Bab 4 Bagaimana Jika Aku Cinta Bianca?
Bab 4 Bagaimana Jika Aku Cinta Bianca?
“Suamiku semakin aneh. Haruskah aku tanya dia?” desah Vindi.
Matanya menerawang. Hari berganti, bulan pun berlalu. Sepertinya, dentuman waktu bekerja dengan cepat.
Menyisakan hari kemarin yang akan menjadi cerita usang untuk ke depannya. Itulah cepatnya waktu berlalu.
Begitu juga dengan yang namanya hati. Hati yang mudah terprovokasi oleh permainan waktu.
Takdir pula berkecimpung. Memberi pengaruh yang begitu besar oleh tiap-tiap insan.
Beberapa bulan ini, Vindi merasa ada yang aneh dari suaminya. Kerap kali Vindi ingin menghabiskan waktu bersama Reno, selalu saja ditolak oleh pria itu. Reno yang sekarang bukanlah Reno yang dulu.
"Pa, sudah pulang!" ucap Vindi saat melihat Reno yang baru saja memasuki rumah.
Reno pun menoleh sebentar. Ia tak ada minat untuk menanggapi ucapan Vindi.
Reno butuh istirahat. Lelah, karena bekerja dan tentu saja tak lupa menghabiskan waktu dengan Bianca.
Rasa lelah itu menjalar pada kemalasan hanya untuk sekedar membalas ucapan Vindi. Reno mengabaikan Vindi dan langsung memasuki kamar. Membanting pintu kamar yang sontak membuat Vindi terkejut.
Sabar, itulah opsi yang dipilih oleh Vindi. Karena, ia tahu bila suaminya lelah. Mungkin dengan cara itulah suaminya melampiaskan rasa lelah.
"Aku tahu kamu lelah, Pa," monolog Vindi menatap nanar pada pintu kamar mereka.
Dalam hati, Vindi berusaha menyemangati diri. Sabar dipertebal, niscaya semua akan baik-baik saja.
Walau nyatanya, ia sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Hanya berbekal sabar dan positif thinking saja.
Vindi masuk ke kamar dan sudah mendapati Reno yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan tersenyum, Vindi mendekat, tapi lagi-lagi, Reno mengabaikannya.
Vindi memungut pakaian kerja Reno yang tercecer di ranjang. Kemudian, meletakkan di tempat keranjang pakaian kotor.
"Pa, ayo makan dulu!" ucap Vindi penuh perhatian.
Reno menatap lelah pada Vindi. Lama-lama ia jengah dengan ocehan Vindi yang baginya seperti radio rusak yang kapan saja bisa merusak pendengarannya.
Jengah dengan semua itu, Reno memutuskan untuk berbaring di ranjang. Dan dia tak peduli dengan Vindi yang bertanya.
Tak ada jawaban, sontak membuat Vindi meringis dalam diam. Vindi pun memutuskan untuk mengambilkan makanan.
Saat Vindi sudah meninggalkan kamar, Reno mendengus kesal. Ia lelah, tapi ia juga punya cara tersendiri untuk melepas penat.
Lalu, Reno membuka ponsel dan memandang wajah cantik Bianca dari layar benda pipih itu. Dia rasakan, apa yang selama ini dia inginkan, akhirnya terwujud.
Di sisi lain, Vindi dengan telaten memanaskan makanan yang sudah dingin. Karena, memang saja Reno pulang sangat larut. Tak seperti biasa.
"Kenapa semakin jauh, ya?" tanya Vindi yang entah pada siapa.
Tak lama kemudian, makanan sudah siap. Buru-buru Vindi membawa nampan yang sudah berisi sepiring makanan dan segelas air minum ke kamar. Takut bila Reno keburu tertidur.
"Pa?" panggil Vindi setelah masuk kembali ke dalam kamar.
"Diam! Saya lelah, mau tidur. Jangan berisik!" seru Reno yang mirip dengan bentakan.
"Makan dulu, pasti lapar." Vindi menghampiri Reno yang sudah berbaring di ranjang.
Vindi meletakkan nampan tersebut di atas nakas. Lalu, dengan lembut, Vindi menyentuh lengan Reno.
Ia menggoyangkan pelan agar pria itu mau bangun. Bukannya bangun, Reno malah menyentak dengan kasar tangan Vindi.
"Aku lelah, tolonglah, Ma!" ucap Reno dengan memelas. "Aku juga sudah makan, jangan khawatir!" setelah mengatakan itu, Reno langsung menarik selimut dan memejamkan mata.
Hati istri mana yang tak terluka kala mendapati respon dari suaminya sendiri yang seperti itu? Vindi hampir menitikkan air mata.
Ia merasa ada banyak yang berubah dari suaminya. Banyak sekali! Bukan hanya satu atau dua.
"Maaf, ya. Aku tahu kamu pasti sangat lelah." Vindi mencium sekilas kening Reno.
Sementara Reno, ia tak perduli lagi dengan apa yang dilakukan oleh Vindi. Yang ia bayangkan, adalah Bianca.
Akal sehat Vindi bekerja. Tiba-tiba saja Vindi menyadari bila perubahan Reno disebabkan oleh Reno yang kerap kali menangani program kehamilan dari super model itu, Bianca.
Daripada memikirkan hal yang belum tentu akan kebenarannya, Vindi lebih memilih untuk menyusul Reno ke ranjang. Duduk sejenak di sebelah Reno. Namun, seperti tiada saja lelaki itu.
