Bab 1 Ameera
Bab 1 Ameera
‘Tidak banyak yang bisa kita sesalkan atas apa yang menimpa kehidupan, akan lebih melegakan jika yang kita lakukan adalah memperbaiki dan menarik hikmah lebih banyak.’
“Ameera!” terdengar suara Oma Nina memanggil namanya dengan lembut dari balik pintu kamar. Ameera membuka pintu itu dan memandang Oma yang sudah berumur 70 tahun namun, tetap terlihat cantik dan sehat bugar bagi perempuan seusianya.
“Sudah salat Subuh?” tanya Oma begitu Ameera muncul dari balik pintu. Gadis itu mengangguk. Dengan cekatan Ia mengucir rambut lurusnya yang panjang sebahu dan mengikuti Oma berjalan keluar kamar.
Pagi-pagi seperti ini adalah pagi yang selalu dinanti Ameera. Baginya, pagi adalah sebuah anugerah dimana manusia diajar untuk banyak mengucap syukur sebab masih diberi kesempatan untuk bernapas dan melakukan rutinitas seperti hari-hari sebelumnya.
Tiba di dapur, Oma segera menarik kursi dan akan duduk di dekat meja pantry, mengamati Ameera yang akan membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan. Pemandangan yang selalu membuat Oma bersemangat memulai harinya. Melihat Ameera tumbuh dewasa di sekitarnya sudah cukup membuat bahagia perempuan tua itu.
Pertama rebusan sereh dulu untuk kaki Oma. Sesekali Ameera akan melirik Oma yang mengamatinya dengan seksama. Setiap kali mata mereka saling bertemu, Ameera akan tersenyum dibalas oleh Oma.
Ameera adalah cucunya dari putra kedua Nina bernama Adrian yang meninggal muda. Sejak SMP Ameera memutuskan untuk tinggal bersama Omanya, sedangkan mamanya Anindya tinggal bersama suami keduanya yang bernama Revan. Mereka memiliki satu anak bernama Amelia yang masih berumur enam tahun.
“Nona selalu perhatian dengan Oma yah.” Celetuk salah seorang asisten rumah tangga Nina. Asisten baru, menggantikan orang tuanya yang memilih pensiun untuk menikmati hari tuanya. “Ini sudah tugasku Bi.” tukas Ameera tersenyum.
“Kalau dilihat-lihat, Non Ameera bukan gadis yang suka di dapur.” ocehnya lagi. Ameera hanya tertawa mendengar komentar wanita tersebut. sudah menjadi rahasia umum bagi orang-orang yang tinggal di rumah itu jika penampilan Ameera benar-benar tidak mencerminkan gadis yang suka beraktivitas di dapur pagi-pagi buta seperti ini.
Rutinitasnya setiap pagi setelah menyiapkan sarapan adalah berolahraga. Omanya yang kaya raya menyiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan untuk cucu kesayangannya itu. Dari sanalah Ameera menyukai olahraga sehingga badannya lebih atletis, penampilannya pun yang terkesan tomboy selalu membuat orang-orang tidak percaya jika Ameera lihai memasak.
*
“Bagaimana persiapan wisudanya?” tanya Oma di sela-sela acara makan mereka. Ameera meletakkan kembali sendok berisi nasi goreng ke dalam piring, menghembuskan napas dengan pundak sedikit meluruh. “Loh, bukannya mahasiswa yang akan wisuda selalu bahagia, ini kok?” Oma menatap Ameera penuh selidik. Tidak biasanya cucunya akan berlaku seperti ini.
“Oma kan tahu Ameera tidak memiliki banyak teman dekat, hanya teman-teman kampus saja. setelah Ameera wisuda, pasti teman-teman Ameera akan sibuk dalam pekerjaannya masing-masing.” Oma mengangguk paham. Ia mengerti akan keresahan hati cucunya. Oma melanjutkan kembali acara makannya, ia tahu jika ada sesuatu yang sedang mengganggu hati cucunya, dan ia tidak berhak ikut campur. Ia juga pernah muda, mengerti dengan keresahan hati Ameera.
Setelah sarapan yang berakhir dengan keheningan, Ameera segera bersiap untuk ke kampus. Pagi ini ia akan melewatkan olahraga paginya. Meninggalkannya sehari tidak akan membuat otot-ototnya kendor bukan?
Ameera segera bersiap ke kampus, gladi resik wisudanya akan di lakukan di gedung auditorium kampusnya yang megah. Ameera menatap kembali pantulan dirinya di depan cermin, penampilannya sudah rapi dengan jilbab menjuntai menutupi dada. Sudah sesempurna itu penampilannya, tetapi ia belum juga mampu menarik perhatian laki-laki yang selama ini ia taksir secara diam-diam. Ameera nyaris tidak bercela. Ia kadang bertanya-tanya, tipe seperti apa yang laki-laki itu sukai? Mengapa Ameera benar-benar tidak terlihat di matanya?
Tok tok tok
Ameera segera menarik ranselnya begitu mendengar ketukan di pintu kamar. Ia segera membuka pintu dan keluar. “Ada apa Bi?” tanya Ameera, tidak biasanya ada yang berani mengetuk pintu kamarnya kecuali Oma tentu saja. “Itu Non, Nyonya meminta Bibi memanggil Nona, katanya Nyonya akan mengantar Nona ke kampus hari ini.” jelas wanita tersebut. Ameera mengangguk paham. Ia mengingat jika hari ini adalah jadwal rutin cek up Oma ke rumah sakit.
