Bab 3 Ternoda lagi
Bab 3
Sudah dua hari sejak insiden memalukan di rumah makan itu, pinggangku sudah lebih baik. Tentu setelah dipijat.
Aku pikir hanya rasa malu yang didapat. Ternyata, malu dan sakitnya berbanding. Aku sampai harus ke tukang pijat.
Walaupun pura-pura pingsan, aku tahu saat itu Om Pandu sangat khawatir. Dia membopongku ke mobil. Ayah dan anak itu berencana membawaku ke dokter. Saat itulah sandiwara terbongkar. Aku langsung bangun dan menolak, walaupun pinggang sakit.
Jarum suntik adalah benda yang paling tak ingin kulihat di dunia. Tentu saja aku menolak saat Prisa dan Om Pandu mau membawa ke dokter. Aku mengancam akan loncat dari mobil kalau mereka tetap memaksa membawa ke sana.
Drama apa lagi ini? Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
Saat itu rasa malu entah ke mana. Aku tak peduli mereka akhirnya tahu kalau aku hanya berpura-pura pingsan. Asal tak bertemu dokter dan jarum suntik.
Akhirnya, mereka mengantarku pulang. Ibu yang kaget melihatku dipapah, hampir pingsan kalau saja aku tidak pura-pura tegar menahan sakit di pinggang. Ah, hidupku rasanya penuh kepura-puraan.
Mungkin ini karma, gara-gara aku pura-pura pingsan, ibu nyaris pingsan juga melihat keadaan anak gadisnya yang cantik, tetapi takut jarum suntik.
Narsis? Mungkin.
Selama itu aku tidak keluar rumah, dan selama itu juga Prisa selalu bolak-balik menjenguk. Padahal aku tidak menyalahkan dia dan papanya. Namanya kecelakaan, siapa yang tahu?
Entahlah, Prisa mendadak jadi sangat baik. Walaupun dari dulu juga baik, sih. Kalau dulu dia datang membawa oleh-oleh untuk ibu, sekarang dia selalu membawakan makanan kesukaanku. Dia bilang buat calon ibu. Apa maksudnya?
Seperti sore ini, suaranya sudah terdengar lagi mengucap salam dengan riang. Seperti biasa pula, dengan lancangnya dia langsung masuk tanpa menunggu dipersilahkan. Itu sudah biasa dilakukannya sejak lama karena dia sudah menganggap kami keluarganya.
Ada yang berbeda dengan kedatangannya hari ini. Dia tidak sendiri. Aku mendengar ada suara orang lain di depan.
Ya Tuhan ... dia mengajak papanya kali ini. Aku buru-buru ke depan saat kudengar ibu mempersilahkan Om Pandu masuk.
"Stop Om, jangan masuk rumahku!" seruku dengan terengah karena berlari dari kamar. Tanganku terangkat pertanda aku menahannya.
Ibu, Om Pandu, serta Prisa menatapku heran.
"Kenapa, Neng. Kok tamunya tidak boleh masuk? Tidak sopan, loh," tanya ibu dengan raut wajah kurang suka atas sikapku.
"Maaf, Bu. Tapi Alvi sudah bersumpah dengan diri sendiri. Tidak boleh ada laki-laki asing masuk ke rumah ini kecuali calon suamiku nanti," jelasku yakin.
Mereka bertiga terperangah mendengar penjelasanku.
"Sekali lagi, maaf. Alvi harap kalian menghormati keputusan ini. Termasuk ibu sama ayah. Itulah sebabnya selama ini kalau ada pacar Alvi datang pun, tidak pernah diajak masuk. Itu sudah keputusan Alvi. Ingat, cuma laki-laki yang akan jadi suamiku nanti yang boleh masuk!" lanjutku tegas.
Ibu tampak mengangguk-angguk walaupun tersirat rasa tak enak hati kepada Om Pandu. Sementara ayah dari sahabatku itu malah mengulum senyum tidak jelas.
Dasar meresahkan! Aku berdecak sebal.
"Maaf, Pak Pandu, anak saya memang suka aneh-aneh, mungkin karena waktu lahirnya sungsang, jadi organ kepalanya ada yang geser sedikit. Silakan duduk di teras saja, ya. Tidak apa-apa, kan?" ujar ibu akhirnya dengan raut wajah masih tidak enak hati.
Aku memutar bola mata. Apa-apaan Ibu? Sungsang dibawa-bawa.
