Bab 7 Pandangan Penuh Cinta
Bab 7 Pandangan Penuh Cinta
‘Tentang rasa, keduanya harus sejalan, bersisian dan saling melengkapi. Jika tidak, maka keduanya akan saling menyakiti. Menyisakan luka dan air mata.’
Kertas-kertas berserakan memenuhi meja kerja Ameera. Mejanya bahkan sangat jauh dari kata rapi, pensil berbagai ukuran, dengan kertas hvs dan kertas-kertas putih dengan ukuran A3 bahkan lebih besar berserakan di mana-mana. Ruangan tersebut benar-benar kacau. Di benak Ameera, ia akan terbebas oleh pekerjaan-pekerjaan berat setelah menyelesaikan proyek pertama dan terakhirnya selama masa magang. Nyatanya hanya mimpi belaka.
“Ra, habis ini kamu bisa membereskan ruangan tidak?” tanya salah satu senior Ameera. Dengan wajah lesu, Ameera mengangguk lemah. Posisinya masih sebagai anak magang, ia tidak bisa macam-macam.
Satu persatu tim dari divisinya meninggalkan ruangan. Ameera mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Meringis melihat tidak hanya mejanya yang berantakan. Ruangan tersebut sudah seperti kapal pecah. Rupanya semua anggota divisi bekerja gila-gilaan. Apa lagi jika bukan untuk menikmati libur akhir tahun tanpa beban.
“Ya Tuhan, ini kantor atau gudang,” Keluh Ameera. Wanita itu berdiri dengan tangan di pinggang. Pekerjaannya bertambah tiga kali lipat, sedang desainnya sendiri belum juga menemukan titik terang. Grizelle menunjuk Ameera untuk membuat sebuah desain yang menurut wanita itu sangat-sangat rumit bagi karyawan magang seperti dirinya. Ameera tidak habis pikir mengapa Bibi Zelle memberi kepercayaan tersebut.
“Baik Meer, tenang dulu.” Ameera perlahan menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Begitu mulai tenang, ia kemudian menggulung lengan kemejanya. Sepertinya olahraga pagi yang biasa ia lakukan lebih ringan dibanding membersihkan ruangan seberantakan ini.
“Anggap saja kita sedang olahraga, okey.” Lagi-lagi Ameera berdialog dengan dirinya sendiri. tidak sadar tengah diperhatikan oleh seorang laki-laki yang sedang mengigit bibir menahan tawa. Tontonan cukup menarik, melihat Ameera bersih-bersih sambil mengoceh.
Cukup lama waktunya terbuang demi merapikan ruangan itu seperti semula. Memisahkan kertas yang masih terpakai dan kertas-kertas yang sudah menjadi bekas untuk selanjutnya dihancurkan menggunakan mesin penghancur kertas, bagian ini akan dikerjakan oleh office boy yang bertugas di ruangan tersebut. Ameera mengusap bulir-bulir keringat yang mulai mengganggu di keningnya. Panas mulai menyeruak sementara nyala AC masih pada suhu yang aman. Ameera kemudian membereskan barang-barangnya bersiap untuk pulang. sepertinya berendam air hangat akan meregangkan otot-ototnya yang sedang tegang.
*
Karena pulang terlambat, keadaan kantor sudah sepi, hanya ada resepsionis serta satpam yang masih berjaga. Ameera memicingkan matanya ketika melihat seorang gadis manis yang manja datang bersama Aisha adik Alvino. Keduanya tampak akrab, berjalan bersisian memasuki lobi kantor.
Satu alis Ameera terangkat, jika Aisha datang ke kantor, itu berarti Alvino masih berada di sana. Ameera segera merapikan penampilannya, merogoh tas dan mencari sesuatu yang bisa mengharumkan badannya. Ia tidak mungkin bertemu Alvino dengan keadaan bau apek dan sebagainya.
“Kak Ameera.” Mendengar namanya disebut, Ameera menghentikan langkahnya, ia segera menoleh dan mendapati Aisha sedang melambai padanya. Gadis itu segera mendekati Ameera yang sedang berjalan dari arah lift.
“Ica! Ada apa ke sini?” tanya Ameera pura-pura kaget. Jika sulit menarik perhatian Alvino, maka Ameera akan menggunakan Aisha. Mendekati adiknya demi mendapatkan sang kakak, tak apa dicoba dulu.
“Kita mau jemput kak Vino, Kak Meera baru pulang kerja?” Ameera melirik gadis yang datang bersama Aisha sebentar sebelum kembali fokus pada Aisha. “Kak Rumi sini, kenalan dengan kak Meera dulu.” Ajak Aisha ketika tidak sengaja menangkap pergerakan mata Ameera. Arumi yang sedang memainkan ponselnya segera mendekat ke arah Aisha.
“Halo! Saya Arumi.” Pungkasnya memperkenalkan diri. Ameera segera menyambut tangan Arumi, ikut tersenyum dan memperkenalkan diri. “Saya Ameera,” balas Ameera.
Dari perkenalan itu, Ameera tahu jika Arumi adalah anak Pak Gala yang bungsu. Bosnya yang cukup disegani di kantor. Pantas saja mukanya cantik ke-Arab-araban. Cukup lama mereka berbincang-bincang di lobby sebelum Rayyan dan Alvino menyambangi mereka.
“Kak Meer, bagaimana bersih-bersihnya?” tanya Rayyan. Kening Ameera berkerut, dari mana laki-laki itu tahu jika Ameera baru saja berkutat dengan segala kekacauan di kantor divisinya? Ameera melotot ke arah Rayyan, jangan-jangan laki-laki itu sudah mendengar segala ocehan tidak masuk akal Ameera di ruangan tadi. Ameera menepuk jidatnya, bisa kacau dunia persilatan jika Rayyan di playboy akut sampai mengoceh apa yang Ameera omelkan tadi.
“Tenang kak, tadi tidak sengaja lewat terus ngintip dikit.” Rayyan terkekeh melihat ekspresi Ameera yang pucat. Seperti maling yang terpergok tuan rumah.
“Nah. Karena Kak Ameera ada di sini, jalan bareng yuk Kak,” Ajak Aisha dengan gaya khasnya, sulit untuk ditolak oleh seorang Ameera. Melihat Ameera belum juga memberi jawaban, Alvino, Rayyan, Aisha dan Arumi langsung memaksa Ameera untuk ikut makan malam bersama mereka. Mereka bertos ria begitu Ameera akhirnya memutuskan untuk bergabung.
*
Ternyata malam itu mereka berempat hendak membahas kado untuk pernikahan kakak Arumi, Qiandra, putri sulung Pak Gala. Ameera beberapa kali pernah mendengar nama tersebut di kantor mereka tetapi belum pernah melihat penampakan gadis cantik yang katanya adalah dokter relawan itu.
Beberapa kali Ameera menangkap lirikan Alvino pada Arumi yang sibuk mengoceh dan berdebat dengan Rayyan. Meskipun sangat samar, namun Ameera dapat melihat bahwa Alvino menyimpan berjuta rasa untuk Arumi. Ameera meremas sendoknya, ia tahu betul jika pandangan yang Alvino layangkan pada Arumi adalah pandangan penuh cinta. Iapun sering memandang Alvino seperti itu.
“Kak, makanannya kok dianggurkan?” tegur Aisha. Ameera segera mengalihkan perhatiannya pada makannya yang sudah mirip muntahan kucing karena sang empunya makanan sedari tadi hanya mengaduknya tanpa selera untuk makan.
“Pokoknya aku tidak mau tahu, kado yang sudah kita sepakati sebelumnya tidak boleh diganggu gugat. Tidak ada protes-protes lagi yah Yan. Ini sudah fiks.” Putus Arumi tidak ingin lagi mendengarkan sanggahan apapun dari Rayyan. Kekesalan nampak jelas di wajahnya. rupanya Rayyan tidak hanya jago urusan mematahkan hati perempuan, ia juga sangat lihai membuat Arumi meradang karena kesal.
“Sudah Yan, mengalah sedikit bisakan.” Alvino yang ikut gemas melihat keduanya terus berdebat akhirnya angkat suara. Arumi mengacungkan jempolnya ke arah Alvino karena lelaki itu telah berdiri di pihaknya. Rayyan hanya terkekeh, ia belum puas membuat Arumi kesal. Biasanya ia akan menghentikan aksinya jika Arumi hendak menangis.
“Makan lagi Kak, mereka sudah biasa seperti itu,” bisik Aisha pada Ameera. Wanita itu mengangguk dan tersenyum, matanya beralih menatap makanan yang sepertinya sangat-sangat berantakan itu. Ameera sudah tidak berselera sejak memergoki pandangan Alvino melirik gadis yang duduk di depan mereka.
Alvino, laki-laki yang selalu memorak porandakan hati Ameera itu, ternyata mencintai Arumi dalam diam. Dan Ameera sadar, seorang pendiam seperti Alvino atau seperti dirinya tidak gampang untuk berpindah hati apabila sudah menyukai seseorang. Ameera hanya bisa menelan bulat-bulat segala perasaan yang ia tabung selama ini. Memaksakan perasaannya pada Alvino hanya akan menyakiti mereka berdua, dan Ameera tidak ingin hal itu terjadi. Cukup dirinya yang terluka.
“Sudah fiks yah hadiahnya. Ca, balik yuk.” Ajak Arumi. Gadis itu segera berdiri, meraih tasnya, berpamitan pada Ameera kemudian berjalan bersisian bersama Aisha meninggalkan restoran.
Malam itu sesudah mereka pergi makan malam bersama, Ameera memutuskan untuk memendam perasaannya kepada Alvino sampai lapisan ketujuh pusat bumi. Ia akan berusaha berdamai, berjanji pada dirinya sendiri untuk merelakan Alvino pada wanita lain.
Anggap saja Ameera sedang amnesia, berusaha melupakan perasaannya yang sudah menggerogoti hantinya sejak lama. Berat memang, lalu apa yang bisa ia perbuat? Merecoki hati Alvino? Ameera tidak ingin seperti Ibunya, Ameera ingin dicintai, diinginkan dan tentu saja ia ingin disayangi dengan ikhlas.
Sulit bagi Ameera untuk menerima kenyataan pahit terus, hanya saja ia tidak bisa terus berpura-pura menjadi orang bodoh. Menjadi wanita yang tidak pernah dianggap dan diperhitungkan keberadaannya. Ameera harus ingat jika dirinya hanyalah seorang kakak tidak lebih. Meski demikian, ia tidak pernah melepas nama Alvino dari doa-doanya. Barangkali Tuhan berbelas kasih dan membalik hati adik tingkatnya itu. Tidak ada yang mustahil bukan?
***