Bab 2 Harapan
Bab 2 Harapan
‘Cinta kadang datang dari manapun, bahkan dari tempat yang tidak pernah kita sangka.’
Alvino melihat sosok berjilbab dengan wajah ayu yang berjalan dengan anggun ke arahnya, meski terkesan sedikit tomboy, Ameera tetap mempertahankan sisi perempuannya. Pagi tadi mereka sudah bertemu di koridor dan sore ini, Ameera meminta untuk bertemu dengan Alvino di cafe tongkrongan mahasiswa Teknik tidak jauh dari kampus mereka. Mereka berjalan bersisian memasuki cafe, rencananya Ameera akan mengajak Alvino untuk makan bersama.
Alvino adalah mahasiswa teknik sipil, dua tingkat di bawah Ameera. Sedang Ameera sendiri jurusan arsitektur. Setelah wisuda nanti, untuk mendapatkan surat sertifikasinya sebagai arsitek, Ameera diwajibkan kerja praktek,yang akan dilaksanakan Ameera pada perusahaan Gala- Alan dan Grizelle. Karena itulah Ameera mengajak bertemu dengan Alvino di cafe untuk menitipkan surat resminya kepada perusahaan milik orangtua Alvino.
Seperti biasa saat menatap Alvino, jantung Ameera berdebar keras, terlebih pagi tadi, Alvino menguji kewarasannya dengan senyum tipis yang lepas di ujung bibirnya. Lalu sekarang mereka harus duduk berdua di cafe, Ameera tidak yakin bisa bertahan berlama-lama duduk berdua seperti ini. Meski ia tahu, bahwa perasaannya kepada Alvino bertepuk sebelah tangan, ia belum juga bisa keluar dari zona yang menjerat hatinya selama ini. Harapannya masih besar, juga doa-doa yang setiap malam ia panjatkan, terselip nama laki-laki itu.
Jika dipikirkan kembali dengan otak waras, bagaimana mungkin Alvino menyukainya? Sejak kecil Bibi Zelle mendokrin bahwa Ameera adalah kakak bagi Alvino, mendekatkan keduanya dengan hubungan emosional sebagai saudara. Namun, perasaan sayang sebagai saudara itu telah berubah entah sejak kapan, membuat perasaan Ameera pada saat memandang laki-laki dengan mata besar yang sayu itu menjadi pilu.
Hatinya menjerit ingin mengutarakan apa yang ia rasakan sekarang. Ameera ingin berteriak di depan laki-laki pendiam itu jika ia menyukai Alvino. Bersyukur, Ameera masih bisa mengendalikan perasaannya, berpikir cukup waras untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri. entah sampai kapan Ameera akan bertahan dalam kondisi seperti ini. Hubungan mereka terlalu rumit untuk menjadi saudara dan terlalu sulit menjadi pasangan.
“A... anu, Kakak ingin nitip surat untuk Paman Alan.” Ameera menyodorkan map coklat yang sedari tadi ia bawa ke mana-mana. Ia mengambil duduk di depan Alvino, agar ia bisa berpuas hati dan mata menatap juniornya itu. Mana tahu Alvino bisa berubah pikiran dan bisa memandang Ameera layaknya perempuan dewasa yang mencintainya.
“Nanti saya sampaikan.” Sambut Alvino menerima surat dari Ameera dan duduk menjejeri Ameera. Ada rasa kecewa di hati Ameera ketika Alvino memilih duduk di sampingnya, ia bahkan mempersiapkan kursi di hadapannya. Mendesah pasrah, ia tidak mungkin mendorong Alvino dan membuat laki-laki menatapnya aneh.
Baru saja Alvino mendaratkan bokongnya di kursi, ponselnya berbunyi dan Alvino segera menjawab telepon itu. Seperti biasa Rayyan akan merecokinya. Temannya itu sangat hiper aktif sekali. Padahal mereka baru berpisah beberapa menit lalu di parkiran Fakultas. Sudah seperti kekasih posesif saja.
Ameera mendengarkan Alvino menjawab telepon itu. Dia tahu itu pasti Rayyan teman Alvino yang tampan tapi membuat jengah karena terlalu percaya diri. Bahkan Ameera yang seniornya saja tidak pernah lepas dari godaan Rayyan. Laki-laki satu itu terbilang berani dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata. Hampir semua senior perempuannya di fakultas tidak lepas dari gombalan Rayyan, sangat berbeda dengan Alvino yang memilih mencari aman ketimbang mengikuti kekonyolan Rayyan yang kadang berbuah simalakama.
Setelah menutup telepon Rayyan, ia segera merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah kotak yang telah dibungkus rapi. “Maaf tadi ada gangguan,” ujar Alvino, ia meletakkan kotak tersebut tepat di depan Ameera. “Hadiah dari Mama. Tadi pagi lupa,” lanjutnya. Alvino memberikan hadiah dari Bibi Grizelle untuk gadis itu. Alvino menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tatapan Ameera terlalu tajam ke arahnya.
Dengan semangat, Ameera segera membuka bungkusan tersebut. Sebuah jam tangan mahal. Ameera tampak berkaca-kaca menerimanya, bersyukur bahwa Bibi Zelle sangat menyayanginya, “Terima kasih, sampaikan salamku pada Bibi Zelle. Saya akan mengunjunginya nanti.” Ameera mengusap matanya yang berembun. Harusnya ia tidak menangis di depan Alvino, hanya saja, ia terlalu bahagia bisa mendapat perhatian dari Grizelle. Ia bahkan sempat membayangkan betapa bahagianya Ameera jika Grizelle adalah ibu mertuanya.
