Bab 10 Penolakan
Bab 10 Penolakan
‘Jika kecewa harus semenyakitkan ini, untuk apa kita saling mengokohkan sebelumnya. Air mata tidak lagi bermakna.’
Betapa merendahkan Papa Qeela terhadap Haikal, melihat Haikal datang dengan mobil pick up meski diiringi mobil-mobil yang cukup mewah milik Rizka dan Ameera. Sedang gadis itu, Qeela hanya diam saja. Ia bahkan mengalihkan pandangannya dari tatapan Haikal.
Ameera merasa jika kedatangan mereka tidak diharapkan. Sambutan yang terkesan ogah-ogahan membuat Ameera diliputi rasa khawatir. Perasaannya tiba-tiba dilanda badai. Meski Haikal dan keluarga tidak mempermasalahkan hal tersebut, Ameera tetap merasa jika ada yang salah dalam penyambutan kedatangan mereka.
Ameera menghela napas, berusaha menepis segala khawatir yang sedang melanda batinnya. Ekspresi orang tua Qeela benar-benar mengganggu Ameera. Gadis itu menjadi sedih melihat kedatangan mereka yang sepertinya tidak diharapkan.
“Silakan duduk.” Ruang tamu berisi sofa-sofa berharga puluhan juta menyambut mereka. Desain ruangan benar-benar modern membuat Ameera berdecak. Ia seorang arsitek dan tahu betul jika desain serumit dan semewah itu tidak main-main harganya.
Tidak hanya dari perabot dan desain rumah yang mewah, dari jamuan yang sediakan, terkesan mempertontonkan kekayaan keluarga Qeela. Serba mewah mulai dari kue-kue yang dikemas rapi dan cantik hingga prasmanan dengan makanan-makanan luar negeri yang tersaji di meja.
“Silakan-silakan dicicipi kuenya,” seru seorang perempuan yang menyambut mereka dengan antusias. Hanya perempuan tersebut yang terlihat bersahabat dan senang dengan kedatangan rombongan Haikal.
“Jadi maksud kedatangan kami ke sini untuk menyampaikan niat baik anak kemenakan kami, sebagai perwakilan dari keluarga besar Haikal, kami bermaksud melamar Nak Shaqeela untuk Haikal.” Mendengar penuturan Paman Haikal membuat laki-laki itu meremas jemarinya, gugup.
Kedua orang tua Qeela mengangguk paham. Meski demikian ada sirat merendahkan dari pandangannya yang terus menghujam ke arah Haikal. “Jadi begini calon yang selalu kamu banggakan di depan Papa?” pungkas Papa Qeela dengan pandangan merendahkan.
Haikal tidak tahu lagi harus berkata apa, realita dan ekspektasinya benar-benar jauh berbeda dari yang ia impikan selama ini. Perkataan Papa Qeela benar-benar mengguncang batinnya. Keluarga Haikal tersentak kaget dengan perkataan sarkas tersebut. Mereka saling melirik sebelum kembali serius menanti jawaban orang tua Qeela.
“Mau jadi apa kamu jika menikah dengan laki-laki seperti dia? Kamu mau menyia-nyiakan masa depan kamu?” Haikal mengusap wajahnya gusar. Beberapa kali melirik Qeela dengan tatapan memelas, meminta gadis itu untuk memberi pembelaan. Haikal tidak mungkin berjuang sendiri bukan?
“Nak Haikal sudah punya usaha sendiri, saya pribadi yakin jika Haikal bisa mencukupi kebutuhan putri Bapak.” Keluarga Haikal mencoba negosiasi, meski usaha Haikal masih dalam pengembangan, hanya saja semua itu sudah patut dibanggakan. Laki-laki seusianya sudah berani mengambil resiko dan ikut melebur dalam persaingan bisnis yang gila-gilaan saat ini. Haikal sudah menggaji orang, pada saat semuanya ingin digaji.
Menunduk menahan malu. Hanya itu yang bisa Haikal lakukan di depan keluarganya. Niat baiknya benar-benar tidak ditanggapi baik oleh kedua orang tua Qeela. Ameera yang menyaksikan hal tersebut menjadi gemas sendiri. Sayang, ia tidak punya hak apa pun untuk menghakimi Qeela dan keluarganya.
Pandangan Ameera mengarah pada Rizka ketika wanita itu meremas jemarinya dengan kencang. Ameera tahu Rizka sedang menahan sakit dan amarah. Emosi dan rasa malu nampak jelas terukir di wajah mereka. Merah padam.
“Ini hasilnya kalau tidak mau mendengar omongan orang, sudah dikatakan tidak usah bawa mobil itu, masih keukeuh juga. Beginikan jadinya,” bisik Rizka kesal, menduga jika mereka dipermalukan oleh ulah Haikal sendiri. Dari keberangkatan tadi Ameera dan Rizka memang sudah mengatakan agar Haikal tidak usah membawa mobilnya itu. Namun, Haikal bertekad tampil apa adanya kepada calon mertua. Ia tidak ingin terkesan berlindung di bawah ketiak keluarganya.
“Mungkin Bapak bisa mempertimbangkannya kembali, bukankah Nak Haikal dan Nak Qeela sudah lama saling mengenal, dan menjalin kasih, barangkali bisa dipikirkan kembali,” sahut paman Haikal setelah lama terdiam, mencoba bernegosiasi.
