Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Dimas

Bab 4

"Sumpah, tiap kelasnya Pak Sanusi gue ngantuk berat," ucap Prisa sambil menguap, saat kami beriringan keluar ruang kelas.

"Yaelah, lu bukan ngantuk lagi, tapi tadi mendengkur di kelas," tukasku sambil mencebik.

"Lu, bahkan tidak sadar seluruh kelas mentertawakan, saat liur Pak Sanusi berhamburan mengenai kepala lu," lanjutku sambil bergidik jijik membayangkan dosen satu itu kalau bicara liurnya berhamburan ke segala arah.

"Apa? Pantas tadi berasa gerimis," ucapnya lagi sambil meringis.

Prisa memang aneh. Dia sering ketiduran di kelas sampai pulas. Apa di rumah dia tidak pernah tidur?

"Temenin makan, yuk," ajaknya lagi seraya menarik tanganku.

"Tunggu, makan di mana?" Aku menepis tangannya. "Kalau di tempat kemarin, tidak mau!" Aku melangkah meninggalkannya.

"Kenapa sih, begitu banget sama papa gue. Dia itu biar duda, ganteng dan idola, lho." Dia tersenyum menggoda.

"Siapa yang nanya?" tanyaku ketus sambil terus berjalan.

"Hei, jangan begitu. Jangan terlalu ketus. Nanti menyesal lho, kalau papa gue ada yang mengambil," ucapnya lagi seraya menyamai langkah ini.

"Bodo amat!" jawabku lagi cuek.

"Al, papa gue biar duda tapi keren lho. Lihat saja bodinya tidak kalah sama atlet, kan? Nih, gue bilangin ya, dari bocah ingusan sampai nenek-nenek ngefans loh, sama papa. Malah ada tante-tante depan rumah hampir tiap hari kirim makanan buat ke rumah. Jadi sebenarnya, lu beruntung banget kalau sampai jadi istrinya dia," cerocos Prisa dengan semangat empat puluh lima.

Aku menghentikan langkah, lalu menatapnya.

"Oh ya? Sorry gue tidak nanya. Lagian kenapa juga tidak kawin saja sama itu tante-tante, gampang, kan?"

"Ya, itu dia. Papa tidak suka sama itu tante. Dia sukanya sama anak gadis yang suka pura-pura pingsan dan takut jarum suntik katanya." Prisa tersenyum jahil.

Aku mendelik ke arahnya yang hanya dibalas tawa keras. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu.

"Pantes saja banyak yang ngefans, hobinya TP, te-bar pe-so-na," ujarku sinis sambil menunjuk dengan dagu ke depan sana.

Prisa mengalihkan pandangan mengikuti arah daguku. Wajahnya langsung merengut melihat pemandangan di depan sana.

Om Pandu yang bersandar di pintu mobilnya dengan senyum khas yang terus mengembang, dikerubuti mahasiswi-mahasiswi yang terkenal centil di kampus.

Prisa mengentak-entakkan kakinya dengan kesal. Lalu dengan cepat menyeruduk kerumunan gadis-gadis di depan sana.

Aku memutar bola mata malas. Kemudian berlalu dari sana dengan cepat sebelum Prisa atau Om Pandu melihatku.

Setengah berlari kutinggalkan tempat itu. Hingga mataku berbinar menangkap seseorang di depan sana yang tengah anteng menekuri ponselnya.

"Dimas," gumamku senang. Aku berlari menghampirinya dengan hati berbunga.

"Dim, kamu di sini? Kenapa tidak bilang mau jemput aku? Kebetulan banget sih, pulang yuk!" seruku setelah berada di dekatnya.

Pemuda yang tengah fokus pada ponselnya itu mendongak. Gurat kaget terlihat jelas di wajahnya.

"Ka-mu, Al? Baru pulang?" tanyanya terbata. Wajahnya yang tampan terlihat agak pucat.

"Iya, Dim. Tadi ada kelas tambahan. Kok, kamu tahu, sih, aku belum pulang? Yuk, pulang sekarang!” ajakku lagi sambil mengguncang tangannya. Namun, Dimas bergeming, membuatku heran.

"Alvina...." terdengar teriakan Prisa dari belakang. Gawat, dia sudah tahu aku kabur.

"Ayo, Dimas buruan...." aku menarik tangan pemuda yang sudah setahun belakangan ini menjalin hubungan. Aku tidak mau Prisa memaksa ikut dengannya. Aku tidak mau datang ke tempat yang sudah membuat kehilangan muka itu.

"Ayo buruan sebelum Prisa datang," ajakku lagi sambil terus menarik tangan Dimas. Akhirnya pemuda itu berdiri dan mengikuti langkahku.

"Alvina ... tunggu, mau ke mana kamu?” Suara Prisa terdengar berteriak di belakang.

Aku semakin menarik tangan Dimas dan mempercepat langkah. Tadinya hanya berjalan, tetapi kemudian berlari karena suara Prisa terus memanggil. Kami terus berlari dengan tanganku menarik tangan Dimas. Semakin lama semakin cepat hingga suara Prisa tak terdengar lagi. Mungkin dia lelah mengejar kami.