“Mama dan Ayah sedang ada proyek di Jawa Timur Kak, jadi hanya menitip hadiah ini. Salam sayang dari mereka. Maaf tidak bisa hadir besok saat kakak wisuda,” ujar Alvino. Kalimat terpanjang yang pernah Ameera dengar dari mulut laki-laki itu. Biasanya mereka hanya akan saling menyapa sekilas, bahkan ketika Ameera berkunjung ke rumah Grizelle, Alvino benar-benar irit soal bicara. Hanya menyapa Ameera lalu bertapa di kamarnya hingga Ameera pulang.
“Makan yuk, Kakak lapar.” Alvino mengangguk. Meski ia masih kenyang karena siang tadi dicekoki makanan oleh Rayyan, laki-laki itu tetap menghargai Ameera dengan memesan makanan.
*
Ameera berdecak kesal ketika acara makan berduanya bersama Alvino harus gagal oleh gangguan Rayyan. Laki-laki itu benar-benar mirip parasit yang menempeli Alvino ke mana-mana. Tanpa rasa bersalah, Rayyan menarik Alvino berdiri dari duduknya dan digantikan oleh laki-laki itu. Ameera benar-benar ingin mencakar wajah Rayyan yang sayangnya kelewat tampan itu.
“Kak Meera jahat banget, masa yang ditraktir Vino doang Kak? Aku kan junior Kakak juga.” Ameera memutar bola matanya malas. Rasa laparnya menguar begitu saja. Makanan yang tersaji di depan matanya sudah tidak menarik lagi, ia bahkan baru mengicip dua sendok makanannya sebelum Rayyan datang dan mengacaukan semuanya.
“Vin, jangan makan banyak, kita sudah janji akan makan malam dengan Kak Fatih dan yang lain.” Alvino mengangguk, sementara Rayyan ia sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Laki-laki itu benar-benar putus urat malunya.
“Vin. Kakak duluan yah.” Ameera segera menarik tasnya, tidak ingin berlama-lama melihat wajah menyebalkan Rayyan. “Loh, kok...,” Rayyan menatap punggung Ameera yang berjalan menuju kasir. “Kalau dilihat-lihat Kak Ameera selalu cantik.” Celetuk Rayyan disambung oleh suara tawa khas laki-laki itu. Alvino menimpali dengan kedua pundak yang terangkat naik.
“Habiskan Vin mumpung gratis.” Lanjut Rayyan setelah memastikan Ameera benar-benar telah meninggalkan mereka berdua. Rayyan tidak tahu mengapa Ameera selalu menatapnya penuh kesal, padahal lebih dari seperdua gadis di kampus mereka selalu menatapnya kagum, bahkan rela mengantri untuk mengajak Rayyan makan bersama. Sementara Ameera sepertinya menaruh benci padanya. Rayyan terkekeh sendiri.
“Kamu tidak kerasukan di jalan kan, Yan?” tanya Alvino menatap Rayyan horor. “Aku kerasukan jin cantik yang baru saja membayar makanan untuk kita, ha ha ha...,” Alvino mendengus kesal ia tahu siapa yang dimaksud oleh sahabat playboynya itu. Alvino sendiri heran mengapa ia bisa bersahabat dengan Rayyan laki-laki paling bawel yang pernah ia kenal.
Setelah menghabiskan makanan mereka, Alvino dan Rayyan segera meninggalkan cafe, Fatih dan yang lain sudah menunggu mereka di restoran tempat mereka biasa berkumpul. Rayyan menepuk perutnya kekenyangan. Entah bagaimana caranya agar nanti ia bisa makan lagi di restoran.
*
Ameera membanting tasnya ke kasur begitu ia memasuki kamarnya. Rasa kesal yang sedari tadi menguji kesabarannya belum juga bisa menguap. Harusnya sekarang ia dan Alvino sedang menikmati makan malam yang kepagian itu di cafe.
“Rayyan sialan. Aku sumpahin kamu jomblo sampai tua!” teriaknya menggema. Ameera menghempas badannya ke kasur, menatap langit-langit cukup lama sebelum melihat jam tangan mahal yang melingkar indah di tangannya. Sungguh bahagia jika Ameera bisa menjadi menantu Mama Zelle.
“Ma, bisa kan, Ra menjadi menantu Mama?” ocehnya mengajak jam tangannya berbicara seakan jam tangan tersebut adalah Grizelle yang sedang mendengar curhatannya. Sepersekian detik kemudian, Ameera sudah terisak, menangis dalam diam. Menyadari jika sangat sulit menggapai Alvino untuk dirinya. Selain karena ia yang lebih tua, Ameera juga tidak yakin jika Paman Alan akan merestui mereka. Hati Ameera sungguh sakit membayangkan kenyataan pahit tersebut.
Ameera ingin menyerah, hanya saja, ia belum tahu bagaimana caranya untuk melepaskan diri. Keluar dari bayang-bayang bahagia yang tidak didapatkannya selama ini. Ameera ingin menjadi sebagian dari hidup Alvino, menua bersama seperti Mama Zelle dan Paman Alan. Itu yang selalu Ameera mimpikan selama ini, sampai ia tidak sadar jika selama ini ia telah banyak menyakiti dirinya sendiri dengan harapannya.
***