, seraya memandangi akuarium berisi ikan guppy warna-warni.
Ingin protes pun, Vindi tak mampu. Bukan karena apa, Vindi tahu posisi Reno yang notabe-nya adalah kepala keluarga.
Reno bekerja keras membanting tulang demi kelangsungan hidup keluarga kecil mereka. Walau begitu, Vindi tahu bila Reno amat penat.
Sebenarnya bukan hanya Reno. Vindi pula bekerja sebagai make up artist dan bertindak pula sebagai seorang istri dan ibu untuk Reno dan Verrel.
Lebih lelah dia sebenarnya, tapi ia tak mempermasalahkan. Sudah kewajiban seorang wanita memiliki tugas itu.
"Mama. Kapan Papa tidak capek?" tanya Verrel ketika mereka berdua sudah berada di ruang keluarga.
Vindi pun terdiam. Ia menatap manik mata Verrel yang juga tengah menatapnya polos.
Vindi usap sayang rambut Verrel. Kemudian, beralih menangkup pipi chubby milik Verrel.
"Sayang, tidur, ya? Sudah malam. Besok main lagi," ucap Vindi mengalihkan pertanyaan Verrel.
Verrel pun mengangguk dan langsung bangkit. Tangan mungil itu menautkan jemarinya pada jemari Vindi. Mengajak Vindi untuk bangkit menuju kamar.
Vindi pun dengan senang hati mengikuti langkah malaikat kecilnya menuju kamar yang letaknya tepat di samping kamarnya.
Anak merupakan harta yang paling berharga. Datangnya amat dinanti. Ketika sudah memilikinya, jangan sekali-kali mengabaikan tatapan polosnya.
Dulu dinanti, setelah datang, justru diabaikan, karena adanya orang baru yang memenuhi ruang pikir.Dan siapa yang dipikirkan Reno sekarang? Masih menjadi misteri untuk Vindi.
Sungguh, anak bukan pelampiasan. Perlu ditekankan itu. Ia terlalu awam hanya untuk menerima penolakan. Pikirannya masih jernih. Jadi, jangan sampai ternodai oleh keadaan.
“Aku pergi dulu, Ma!” Tiba-tiba, Reno yang baru pulang, kembali pergi.
“Lho, Pa? Mau ke mana?” tanya Vindi keheranan.
“Pasien dalam pengawasanku kontraksi mendadak. Sepertinya memerlukan pertolongan,” kata Reno singkat. Terburu, lalu meninggalkan Vindi.
“Pa, bukankah ada dokter jaga di sana,” cegah Vindi.
“Sudah kubilang kan! Itu pasien dalam pengawasanku. PK-V (kode Reno untuk Pasien Kelas VIP)”
“Baik, aku siapkan dahulu ya, jaketmu. Malam ini dingin, Pa.”
“Tidak perlu! Tutup saja pintunya sekarang” perintah Reno.
Brak! Pintu itu dibuka dengan sekehendak, dan Reno terburu memacu mobilnya.
Tinggallah Vindi yang tampak gemetar. Dulu, Reno sudah bilang, jika shift malam di rumah sakit mereka ditangani oleh dokter-dokter spesial yang berbakat.
Jadi, dia bisa istirahat saat malam. Dia hanya berjaga, jika jadwal shift malamnya tiba.
Hati-hati lho, jangan tertipu dengan lelaki, yang sepertinya baik-baik. Bisa jadi, dia buaya besar.
Wejangan Meggi Sang MC terngiang kembali di pikiran Vindi. Buru-buru, perempuan ini tepis.
***
Sebuah Restoran Perancis
Makin kesini tingkah Reno semakin menjadi. Keluarga kecil yang awalnya selalu menjadi yang utama, kini dengan gampangnya tersisihkan oleh kehadiran Bianca.
Posisi hati yang dulunya di dominasi oleh Vindi pun kian luntur dan didominasi oleh Bianca.
Seperti saat ini, Reno kembali bermain api. Sudah pasti dengan Bianca.
Mereka berdua sudah membuat janji untuk bertemu di sebuah restoran mahal.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya yang mendadak, Reno bukannya pulang kembali, justru Reno langsung tancap gas menuju restoran.
Jalan pulang seakan menghilang dari pikiran. Yang ia inginkan hanya menemui Bianca, model cantik yang notabe-nya merupakan pasien program konsulnya sendiri. Sungguh, takdir macam apa ini?
Sesampainya di restoran, Reno langsung bergegas. Tak sabar menemui pujaan hati yang sudah meracuni seluruh pikiran dan juga perhatiannya.
Senyum Reno merekah kala wanita cantik sedang melambaikan tangan untuknya. “Astaga! Si Montok itu cantik sekali,” desisnya.
Dengan senyum yang masih setia menghiasi wajah tampan itu, Reno berjalan menuju Bianca. Mengecup sekilas puncak kepala Bianca.
Tak sadar, bila tingkah mereka terendus oleh seseorang yang entah itu siapa. Gerak gerik mereka selalu diincar dengan beberapa lembar potret kemesraan mereka berdua.
"Sudah pesan makanan?" tanya Reno sembari mendudukkan diri di hadapan Bianca.
"Sudah, Mas. Sebentar lagi pasti datang, kok." Seperti biasa, tatapan Bianca selalu menggoda Reno.
Terlebih, wanita cantik itu mengenakan pakaian yang bisa dibilang kekurangan bahan. Reno yang memang sifatnya play itu harus mati-matian menahan sesuatu.
"Kamu cantik malam ini," ucap Reno sembari menggenggam jemari lentik milik Bianca.
Bianca pun tersipu, "Hanya malam ini cantiknya? Kemarin-kemarin?" tanya Bianca yang pura-pura merajuk.
"Selalu cantik, sayang. Dan—" Reno sengaja menjeda ucapannya. Ia menatap lekat wajah Bianca. Bianca juga tengah menatap Reno.
"Dan ... apa?" tanya Bianca memicingkan mata.
"Menggoda," jawab Reno sembari mencium punggung tangan Bianca. Seakan menyalurkan rasa cinta yang begitu dalam.