Bab 8 Bertemu Ibu dan Kakak
Bab 8 Bertemu Ibu dan Kakak
‘Nyatanya ego hanyalah topeng untuk menutupi rindu yang terpendam.’
Persiapan panjang yang menguras tenaga akhirnya selesai juga. Segala tetek bengek mengenai acara lamaran telah disiapkan Haikal dengan segala keistimewaannya. Dari seserahan yang akan laki-laki itu hantarkan, tidak ada satupun barang yang dibeli secara sembarang. Haikal sendiri yang turun langsung memastikan kualitas dan merek apa saja yang akan ia berikan pada calon istrinya.
Tiga pegawai Haikal sempat merecokinya melihat segala kemewahan yang dipersiapkan oleh Haikal secara gila-gilaan. Bukannya mereka tidak setuju, pundi-pundi rupiah milik Haikal pun tidak main-main bagi seorang laki-laki yang merintis pekerjaannya sendiri. Hanya saja, mereka berpendapat jika sebaiknya Haikal mempersembahkan benda-benda tersebut setelah lamarannya diterima.
“Kalian tidak meragukan kesetiaan Qeela kan?” tanya Haikal penuh selidik. Ketiganya menggeleng dengan kompak. “Bukan seperti itu Bos, inikan acara lamaran, apa tidak sebaiknya jika seserahan ini dibawa begitu lamaran telah diterima, atau di hari akad mungkin.” Haikal mengangkat bahunya tidak peduli. Tekadnya sudah bulat, baginya semua wanita perlu diperlakukan istimewa.
“Apa salahnya membawa benda-benda ini? Urusan akad nanti dipikirkan setelah ini.” kata Haikal tidak mau kalah. Akhirnya ketiga pegawainya mengalah dan mengikuti segala keinginan bos mereka.
*
Meski hubungan Haikal dan ibu tirinya terbilang tidak begitu akur, namun juga tidak terlalu buruk. Haikal memutuskan untuk mengatakan keinginannya pada wanita itu. Haikal tahu, meski dirinya tidak diinginkan, ia tetaplah seorang anak yang harus membicarakan hal penting tersebut pada keluarganya. Bagaimanapun juga, keluarga Haikal tersisa ibu tirinya dan juga kakak perempuannya.
Pagi itu, Haikal sudah berdiri di depan pintu rumah tempatnya dibesarkan dulu. Semenjak kuliah dan setelah Ayahnya meninggal, Haikal nyaris tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah tersebut. Selain karena dirinya yang merasa tidak diinginkan, Haikal juga selalu mengingat sosok Ayah dan Ibunya ketika berada di rumah itu. Cukup menyakitkan bagi Haikal.
Setelah berdiri cukup lama memandang pintu bercat putih yang berdiri kokoh di depannya, akhirnya Haikal memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Beberapa kali ia mencoba sebelum terdengar langkah dari dalam rumah.
Ceklek
Haikal berdiri kaku. Ternyata yang membuka pintu adalah Kakaknya Rizka. Cukup lama mereka saling beradu pandang sebelum Nita membuka suara, mempersilahkan Haikal untuk masuk. “Masih ingat rumah rupanya.” Sindir Rizka sebelum berjalan menuju ruangan lain, sementara Haikal memilih duduk di ruang tamu. Ia memposisikan dirinya menjadi tamu yang baik. Sudut bibirnya sedikit tertarik ketika menemukan foto keluarganya, Haikal ada di sana bersama Ibunya, juga Rizka, ibu tirinya dan sang papa. Bersyukur mereka tidak membuang foto penuh kenangan itu.
“Eh, Haikal. Tumben mengunjungi Ibu.” Tidak hanya Rizka yang tidak bersahabat, ibu tirinya pun menyambutnya dengan nada suara yang tidak bersahabat, meski demikian, ia tetap tersenyum di depan Haikal.
“Kak. Tehnya yah.” Teriak wanita itu kemudian. Haikal menjadi gugup, ia tidak tahu harus memulai percakapannya dari mana. Mana tahu Ibu tirinya tidak akan membantu Haikal untuk melamar Qeela. Haikal menghembuskan napasnya pelan-pelan. Dadanya seperti terhimpit beban berat sementara tenggorokannya seperti tercekik, kering.
“Jadi, ada yang bisa Ibu bantu?” Haikal mengangguk antusias. Dengan begitu ia tidak butuh berbasa-basi lagi. Haikal akan langsung pada inti permasalahan yang dialamina. “Ehmmm...,” Haikal berdehem, memperbaiki posisi duduknya yang tidak nyaman. “Begini Bu, Haikal ingin meminta bantuan ibu,” tuturnya ragu-ragu. Satu alis ibu tirinya terangkat, pertanda jika wanita itu penasaran dengan kelanjutan kalimat Haikal. Bantuan apakah gerangan yang membuat anak tirinya itu repot-repot mendatangi mereka pagi-pagi buta seperti ini.
“Silahkan diminum.” Rizka meletakkan secagkir teh, juga kue bolu coklat ke atas meja. Dada Haikal tiba-tiba menghangar, kue kesukaannya ada di sana. Mungkinkah kue itu disiapkan khusus untuk Haikal? Dengan cepat Haikal menepis kekonyolannya. Mana mungkin ibu tirinya ingin repot-repot mengingat Haikal ketika membuat kue kesukaannya itu.