Sekitar dua ratus meter kami berlari di bawah terik mentari yang tepat di atas kepala. Hingga setelah merasa aman, kami berhenti.

"Sebenarnya, kenapa kita lari, Al?" tanya Dimas dengan napas yang tersengal. Keringat membasahi wajahnya, hal yang sama terjadi denganku.

Aku masih mengatur napas sebelum menjawab pertanyaannya.

"Aku ... tidak mau ikut Prisa. Kamu tahu, kan, kalau dia suka maksa?"

"Terus, kenapa kita lari? Aku kan, bawa motor," ujarnya lagi dengan wajah lelah.

Aku mengerutkan kening. "Oh iya, sekarang motor kamu di mana?"

"Ya di sana. Di tempat kamu tadi geret-geret aku," jawab Dimas ketus.

Aku memukul kening sendiri. Ya Tuhan, kenapa aku sebodoh ini?

"Ya sudah, kamu ambil motor sana. Aku tunggu disini, maaf...." pintaku memohon dengan wajah memelas.

Dimas terdengar menghembus napas kasar.

"Ya sudah, aku ambil motor dulu," ucapnya walaupun dengan wajah sedikit kesal.

Dimas berjalan ke arah kami sebelum lari tadi. Kutatap punggung tegapnya hingga ia menghilang di persimpangan. Sementara aku mendekati warung kaki lima yang menjual minuman dingin. Rasanya kerongkongan terasa dicekik setelah berlari maraton di bawah terik mentari siang.

Setelah membeli sebotol minuman dingin, aku memutuskan menunggu Dimas dengan duduk di pagar tembok pinggir jalan. Sebotol minuman hampir habis, dan jam di tangan sudah bergeser lima belas menit sejak Dimas pergi tadi, tetapi sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda dia kembali. Padahal waktu bolak-balik kesini paling hanya memakan waktu lima menit, apalagi pakai motor.

Aku menekuri ujung sepatu yang memainkan kerikil di bawahnya, saat sepatu lain berhenti tepat di depan sepatuku. Itu sepatu....

"Sedang apa lu, disini?" suara itu terdengar sinis.

Aku mendongak. Terlihat wajah Prisa yang kesal menahan marah. Aku membuang muka.

"Ayo, pulang!" ajaknya tegas seraya menarik tanganku. Namun aku langsung menepisnya cepat.

"Ayo pulang, Al, ngapain lu disini kayak orang bego?" ajak Prisa lagi dengan suara agak keras.

Aku menatapnya nyalang.

"Ya, sudah, sana kalau mau pulang. Kenapa juga ngurusin gue?” timpalku sengit.

"Heh, dengar ya. Lu mau nungguin Dimas sampai besok juga dia tidak akan balik kesini, tahu tidak?" sentaknya lagi sambil menunjuk mukaku.

"Lu, ngomong apa sih, Pris? Sudah, tidak usah ngurusin gue, kalau mau pulang, pulang saja. Gue masih nungguin Dimas!" jawabku ketus.

"Al, lu bodoh banget sih. Sudah gue bilang Dimas tidak bakal balik kesini. Dia datang bukan mau jemput lu, tapi...."

"Tapi apa?" potongku cepat.

"Sudahlah, percaya sama gue, dia tidak akan balik kesini. Tadi gue ketemu dia di sana, dia sudah pulang," katanya dengan suara melemah. Tangan Prisa menarik tanganku lagi, tetapi cepat kutepis lagi.

"Al, mau sampai kapan lu nungguin dia? Kalau lu tidak percaya, coba telpon dia!"

Aku menatap Prisa sekilas yang masih menatapku tajam. Namun, tak urung tangan merogoh ponsel dalam tas.

Aku mengutak-atiknya sebentar mencari nama Dimas. Setelah ketemu, kucoba menghubunginya.

Tut .... beberapa kali aku coba menghubunginya, tetapi tak terhubung, malah suara operator yang menjawab.

Mungkin paket datanya tidak aktif. Kucoba lagi meneleponnya dengan pulsa, tetapi nihil. Nomornya tetap tidak aktif. Hatiku mendadak resah. Benarkah yang dikatakan Prisa? Dimas tidak akan kembali?

"Sudah, ayo pulang. Nanti ibu khawatir!" ajak Prisa lagi lembut. Namun, aku menggeleng dan melepaskan tangannya.

"Duluan saja, Pris. Nanti gue naik ojek saja!" tolakku halus. Aku duduk lagi di tembokan tadi dengan hati resah.

Prisa sepertinya menyerah, dia akhirnya berjalan menuju mobil Om Pandu yang sedari tadi terparkir di pinggir jalan, dengan langkah gontai.

Aku tidak peduli, aku masih akan menunggu Dimas, dan yakin dia akan kembali menjemput ke sini. Dia kan, selalu bilang sangat menyayangiku. Tidak mungkin meninggalkanku sendiri.