Suasana yang awalnya hidmat, berubah tegang, berselimut kabut emosi. Bagaimanapun juga Haikal tidak pantas mendapat cemohan tersebut di depan umum, di depan keluarga besarnya. Terlebih mereka tahu jika selama ini Haikal dan Qeela saling mencintai. Laki-laki itu bahkan telah berkorban banyak demi kekasihnya.
“Maaf, tapi anak kami masih terlalu kecil untuk menikah. Karirnya masih panjang, kami tidak ingin masa depannya kelabu. Kami tidak bisa menjanjikan apa pun kepada keluarga kalian.” Dari kata-kata tersebut sudah jelas sekali penolakan Papa Qeela. Alasan mengatakan bahwa Qeela masih terlalu kecil untuk menikah, dan mereka tidak dapat menjanjikan apa pun, memperkuat jika keluarga mereka tidak dapat menerima Haikal dalam keluarga mereka.
Meski Nita pada dasarnya tidak terlalu menyayangi Haikal, namun perlakuan orang tua Qeela kepada anak laki-laki suaminya itu membuat Nita sangat marah. Keluarga mereka tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu. Terlebih hubungan Haikal dan Qeela bukan lagi seumur jagung. Mereka sudah cukup lama menjalin kasih. Kekesalan Nita semakin menjadi ketika melihat respon Qeela. Benar-benar mengecewakan.
Tanpa berkata apa pun Nita mengajak Haikal keluar dari rumah tersebut. “Haikal kita tidak seharusnya berada di sini. Kita pulang saja. Ada banyak perempuan di luar sana yang siap menerimamu, tanpa harus mempermalukan keluarga kita.” Murka Nita, menarik Haikal untuk ikut berdiri. Haikal seperti orang linglung, mulutnya hanya tertutup dan terbuka tanpa kalimat apa pun yang berhasil ia katakan.
Haikal benar-benar terpukul dengan perlakuan orang tua Qeela, terlebih sikap kekasihnya sendiri yang sama sekali bungkam, bahkan tidak berani menatap pada Haikal seperti biasa. Kecewa.
Terpaksa Haikal menekan segala perasaannya yang berkecamuk, mohon pamit dengan sopan meski Nita dan Rizka sudah meninggalkan rumah tanpa basa basi. “Om, Tante, kalau begitu kami pamit dulu. Maaf jika kedatangan saya dan keluarga sudah mengganggu ketenangan keluarga Om dan Tante. Semoga Qeela bisa bertemu dengan laki-laki yang lebih baik dari saya,” tukas Haikal sebelum ikut menyusul keluarganya yang sudah lebih dahulu meninggalkan rumah tersebut.
“Kak...,” lirih Qeela. “Maaf...,” cicitnya lagi, mengigit bibir menatap Haikal tanpa rasa bersalah. Pandangan mereka saling beradu. Sirat kesakitan terpancar jelas dari mata Haikal. Sementara Qeela, gadis itu memasang ekpresi tanpa rasa bersalah sama sekali. Jika selama ini ia hanya memanfaatkan Haikal demi mendongkrak popularitasnya, maka Qeela sudah berhasil. Ia bahkan menjungkirbalikkan perasaan Haikal. Gadis itu berhasil menoreh luka menganga di hatinya. Selamat untuk Qeela.
*
“HAIKA!!” teriakan Ameera tidak lagi digubris oleh laki-laki itu. Ia butuh waktu sendiri. perasaannya benar-benar hancur.
Haikal yang bersedih langsung menuju rukonya, menulikan telinga dan mengabaikan teriakan Ameera yang mencoba menahannya. Ameera khawatir jika Haikal nekat menyetir mobilnya sendiri dalam keadaan tidak baik-baik seperti itu. karena takut terjadi apa-apa, akhirnya, Ameera memutuskan untuk mengikuti Haikal.
Tanpa Haikal sadari ternyata Ameera masih mengikutinya dari belakang, karena tahu Ibu tiri Haikal langsung pulang ke rumah besar. Barangkali keberadaan Ameera bisa sedikit melunakkan suasana. Menghibur Haikal agar tidak tenggelam dalam keterpurukkan.
Ameera beberapa kali memekik dalam mobil melihat aksi Haikal yang benar-benar ugal-ugalan. Ia bahkan nyaris terserempet mobil lain ketika menerobos lampu merah. Ameera menyetir mobilnya dengan perasaan khawatir. Harusnya tadi Ameera menyeret Haikal untuk naik ke mobilnya saja, jika terjadi apa-apa pada Haikal, Ameera tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Haikal adalah teman terbaik yang pernah ia miliki, sudah sepatutnya ia berdiri menyangga Haikal dalam keadaan terpuruk seperti ini. Ameera tahu bagaimana rasanya patah hati. Jika ia memutuskan untuk memendam rasanya sendiri maka Ameera tidak akan merasakan malu pada siapa pun.
Sementara Haikal, laki-laki itu sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, sempurna. Entah berapa puluh juta uang yang dihabiskan oleh sahabatnya itu untuk mempersiapkan semuanya. Lalu semuanya harus hancur seperti ini. Tertolak dengan segala cemooh yang harus ia terima di depan keluarga besarnya..
Ameera benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga Qeela. Jika pun mereka ingin menolak, ada banyak kalimat yang lebih halus dan bisa mereka gunakan. Lalu Qeela, gadis itu seharusnya mengokohkan Haikal, meminta restu pada orang tuanya, berjuang bersama, meyakinkan mereka jika Haikal adalah laki-laki yang pantas untuk berdiri bersisian dengannya, bukankah sepasang kekasih harusnya berjuang bersama? Respon yang benar-benar mengecewakan.
***