Aku berdecak sebal, lalu hendak berlalu ke dalam, tetapi ibu mencekal tangan ini.
"Al, tolong buatkan Pak Pandu minum!" perintahnya tegas.
"Tidak mau! Ibu saja yang buat!” tolakku mentah-mentah.
"Tidak sopan kamu. Pak Pandu itu tamu, kalau ayah tahu, kamu bisa dimarahi," ucap ibu lagi setengah marah, tetapi setengah berbisik pula takut terdengar tamu, mungkin.
Prisa yang dari tadi duduk manis di sofa ruang tengah hanya senyum-senyum tidak jelas melihat ibu memarahiku.
Dasar anak aneh, bukannya menemani bapaknya di depan, malah asyik nonton TV.
Dengan malas aku ke dapur membuatkan teh hangat untuk Om Pandu. Bagaimanapun, titah ibu tak bisa dibantah. Aku juga tidak pernah berniat melawan wanita yang sangat kuhormati itu.
Kumasukkan perasan lemon yang banyak ke minuman Om Pandu. Kecut-kecut, deh. Maksudku agar dia kapok datang kesini.
"Pris, ini berikan sama Papamu!" Aku menyodorkan nampan berisi minuman untuk Om Pandu kepada Prisa.
"Tuan rumahnya siapa? Masa tamu harus mengantar minuman?" jawab Prisa tanpa menoleh.
Aku mengentakkan kaki ke lantai tanda kesal. Prisa menyebalkan.
"Tapi ini buat papa, lu."
"Ibu...." Prisa malah berteriak hendak mengadu kepada ibu. Aku buru-buru melotot ke arahnya. Dasar pengaduan! Lalu dengan berat hati aku mengantarkan minuman itu ke depan.
Om Pandu duduk di kursi rotan di teras, ibu menemaninya ngobrol berbatas meja karena ayah belum pulang kerja.
Aku menarik napas panjang dulu sebelum keluar. Om duda itu langsung tersenyum manis saat melihatku muncul di pintu. Padahal tadinya aku mau mundur lagi, tetapi sudah terlanjur dia melihat.
Aku perlahan melangkah menuju meja, diiringi tatapan Om Pandu yang tak lepas memandang diri ini.
Duh, panas dingin itu menyerangku lagi. Kenapa selalu seperti ini tiap kali berdekatan dengan dia, sih? Benar-benar meresahkan.
Kini tanganku yang memegang baki malah gemetar, padahal meja pemisah antara ibu dan Om Pandu, semakin dekat.
Ya, siapa juga yang tidak gemetar ditatap terus seperti itu? Lihatlah, bahkan bibirnya terus menyunggingkan senyum manis. Kalau terus begini lama-lama aku bisa pingsan lagi gara-gara kebanyakan pemanis buatan Om Duda.
Meja sudah semakin dekat, dan tanganku juga semakin gemetar. Aku merasa seperti seorang pesakitan yang berjalan di depan hakim dan jaksa di pengadilan.
Dua pasang mata itu terus menatapku tak berkedip, bila ibu menatapku keheranan karena grogi, sedangkan Om Pandu menatapku karena ... ah, entahlah. Pokoknya meresahkan.
Akhirnya, aku tiba di depan meja, dan kupikir sudah meletakkan nampan dengan benar di sana. Namun, ternyata, tidak. Karena tangan yang gemetar dan pandangan yang tidak fokus, nampan yang kusimpan miring, tidak tepat di atas meja. Alhasil, gelas yang kubawa oleng, dan sukses menumpahkan isinya yang masih lumayan panas itu ke dada Om Pandu.
Om Pandu terjengkit kaget, juga pasti karena dadanya panas tersiram teh yang kubawa. Terlihat dari wajahnya yang memerah.
Mataku terbelalak.
Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Aku yang panik dan kaget, refleks menghampirinya dan langsung mengusap-usap dadanya dengan ujung bajuku.
"Ma-af Om ... ma-af, Alvi tidak sengaja," ucapku panik dan takut. Takut dia marah karena ketidaksengajaanku ini.
"Alvina ... apa yang kamu lakukan, Nak? Kamu ceroboh sekali. Kenapa kamu tidak hati-hati? Lihat, Pak Pandu kepanasan, kasian dia, kamu kayak anak kecil saja...." Omelan ibu langsung saja berhamburan dari mulutnya seperti petasan di pesta pernikahan menyambut pengantin Betawi. Wanita yang cerewetnya menurun padaku itu terlihat tak enak hati kepada Om Pandu.