Tiba-tiba sebuah tangan mencekal pergelangan tanganku, lalu menggeret dengan paksa menuju mobil. Ternyata Prisa tadi tidak jadi masuk mobil dan malah kembali ke tempatku duduk.

Dan di sini kami sekarang. Duduk bersisian di bangku belakang mobil Om Pandu.

Aku masih meringis memegangi pergelangan tangan yang memerah karena cekalan Prisa. Om Pandu mulai menjalankan mobilnya dengan perlahan. Tak ada yang bicara di antara kami.

Aku masih kesal dengan Prisa, seenaknya saja dia main paksa. Namun, aku juga malu kalau harus bertengkar di depan papanya.

Lebih baik aku menghubungi lagi Dimas, siapa tahu sekarang nomornya aktif. Namun, sudah puluhan kali aku mencoba, hasilnya tetap sama. Nomornya tetap tidak aktif. Ke mana Dimas, kenapa dia tega meninggalkan aku? Berbagai prasangka melintas seketika.

Aku menghela napas dalam setelah lelah menghubungi, serta mengirim pesan kepadanya. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

Aku mengangkat wajah lalu menatap ke depan. Kulirik spion depan di atas kepala Om Pandu. Ternyata lelaki itu juga tengah melirikku lewat bayangannya di kaca. Pandangan kami bertemu. Dia menatapku dalam. Aku melengos, melempar pandangan ke luar jendela.

Perjalanan ke rumah jadi terasa lama, karena tak ada yang berbincang di antara kami.

Aku sibuk memikirkan Dimas. Sementara Prisa pasti kesal karena aku tidak menurutinya. Lalu Om Pandu? Entahlah, apa yang dia pikirkan. Aku juga tidak peduli.

Akhirnya, walaupun berasa lama, kami sampai juga di depan rumahku. Aku segera membuka pintu tanpa mengatakan apa-apa. Namun sial, Om Pandu belum membuka kuncinya, sepertinya dia sengaja.

"Maaf Om, boleh buka kuncinya?" pintaku akhirnya mengeluarkan suara setelah sekian lama kami berdiam-diaman.

"Boleh, tapi ada syaratnya," jawabnya, matanya tak lepas menatapku lewat spion.

Aku mendengkus kasar.

"Dari tadi juga aku tidak mau ikut. Siapa yang maksa?" ucapku ketus.

Tak ada yang menjawab baik Prisa maupun Om Pandu. Akhirnya Om Pandu mengalah, dia membuka kunci otomatis.

Aku segera membuka pintu dan turun, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Suasana hati yang buruk membuatku seperti gadis tak beretika.

Aku langsung menuju teras tanpa larak-lirik lagi.

"Al, tunggu!” Terdengar Om Pandu menyusulku turun, lalu mengejar. Namun, aku tidak peduli, terus berlari menuju pintu tanpa menoleh ke arahnya.

Langkahku hampir mencapai pintu saat tangan ini terasa dicekal seseorang, lalu ditarik cukup keras hingga tubuhku oleng dan menabrak sesuatu.

Mataku terbelalak, saat sadar tubuh bagian depan kami saling menempel dengan wajah yang berdekatan.

Aku segera menguasai diri, lalu mendorong tubuh Om Pandu dengan keras.

"Apa-apaan sih, Om?" hardikku melotot.

Sebenarnya aku berharap Dimas yang melakukan ini. Dia yang mengerjarku, menahanku dan meminta maaf. Namun ini? Kenapa malah Om Pandu si duda meresahkan itu yang melakukan? Bukankah dia tidak salah.

"Maaf," ucapnya dengan wajah menyesal.

Tuh, kan dia minta maaf. Kenapa dia sih, kenapa bukan Dimas?

"Om, mau apa sebenarnya?" tanyaku lagi masih dengan intonasi ketus.

"Mau melamar kamu," jawabnya cepat dengan mimik serius.

"Apa?" sentakku dengan mata membulat.

"Besok kamu siap-siap. Om mau meminta kamu kepada orang tuamu," lanjutnya lagi dengan pasti tanpa ada keraguan. Tanpa ada gurat bercanda.

Tiba-tiba saja serasa ada sesuatu yang jatuh di atas kepala ini. Pusing. Tubuhku lemas. Tungkai gemetar, dan aku oleng, hampir terjengkang kalau Om Pandu tidak menangkap tubuh ini.

"Al, jangan pura-pura pingsan lagi, dong. Masa kita harus gendong-gendongan lagi? Kita kan, belum sah." Suara Om Pandu terdengar khawatir.

Aku ingin marah mendengar kalimat duda meresahkan itu. Ingin marah semarah-marahnya. Sejadi-jadinya. Namun, tubuh sudah lemas, tenaga bahkan sudah tidak bisa menopang tubuhku.

"Suer Om, aku mau pingsan betulan...." ucapku lemah sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah dengan lemah juga. Lalu setelah itu gelap, hitam, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel