Bab 11 Guna Teman
Bab 11 Guna Teman
‘Ketika orang lain sibuk meremehkanmu, kamu hanya butuh seorang yang siap berdiri memberimu dukungan untuk terus berdiri kokoh. Kamu hanya perlu membuktikan pada dirimu sendiri, jika kamu bisa kokoh meski cibiran menjadi duri dalam perjalananmu.’
Ameera akhirnya menghela napas ketika mobil Haikal perlahan memasuki sebuah halaman ruko yang diprediksi gadis itu adalah ruko milik Haikal. Baru sekali itu Ameera datang ke ruko Haikal. Ia semakin yakin ketika melihat motor sport Haikal yang sering dibawanya ke kampus terparkir di depan ruko.
Haikal termasuk idola mahasiswi di kampus, terlebih ketika ia mengendarai motor besinya, gadis-gadis akan menggunjingkannya sepanjang jalan. Dan Ameera terinspirasi untuk belajar menggunakan motor dari Haikal, bukan karena ingin dikagumi, real hanya ingin menghindari macet yang membuatnya frustasi di jalan.
Ameera tidak langsung turun, ia menunggu di mobil cukup lama sambil melihat-lihat sekitar. Halaman ruko penuh dengan besi-besi dan alat-alat WO mulai dari besi kecil hingga besi-besi panjang dan besar yang tersusun rapi. Halaman ruko yang tidak begitu besar membuat barang-barang tersebut terlihat menumpuk.
Setelah puas mengamati dari dalam mobil, Ameera memutuskan untuk menyapa Haikal yang sedari tadi sudah masuk dan bermeditasi di dalam ruko. Ameera langsung masuk tanpa permisi terlebih pintu ruko yang tidak tertutup. Seperti seorang penguntit, Ameera melangkah perlahan dengan mata menatap awas.
Jika di luar Ameera disambut oleh tumpukan besi-besi, maka di dalam ruko Ameera disambut oleh kain-kain berbagai warna yang tertumpuk di beberapa tempat, rangkaian bunga yang tergeletak di beberapa sisi, juga rak-rak besar yang menampung segala macam alat Wedding Organizer.
Sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ameera memutuskan untuk mengagumi ruangan tersebut, hanya ada sepasang sofa dan meja kecil yang terletak di tengah ruangan, juga meja kecil yang sepertinya digunakan sebagai meja resepsionis. Diperkuat dengan adanya tumpukan buku dan komputer yang mengisi meja tersebut.
Melihat segala yang dihasilkan dan sedang dikerjakan Haikal membuat Ameera benar-benar telah berada jauh dari jangkauan laki-laki itu. Dulu mereka bahkan seperti perangko, kemana-mana bersama, lalu ketika mereka menginjak bangku kuliah Ameera tidak begitu dekat lagi dengan Haikal, entah itu karena canggung pernah bercerita dengan jujur pada temannya itu tentang perasaannya pada Alvino, adik kelas mereka.
Waktu itu Ameera sudah benar-benar kewalahan memendam segala perasaannya yang menyisakan sesak, ketika terus menerus menyukai orang yang tidak pernah melihatnya sebagai seorang perempuan pada umumnya, melainkan hanya sebagai kakak perempuan yang harus ia hormati dan lindungi. Ameera tersesat oleh perasaannya dan waktu itu satu-satunya orang yang tidak akan menghakimi dan membocorkan rahasia hanya Haikal, teman SMA-nya.
Alasan lain yang membuat hubungan mereka renggang mungkin sebab fakultas mereka yang berbeda, pergaulan mereka yang tidak lagi berada pada poros yang sama, organisasi dan tentu saja tugas kuliah yang tidak main-main. Apalagi Ameera sebagai mahasiswa teknik arsitektur, tugasnya tidak main-main. Ameera terkekeh mengingat kegilaannya dulu.
*
Haikal kaget ternyata Ameera masih mengikutinya. Gadis itu sedang duduk dengan tenang di sofa lantai bawah rukonya. Haikal yang hendak mengambil ponselnya di mobil tersenyum kikuk. Ameera menatap temannya itu begitu sedih dan terpukul, malu dengan kondisi saat ini.
Namun, Ameera bukan fokus pada kesedihan Haikal, perhatiannya lebih banyak pada isi ruko dan kagum dengan usaha Haikal. Membuktikan diri jika ia bukan laki-laki yang hanya numpang tenar pada nama keluarganya terutama almarhum Ayahnya yang juga seorang pengusaha meubel besar. Haikal membuktikan diri dengan tekad dan kerja keras. Bodoh sekali perempuan yang berani menyia-nyiakan laki-laki sepertinya.
Ameera kembali memusatkan perhatiannya pada sekeliling, “Kok bisa sih Kal, kamu sampai kepikiran buat bisnis seperti ini?” Haikal terkekeh mendengar pertanyaan Ameera. Komentar kesekian mengenai pekerjaan dan jurusannya yang tidak sejalan. Meski Haikal memaksakan diri untuk tersenyum, Ameera bisa melihat seberapa besar luka yang terpancar dari mata laki-laki itu.
Ameera terus memberondong Haikal pertanyaan mengenai bisnis Haikal saat ini. Haikal awalnya menjawab pendek-pendek pertanyaan Ameera. Namun, setelah Ameera melihat salah satu hiasan pelaminan yang unik dan indah, akhirnya mereka berdua jadi mendiskusikan beberapa design arsitektur.