Vindi Menatap sebentar pada nasib makanan yang ada di nampan. Kemudian, beralih membaringkan tubuh lelahnya di samping suami tercinta.
Kamu kenapa, Pa? Rasanya punya ragamu, tapi seakan hatimu kian menjauh.
Batin Vindi menitikkan air mata. Melihat punggung suaminya yang mungkin sudah terlelap menuju alam mimpi.
Pagi harinya, seperti biasa, rutinitas yang selalu dijalani keluarga kecil itu, yaitu sarapan bersama.
Akhir-akhir ini, hanya ketika sarapanlah Vindi bisa bertegur sapa dengan Reno. Reno banyak menghabiskan waktu di luar. Pergi pagi dan akan pulang larut malam.
"Pa. Mau lauk apa?" tanya Vindi yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Reno dan juga Verrel, anak mereka.
"Apa saja yang penting bisa dimakan!" Reno menanggapi dengan dinginnya.
Vindi bernapas gusar. Sungguh, respon suaminya itu sangat tak mengenakkan.
Padahal simpel saja, yang Vindi inginkan adalah kehangatan sikap suami tercintanya itu. Masih saja mentari baru tampak, tetapi suasana hati seorang Vindi amat kalut.
Ibarat tersesat di gurun Sahara. Dan parahnya, ia tak tahu arah jalan pulang.
Sabar, Vin. Suamimu terlihat letih, batin Vindi menegur diri sendiri.
Vindi pun memberi sedikit sayuran dan telur ceplok sebagai pelengkap nasi di piring Reno. Reno langsung memakan dengan diam.
Kemudian, Vindi beralih menyeduh kopi untuk Reno. Masih di tempat yang sama.
Rutinitas Reno yang selalu meminta kopi sebagai penikmat di pagi hari. Bila sedari dulu cafein yang membuat Reno kecanduan akan kopi, sekarang ada kebiasaan baru.
Sosok Bianca lebih memikat seperti obat candu bagi Reno. Bahkan, ketika bersama Bianca, sedikit saja bayangan Vindi tak pernah lagi terlintas oleh Reno.
Padahal tentu saja, Vindi itu sangat cantik. Tak kalah dengan Bianca yang juga cantiknya tak diragukan.
Namun, itulah pria yang tak pernah bisa mengendalikan nafsu yang selalu mengembara. Melihat wanita yang sedikit saja lebih dari wanitanya sendiri pasti sudah terpikat.
Vindi berinisiatif mencairkan suasana. Berbicara apa saja demi menarik perhatian Reno.
Vindi tak mau bila makin kesini komunikasinya dengan suami merenggang. Ini tak bisa Vindi biarkan.
"Enak tidak, Pa?"
Vindi melihat raut wajah Reno yang tak mengenakkan. Tak lama kemudian, Reno hanya mengangguk singkat, terlalu malas untuk berbicara.
Itu sudah cukup membuat senyum Vindi terbit, walau tak secerah mentari pagi ini. Tapi, tak apalah. Daripada tak membuahkan hasil sama sekali.
"Lalu, bagaimana kabar program kehamilan model itu dan suaminya?" entah mengapa, tiba-tiba saja pertanyaan itu yang terlontar. Rasa keingintahuan Vindi kian mengembara.
"Baik!" jawab Reno, singkat, padat dan jelas. Terlebih, nada bicaranya sangat dingin, sedingin es di kutub utara.
Baik seperti apa, ya? Batin Vindi yang terlalu banyak memikirkan ini dan itu.
"Mbak Bianca cantik, ya?" tanya Vindi sembari menyenggol pelan lengan Reno.
Saat nama Bianca di sebut, Reno langsung menoleh pada Vindi. Menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Vindi pun juga menatap Reno seolah menunggu jawaban yang terucap dari bibir pria itu. Dan lelaki itu mengawali dengan sebuah lengkung sinis.
"Cantiklah, namanya juga model," balas Reno sembari tersenyum devil.
Melihat senyuman itu seketika membuat hati Vindi nyeri. Seperti ada ribuan jarum yang menancap di ulu hati.
Namun, ia tersenyum saja. Ia menduga bila suaminya itu hanya mengatakan kebenaran. Yang namanya model sudah pasti cantik.
"Iya. Yang namanya wanita sudah pasti cantik kan, ya!" seru Vindi dengat tawa renyahnya.
Reno pun menanggapi dengan deheman. Berkutat kembali dengan sarapannya.
Setelah itu, sudah pasti meneguk kafein di pagi hari. Sungguh, kopi dapat menenangkan pikiran stuck Reno.
"Awas, loh! Nanti jatuh cinta sama Mbak Bianca kalau lama kelamaan pasangan itu berprogram," ucap Vindi bercanda kembali.
Tak tahu bila bercandaannya itu akan memberi efek besar terhadap Reno. Pikiran Reno kembali berkelana pada sosok Bianca.
Sebenarnya, Reno tak suka bila Vindi selalu saja membahas tentang Bianca. Tapi, dia terpancing.
Vindi berniat ingin menggoda suaminya kembali. Tentu saja, agar suasana juga kembali harmonis seperti semula.
Vindi yakin, bila keluarga kecilnya juga butuh bercanda hanya sekedar mengurangi penat yang menguasai raga masing-masing. Sayangnya, itu hanya keyakinan Vindi.
"Bagaimana jika aku benar jatuh cinta?" tanya Reno yang sontak membuat hati Vindi tertohok.