Mendengar omelan ibu, aku tambah panik. Aku semakin menggosok-gosok dada Om Pandu dengan keras, hingga lelaki itu mengaduh.
"Cepat ajak Pak Pandu ke kamar mandi. Nanti ibu carikan baju Ayah buat ganti. Mudah-mudahan ada yang kecil yang pas di badan Pak Pandu. Baju Ayah kan, jumbo semua," lanjut ibu lagi seraya memukul tanganku yang masih saja menggosok dada Om Pandu.
"I-iya Bu. Ayo Om, aku antar ke kamar mandi dulu, nanti pinjam baju Ayah buat ganti," ucapku masih panik mengajak Om Pandu ke dalam.
Aku menunjukkan letak kamar mandi ke Om Pandu. Prisa yang masih duduk di ruang TV hanya memandang kami dengan heran, tetapi tak lama gadis itu tersenyum ke arah papanya.
Kenapa anak itu? Papanya kena musibah bukannya kasian malah senyum-senyum lalu mengacungkan dua jempolnya.
Dasar aneh! Ah, sudahlah kasian Om Pandu. Aku segera menyusul ibu ke kamarnya.
Aku segera membawa baju ayah yang sudah ibu pilihkan. Sebuah kemeja batik lengan panjang berwarna coklat bermotif bunga.
Apa Om Pandu mau pakai, ya? Ini kan, kelihatan tua banget, sedangkan dia selalu terlihat rapi dan klimis dengan kemeja pas badan yang menonjolkan otot-otot hasil olahraga teraturnya.
Ah, masa bodo! Daripada dia kedinginan, kan?
Aku menuju kamar mandi dengan membawa baju ayah yang akan kupinjamkan ke Om Pandu, hingga sampai di depan pintu.
"Aaahhh...." Aku berteriak sangat keras, lalu menyandarkan punggung di tembok depan kamar mandi sambil menutup mata.
Kenapa sih, Om Pandu tidak menutup pintu kamar mandi? Mataku kan, jadi ternoda lagi. Arghhh....
Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu memegang dada yang mendadak isinya kelojotan karena melihat Om Pandu bertelanjang dada lagi.
"Mana bajunya, Al?" kepala Om Pandu muncul di pintu kamar mandi.
Aku menyodorkan baju itu dari jarak jauh, dengan punggung masih menempel di tembok dan mata masih terpejam. Setelah dirasa baju berpindah tangan, baru aku berani membuka mata.
Ya Tuhan, mataku, otakku, kamu ternoda lagi.
Aku memegang mata dan kepala bergantian, lalu mengacak rambut frustrasi.
"Kenapa, Al?" tiba-tiba Om Pandu sudah berdiri di depanku dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kanannya menempel di tembok tepat di sisi kepalaku. Matanya menatap tajam tepat di manik mataku. Wajahnya sangat dekat.
Ya Tuhan, mau apa dia? Apa bibirku juga mau mengikuti jejak mataku yang sudah tak perawan?
Wajahnya semakin mendekat hingga hanya berjarak beberapa inci. Aku memalingkan wajah ke samping sambil memejamkan mata.
"Om, tidak mau tahu ya, kamu harus bertanggung jawab. Sudah dua kali kedudaan Om ternoda sama kamu," ucapnya setengah berbisik di depan telingaku, hingga embusan napasnya terasa hangat di permukaan kulit.
Aku menelan saliva dengan susah payah. Seluruh tubuh terasa meremang.
"Dan, Om mau menagih janjimu."
"Janji apa, Om?" tanyaku parau memberanikan diri, tetap dengan mata terpejam tetapi sedikit mengintip.
"Janji, kalau hanya lelaki yang akan menjadi suamimu yang boleh masuk rumah ini," ujarnya disertai seringaian aneh. "Ingat! Ibu dan Prisa saksinya."
Aku terbelalak hebat. Teringat janjiku tadi, yang kuucapkan dengan penuh keyakinan.
"Eit, jangan pura-pura pingsan lagi, apalagi pura-pura amnesia. Karena kami tidak akan percaya lagi," lanjutnya masih setengah berbisik.
Aku masih terbelalak mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Hingga....
"Pris, ayo pulang...." teriaknya memanggil prisa. Akan tetapi matanya masih menatapku dengan seringaian penuh kemenangan.
Menyebalkan!