Bab 6 Laki-laki Biasa
Bab 6 Laki-laki Biasa
‘Terkadang hujan tidak hanya meninggalkan jejak basar, juga memaksa ingatan untuk kembali mengingat dan mengenang.’
Gerimis perlahan turun malu-malu. Sepasang anak manusia masih setia berdiri memandang sebuah bangunan yang bentuknya belum terlihat sempurna. Helm putih dengan peluit sebagai penanda sekaligus pengaman selama bekerja di lapangan melekat nyaman di tubuh masing-masing. Rupanya gerimis yang perlahan berubah hujan tidak mengganggu diskusi keduanya. Asik mendiskusikan warna dan ornamen apa saja yang pas digunakan untuk bagian dalam dan luar rumah.
Hujan semakin deras, keduanya belum juga beranjak, padahal hari esok masih panjang untuk menyelesaikan diskusi mereka yang sudah berlangsung hampir setengah hari. Gelap mulai menjemput, beberapa pekerja bangunan mulai berkemas untuk pulang dan beristirahat. Sepertinya tidak juga menemukan titik terang mengenai warna apa yang akan mereka gunakan.
“Hey, diskusinya bisa dilanjutkan besok.” Keduanya menoleh, menatap ke arah sumber suara. Kepala tukang yang tergabung dalam tim rupanya sudah siap untuk pulang. Ameera menatap sekitar, rupanya ia tidak sadar dengan perubahan cuaca. Wanita itu terlalu larut dalam setiap kalimat yang keluar dari lisan Alvino. Terjebak dalam pesona laki-laki itu.
“Kak, sepertinya kita harus pulang sekarang. Diskusinya bisa dilanjutkan besok di kantor.” Ameera mengangguk, meski Ameera terlibat dalam tim inti pembangunan, ia tidak bisa terjun setiap hari ke lapangan. Hanya mengawasi dari jauh, maksimal dua kali dalam seminggu ia mengecek ke lapangan, selebihnya diserahkan pada Alvino dan Rayyan.
“Mau Saya antar Kak?” ingin sekali Ameera menjerit kegirangan, mengatakan ya pada Alvino, sayang ia juga membawa mobil dan Alvino bahkan melihatnya turun dari mobil tadi siang. Ameera tidak bisa berpura-pura jika mobilnya mogok dan sebagainya. Wanita itu menghela napas, lalu menggeleng mengucap terima kasih atas tawaran Alvino. “Makasih untuk tawarannya, tapi Kakak bawa mobil kok,” ujarnya tersenyum. Senyum yang sengaja dimaniskan, barangkali Alvino bisa menemukan sesuatu yang menarik di sana, melebur dan jatuh dalam pesona seorang Ameera.
“Kalau begitu saya duluan,” pamit Alvino. Senyum yang semula manis berubah kecut perlahan memudar. Ekspektasi seorang Ameera terlalu melambung. Alvino tidak semudah itu jatuh dalam pesona seorang perempuan. Jika ya, maka laki-laki itu sudah lama terjebak dalam pesona yang selalu Ameera tebar disetiap pertemuan mereka.
Sepertinya hujan tidak berada di pihak Ameera, ia juga harus segera berlari menuju mobilnya agar pakaian yang ia kenakan tidak basah. Kemudian berjalan gontai menuju mobil kesayangannya, hadiah ulang tahun dari Oma ketika umurnya menginjak 18 tahun.
*
Ameera menatap kalender di atas meja kerjanya. Waktunya semakin menipis. Ia tidak punya banyak waktu lagi untuk mencuri pandang ke arah Alvino. Ameera sudah hampir menyelesaikan prakteknya di perusahaan orang tua Alvino. Ameera tidak mengerti bagaimana seorang laki-laki yang berusia lebih muda darinya dan tergolong berwajah biasa-biasa saja, mampu membuat dunianya berputar cepat dari sumbunya.
Sebuah hembusan napas penuh beban meluncur begitu saja, meluruhkan pundaknya yang semula tegap bersandar pada kursi mobil. Ameera sadar, tidak sedikitpun Alvino mempunyai perasaan yang sama dengannya. Selama mereka bekerja laki-laki itu selalu bersikap profesional, tak pernah menghubungi Ameera jika bukan mengenai pekerjaan. Lucu memang, mengapa Ameera harus jatuh dalam pesona anak Bibi Grizelle, sekaligus adik tingkatnya.
Bahkan Alvino hanya menganggap Ameera kakak, mengingat Mama Grizelle dulu pernah menikah dengan Papanya Ameera, Adrian. Mereka berdua tidak pernah bertanya langsung kepada Grizelle atau Anindya mengenai hubungan menyakitkan tersebut. Tentang Grizelle yang akhirnya memilih berpisah dengan Adrian.
Sering tanpa sadar Oma Nina menyiratkan jika perpisahan antara Mama Grizelle dan Papa Adrian adalah kesalahan Ibunya Anindya. Ameera tidak ingin meratap, meski rasa penasaran sering kali membuatnya begadang, tidak juga ia berani bertanya pada Grizelle secara langsung. Terlebih pada mamanya, dan tentu saja Ameera tidak ingin disangka gila jika harus bertanya pada kuburan Papanya yang tidak akan pernah menjawab rasa penasarannya itu.
Melewati sebuah cafe, Ameera memutuskan untuk mampir sebentar, ia butuh sedikit cafein untuk menyegarkan otaknya yang semakin tumpul. Cinta benar-benar membutakan. Jika tidak demikian, Ameera tidak akan pernah jatuh pada pesona seorang Alvino, pria kaku dan irit bicara.
“Capucuno lattenya satu Mas.” Ameera akan mendinginkan otaknya sebentar sebelum pulang dan kembali bergelud pada laporan yang telah menantinya di rumah. Ameera sengaja mengambil duduk di ujung ruangan dengan dinding kaca sebagai pembatas ruangan dengan dunia luar.
Hujan semakin deras, beberapa orang terlihat lalu lalang dengan payung di tangan. Beberapa lagi memilih berlari dengan tas kerja yang sengaja diletakkan di atas kepala, meminimalisir hujan yang semakin mengguyur. Jalan mulai basah, genangan mulai terlihat di beberapa tempat. Sekali lagi Ameera menghela napas. Perasaan yang harusnya ia kubur dalam-dalam semakin tumbuh berakar, memblokir sebagian kewarasan Ameera. Jika Alvino tidak sekeras itu menutup diri darinya, Ameera akan mengejarnya mati-matian.
“Capucinonya Mbak.” Ameera menoleh dan mengangguk. Segelas capucino latte dengan hiasan berbentuk love mengusik moodnya yang benar-benar buruk. Ameera butuh pelarian. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Ameera akan meminta dilahirkan pada keluarga lain agar ia bisa mengejar Alvino. Terlahir sebagai orang lain, bukan sebagai perempuan yang dikenal sebagai kakak oleh laki-laki itu.
Ameera mencoba menyeruput kopinya, pandangannya tidak teralih dari jalan, hujan mulai reda menyisakan jejak basah di jalan. Waktu sendiri seperti ini benar-benar ia butuhkan untuk menata hatinya kembali. Perlahan potongan-potongan ingatan menyatu dalam kepalanya, dulu ia sering sekali menikmati kopi bersama Haikal.
Apa kabar laki-laki itu? Sudah lama sekali Ameera tidak menyapanya semenjak pertemuan terakhir mereka di hari wisudanya dulu. Ameera butuh teman cerita seperti Haikal. Dengan satu tangan menyangga dagu, ingatan Ameera melanglang jauh tanpa bisa ia cegah. Kopinya teronggok di meja, sepertinya akan segera dingin jika sang tuan tidak menghabiskannya segera.
Drrttt drrrttt
Ameera segera merogoh tasnya, mencari benda pipih yang menjadi teman jalannya ke mana-mana. Ameera meringis ketika melihat jam di ponselnya, juga nama Oma Nina tercetak besar di sana. Ia lupa jika malam ini ia memiliki janji makan malam bersama Oma. Ameera segera menempelkan benda pipih tersebut setelah menggeser tombol hijau, berbicara sebentar dengan sang Oma sebelum buru-buru membayar kopinya.
Ameera merutuki kebodohannya karena membuang waktu banyak dengan melamun. Sekarang ia harus berhadapan dengan macet ibukota. Padahal hujan tidak begitu lama, sementara beberapa bagian jalan sudah tergenang air. Sebegitu buruk kah pembangunan drainase di sini, Ameera merasa gagal menjadi seorang arsitek.
“Kalau saja Aku lahir lebih dulu, Aku akan membangun drainase yang lebih baik dari ini.” Ameera mencoba menyuarakan rasa prihatinnya terhadap kota tempatnya bermukim. Banjir tidak seharusnya berada di sini terlebih hujan yang turun tidak begitu deras dan lama.
“Ya Tuhan, kenapa juga harus macet seperti ini. Aku tidak yakin jika sekarang malam minggu.” Ameera kembali menekan klakson mobilnya bersahutan dengan klakson mobil lain. Jika ia menggunakan sepeda motornya, sudah dipastikan Ameera tidak akan secapek ini menekan pedal gas secara perlahan. Ia akan menyalip mobil-mobil yang menghalangi jalannya lalu tiba di rumah tepat waktu makan malam bersama Oma lalu tertidur pulas. Khayalan yang indah.
Ameera harus berkutat bersama macet di jalan, Oma bahkan menelponnya beberapa kali ketika ia tak kunjung sampai di rumah. Selain jalur yang ia tempuh berbeda dari biasanya, Ameera juga harus merelakan mobilnya kotor. Benar-benar menguji rasa sabarnya. Tahu begini ia akan menggunakan kendaraan umum saja ke tempat proyek lalu meminta Alvino untuk mengantarnya pulang, lagi-lagi Ameera berkhayal ketinggian.
Ameera tiba setelah bermacet ria di jalan. Ia segera memarkirkan mobilnya, tidak peduli dengan warnanya yang telah berubah oleh lumpur di jalan. Ameera ingin segera menuntaskan hajatnya lalu berbaring dengan nyaman di kasur.
“Ameera pulang.” teriak Ameera menggema seantero rumah. ia segera menyusuri ruangan menuju ruang makan, menemukan Oma Nina yang sedang berbincang-bincang dengan asisten rumah. “Ganti baju dulu Ra!” ujar Oma melihat penampilan Ameera yang terlihat berantakan dari biasanya. Jilbab yang ia kenakan bahkan sudah acak-acakan, akibat frustasi terjebak macet.
“Selamat makan.” Oma Nina menggeleng melihat tingkah Ameera yang terkadang kekanakan seperti sekarang. Bukannya pergi mengganti baju dia malah duduk dan makan di samping Omanya.
***