“Oma, biar Ameera naik motor saja.” Ameera segera mengutarakan keinginannya begitu tiba di ruang keluarga, di mana Oma sudah duduk dengan manis. Jujur Ameera lebih senang mengendarai motor ke kampus dibanding membawa mobil sendiri atau diantar sopir. Ameera benci macet dan berlama-lama di jalan.
“Ingat ya Ra, jangan ngebut-ngebut.” Ameera mengangguk, ia segera menjabat tangan Oma tak lupa mencium kedua pipi perempuan tua itu terlebih dahulu. Ameera begitu menyayangi Oma yang sudah ditinggal Opa Syahreza, tujuh tahun yang lalu. Bahkan anaknya yang termuda, Adrian yang merupakan Papa Ameera sudah lebih dua puluh tahun meninggalkan mereka karena kecelakaan, ketika Ameera masih sangat kecil.
*
Tiba di kampus, Ameera segera memarkirkan motor di parkiran fakultas, ia akan berangkat ke auditorium bersama temannya yang menunggu di kantin fakultas. Ameera menyusuri koridor fakultas yang tidak begitu ramai, jika melihat jam yang melingkar manis di tangannya, pelajaran di kelas sedang padat-padatnya, penyebab mengapa koridor begitu sepi dan sunyi.
Dalam perjalanan menuju kantin, Ameera bertemu dengan juniornya Alvino. Alvino adalah anak Bibi Grizelle yang merupakan isteri pertama Papa Adrian, sebelum Mamanya menikah dengan Papa. Yah benar! Mama Ameera adalah istri kedua Papa Adrian.
Begitu Ameera cukup umur, Oma Nina dengan jujur menceritakan semuanya kepada Ameera, tentang Mama Alvino, Grizelle dan Papanya Adrian. Kisah kasih mereka dan pernikahan yang sedih dan berujung perceraian.
Jujur Ameera kadang merasa bersalah atas apa yang menimpah Papanya dan Bibi Grizelle, hanya saja, Mamanya juga tidak berhak disalahkah dalam keretakan hubungan keduanya. Semua telah ditakdirkan Tuhan. Toh, Bibi Grizelle sangat bahagia dengan pernikahan keduanya, ia sangat menyayangi Ameera layaknya anak kandung sendiri.
Grizelle tidak dapat menipu perasaannya, ia bahkan menunjukkannya terang-terangan, memanjakan Ameera seperti Alvino dan Aisha anak kandungnya sendiri. Suaminya, Paman Alan, pun tidak keberatan dengan hal tersebut. Seperti halnya Oma Nina yang masih sangat menyayangi Bibi Grizelle meski hubungan mereka sudah lama berakhir sebagai mertua dan menantu.
“Alvino.” Dengan sedikit gugup, Ameera mencoba menyapa adik tingkatnya itu. Ia tahu, Alvino adalah laki-laki yang sangat irit dalam berbicara. Ia bahkan tak pernah digosipkan terlibat hubungan dengan perempuan manapun di kampus benar-benar tertutup.
“Kak Meera,” ujarnya santai. “Selamat untuk wisudanya besok,” kata laki-laki itu, kedua sudut bibirnya tertarik, senyum tipis muncul di sana, sangat tipis. Ameera berusaha menormalkan ekspresinya. Jujur saja ia terpesona dengan senyum laki-laki itu. Laki-laki yang selalu memasang wajah datarnya di manapun, lagi-lagi sukses membuat hati Ameera bergemuruh.
“Ah... yah. Makasih. Kuliah yang rajin yah biar bisa cepet nyusul,” celetuk Ameera gugup. Ia menggigit sedikit bibirnya. Bodoh sekali. Harusnya ia menjadi Ameera seperti biasa. Gadis yang disegani oleh juniornya di Fakultas. Mengapa bersikap malu-malu kucing seperti ini? Ameera merutuki kebodohannya.
“Duluan yah Kak, sebentar lagi ada kelas,” pamit Alvino. Ameera mengangguk antusias, meski sedikit kecewa. Ia tidak mungkin menahan Alvino lebih lama. Alvino ada jadwal kuliah, sementara dirinya sendiri, juga punya janji dan jadwal lain. Cukup lama Ameera berdiri menatap punggung Alvino yang semakin menjauh hingga menghilang begitu memasuki lift.
“Yah amplopnya.” Ameera menatap jejak kepergian Alvino bergantian dengan map coklat yang berada di tangannya. Sepertinya nasib baik sedang tidak berpihak padanya. Ameera akan mengajak Alvino untuk bertemu setelah gladi resik saja.
“B A G U S!” Ameera terlonjat kaget mendengar suara cempreng yang sengaja berteriak di telinganya, siapa lagi jika bukan suara teman laknatnya Ulfah Aryani. “Dari tadi aku tunggu di kantin, rupa-rupanya ibu Ameera yang terhormat sedang memandangi punggung adik tingkat. Ck ck. jadi seleramu brondong Ra?” Ulfah menggeleng-geleng prihatin.
“Sudah ah bentar lagi telat nih.” Ameera tidak ingin berlama-lama menanggapi ocehan Ulfah atau mereka akan menjadi pusat perhatian di koridor untuk kesekian kalinya. Teman samblengnya itu sangat-sangat hoby membuat keributan dan membuat Ameera kerepotan dan malu.
“Ya ampun Ra, aku sudah capek-capek nunggu, dan ujung-ujungnya ditinggal seperti ini? Sial benar nasibku!” oceh Ulfah memanjangkan langkahnya menyusul Ameera yang semakin jauh. Harusnya ia tidak usah repot-repot mencari Ameera, ia cukup duduk manis di kantin dan menungggu Ameera datang, lalu mereka akan berjalan menuju Auditorium bersama. Sial!
***