“OMG, ini indah sekali.” Ameera segera beranjak mendekati salah satu pelaminan yang banyak dipesan oleh klien Haikal. Wanita itu tidak tahu jika ada bermacam-macam hiasan pelaminan yang tersembunyi di sudut ruangan. Tertutupi oleh kain yang sedang dikeringkan.
“Itu hiasan yang paling banyak dipesan tahun ini.” jelas Haikal, ia beranjak mengikuti langkah Ameera yang semakin bersemangat membongkar ruko Haikal. Ada banyak benda-benda yang menurutnya unik dan lucu di sini.
“Tidak kaget lagi sih Kal, dari dulu juga kamu kan lebih suka merangkai hadiah sendiri dari pada beli di toko.” Ameera terkekeh mengingat hadiah-hadiah yang ia dapatkan dari Haikal. Tentu saja hadiah-hadiah itu masih dikemas cantik di dalam kamarnya. Langka dan limited edition.
“Aku sih yakin kamu tidak akan bosan, ini kan dunia kamu banget.” Lagi-lagi Haikal hanya memamerkan senyum tipisnya, ikut berkeliling mengikuti langkah Ameera yang sibuk mengacak ruko Haikal.
“Eh pak Bos ada tamu.” Ameera menghentikan aksinya ketika mendengar suara lain menginterupsi mereka. Seorang wanita bertubuh mungil dengan pipi cubby menghampiri mereka, disusul dua laki-laki tinggi dengan badan kekar. Ameera memicingkan matanya, ia ingat jika ketiga manusia baru tersebut ikut hadir dalam lamaran Haikal tadi pagi.
“Mau pesan yah Mba?”pertanyaan polos rekan kerja Haikal membuat wajah Ameera memerah malu. Hey ia sedang menghibur Haikal dan semuanya harus hancur begitu saja? Seketika Ameera ingin mengumpat melihat wajah Haikal yang kembali murung.
“Tidak, lagi ngobrol saja, siapa tahu besok-besok bisa kolaborasi dengan Haikal, ya kan Kal?” tanya Ameera berusaha mengalihkan kembali perhatian laki-laki patah hati itu. “Sepertinya kita butuh minum teh, cemilan, atau main catur?” serobot salah satu laki-laki rekan kerja Haikal.
“Nah! Betul, kita butuh itu.” Ameera menjentikkan jemarinya, kembali bersemangat. Ia akan total menghibur Haikal. Gunanya teman, yah menghibur teman ketika terpuruk. Haikal tidak perlu tahu seberapa berat Ameera menjadi ceria di depan Haikal, laki-laki itu cukup tahu jika Ameera selalu baik di depan banyak orang.
Beberapa menit kemudian, minuman dan cemilan yang dimaksudkan sudah tersaji di meja plus catur yang siap dimainkan. Beberapa kali Ameera mengintip ke arah Haikal yang memilih menjadi penonton, sementara yang sedang bertarung adalah kedua pegawainya. Sebisa mungkin Ameera menghidupkan suasana mengalihkan Haikal agar tidak terpaku pada masalah yang baru saja menggerogoti hatinya.
“Hukumannya apa nih? Tidak lengkap kalau yang kalah tidak kena hukuman,” usul gadis bertubuh imut itu. Ameera setuju, sebuah permainan tidak akan seru jika tidak dibarengi dengan hukuman. “Gak usah pake hukuman dong.” tolak kedua pemain yang sedang berkonsentrasi mempertahankan kerajaannya.
“Kal, mainlah. Setelah mereka kita yah?” Ameera membujuk laki-laki itu, Ameera tidak akan diam saja melihat Haikal diam seperti patung. Bukan Haikal yang Ameera kenal.
Setelah putaran pertama menemukan pemenangnya, akhirnya Haikal dan Ameera maju sebagai pemain kedua. Ameera mengeluarkan lipstik dari tasnya membuat kening haikal berkerut. “Buat apa Ra?” Ameera tersenyum usil. “Tunggu-tunggu. Jangan bilang yang kalah bakal memakai lipstik itu?” Haikal bergidik ngeri, menatap Ameera horor. “Yup! Betul banget. Jadi yang menang akan memakaikan lipstik ke pihak yang kalah dengan mata tertutup.” Ketiga rekan kerja Haikal berseru girang. Permainan semakin seru.
“Tentu saja aku yang memimpin.” Haikal menepuk dadanya, membanggakan diri. Ameera tersenyum miring. “Ingat Kal, mengalah sama perempuan.” Jurus pamungkas ala Ameera. Haikal berdecak sebal, ia harusnya tahu jika Ameera punya segudang rencana agar Haikal bisa kalah. Permainan pun berjalan menegangkan.
“YEY MENANG!” pekik Ameera setelah berhasil mengecoh Haikal dan berhasil menduduki tahta laki-laki itu. “Penutup matanya mana?” heboh Ameera. Entah dasi dari mana yang tiba-tiba ditemukan oleh pegawai Haikal. Jadilah laki-laki itu belepotan lipstik layaknya badut yang siap menghibur anak-anak di jalan.
“Foto-foto.” Ameera benar-benar puas menertawakan wajah konyol Haikal. Laki-laki itu mulai tersenyum kembali meski jelas terlihat jika Haikal masih sangat berat untuk melepas semua beban yang berada di pundaknya.
Setelah merasa fikiran Haikal teralihkan Ameera pun pamit pulang ke rumahnya. Ia segera berpamitan karena hari sudah semakin sore. Entah sudah berapa jam Ameera habiskan untuk menemani Haikal.
“Sampai ketemu lagi.” Ameera melambaikan tangannya dibalas ketiga rekan kerja Haikal, sementara laki-laki itu hanya tersenyum tipis.
***