Setelah cukup lama duduk dan saling diam-diaman, akhirnya Haikal memberanikan diri untuk membuka suara. Padahal tadi jalannya sudah mulus jika tidak terpotong oleh kedatangan Rizka membawa teh dan kue.
“Haikal ingin meminta Ibu dan Kak Rizka untuk melamar pacar Haikal.” Haikal menyampaikan niatnya untuk melamar Qeela kepada Ibu tirinya Nita. Nita dan Rizka saling berpandangan sebelum kembali menatap Haikal yang terlihat pucat. “Kamu yakin?” tanya Ibu tirinya meyakinkan. Haikal menganggup mantap, jika ia tidak yakin, mana mungkin ia ingin menginjakkan kaki di rumah ini lagi.
“Bagus dong, biar kamu ada teman, ada yang ngurus juga. Kamu kan sudah tidak ingin mengunjungi kita lagi Kal.” Glek. Haikal menelan salivanya dengan susah payah. Selama ini ia tidak pernah berpikir untuk berkunjung karena terlalu takut dengan penolakan kedua perempuan di depannya. Nyatanya, Haikal mengartikan perkataan Rizka jika mereka sebenarnya menunggu Haikal untuk datang.
“Kapan lamarannya akan dilangsungkan?” tanya Nita, mengembalikan fokus mereka pada masalah yang sedang dihadapi. Nita sebenarnya sedih, karena Haikal mendahului kakaknya Rizka, tapi Rizka justru bersikap biasa saja, apalagi Rizka memang sangat sibuk mengurusi perusahaan meubel almarhum Bapaknya sekarang.
“Semua persiapannya sudah beres Bu, tinggal menunggu kapan Ibu bisa datang dan Haikal akan menghubungi Qeela.” Jelas Haikal. Nita mengangguk, ia mengatakan jika siap kapan saja, asal Haikal sudah benar-benar siap dengan keputusan yang diambilnya. Tidak hanya sampai di sana, Nita juga memberikan Haikal wejangan-wejangan mengenai pernikahan.
“Haikal, kamu boleh tidak menyukai ibu, tetapi kamu harus tetap mendengarkan nasehat ibu. Menikah itu tidak hanya tentang menyatukan dua kepala, menyempurnakan ibadah dan membangun cinta kalian, melainkan harus menyatukan dua keluarga yang berbeda. Menikah itu tidak main-main. Apalagi kamu adalah laki-laki, harus siap materi dan mental. Menghidupi anak orang lain itu tidak semudah yang kalian lihat. Kamu harus selalu bersikap dewasa, mengedepankan logika dibanding ego masing-masing. Jika semuanya sudah kamu pertimbangkan, Ibu tidak keberatan jika harus melamar pacarmu hari ini juga.”
Air mata Haikal meluruh, ia tidak tahu jika, Ibu tirinya masih menyisakan perhatian besar kepadanya. Selama ini Haikal telah menarik diri dan menjauh. Nyatanya ia hanya perlu bertahan sedikit lagi, memperbaiki hubungan mereka dan hidup berdampingan, layaknya keluarga yang lain. Haikal benar-benar tersentuh.
“Udahlah gak usah nangis. Jangan cemen jadi laki-laki.” Meski terdengar menyindir, Haikal yakin jika suara serak dari Rizka juga menyiratkan perhatian yang sama seperti ibu tirinya. Mereka berdu hanya keras kepala, mempertahankan ego masing-masing. didikan orang tuanya sejak kecil menciptakan sikap egois keduanya, meski demikian mereka tetaplah saudara, sulit bagi mereka untuk benar-benar saling membenci.
“Sudah-sudah. Tidak baik jika calon pengantin bersedih seperti ini.” Nita menarik Haikal ke dalam pelukan perempuan itu. Kali ini, Haikal benar-benar tertawan. Sudah lama ia merindukan sosok Ibu, rindu pelukan ibu dan rindu diperhatikan semua ini. andai Haikal bisa menghentikan waktu sebentar saja, ia ingin didekap lebih lama. Takut jika setelah ini, sikap Ibu tiri dan kakaknya akan kembali. Mengacuhkannya.
“Kakak pikir kamu masih bocah, rupanya sudah dewasa sekarang.” Rizka ikut memeluk Haikal dan Ibunya. Biarkan mereka menikmati momen langkah tersebut. Setelah puas saling memeluk, mereka melanjutkan obrolan mengenai apa saja yang telah Haikal persiapkan. Rizka bahkan menodong banyak pertanyaan pada Haikal mengenai hubungannya dengan Qeela.
Selama ini Rizka tidak mau tahu dengan apa yang dilakukan adiknya, setelah melihat Haikal yang sekarang, nyatanya ia juga merindukan sosok saudara. Rasa kesepian yang mendominasinya selama ini, meninggikan ego dengan tidak memperhatikan adiknya sama sekali.
Haikal merasa lega yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menemukan rumah tempatnya untuk pulang. Tahu begitu sejak dulu Haikal datang menawan hatinya pada Ibu dan saudaranya. Haikal merasa dicintai kembali.
“Bagaimana hubunganmu dengan Ameera?” pertanyaan Nita yang tiba-tiba membuat Haikal nyaris tersedak makanannya. Ia segera menepuk-nepuk dadanya yang sedikit kesakitan. Rizka terkekeh melihat respon Haikal yang menurutnya berlebihan. Seketika ingatan Haikal melayang pada wanita itu, mereka bertemu terakhir kali di wisuda Ameera, itu pun menyebabkan perang dunia kedua, karena Qeela yang cemburu buta.
***