Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Lamaran

Bab 5

Di sini kami sekarang. Berlima duduk di ruang tamu dengan suasana canggung.

Apakah ini yang di sebut lamaran oleh Om Pandu?

Entahlah, yang pasti dia datang hanya berdua dengan Prisa, dengan pakaian sedikit formal dan membawa banyak parsel.

Lalu aku?

Biasa aja. Tidak ada persiapan spesial. Bahkan terkesan seadanya. Berdandan dan berpakaian biasa seolah tidak ada acara khusus. Hanya ibu yang agak berlebihan, masak banyak dan spesial sekali hari ini. Entah siapa yang memberitahu ibu, Prisa atau Om Pandu, aku tidak peduli. Karena yang pasti bukan dariku ibu tahu.

Aku menatap Om Pandu yang datang dengan semringah hari ini. Wajah tampannya lebih terlihat bercahaya. Duda meresahkan itu memakai atasan kemeja berbahan semi sutra berwarna abu-abu. Ada aksen senada kain yang digunakan Prisa si sepanjang penutup kancing, juga di ujung lengannya. Lalu Prisa menggunakan pakaian formal yang senada.

Apa nanti kalau jadi istri Om Pandu aku juga akan menggunakan baju yang senada begitu, ya?

Hais, siapa juga yang mau jadi istrinya. Orang dari kemarin aku selalu putar otak mencari seribu alasan untuk menolak lamarannya.

Maaf Om, maaf Prisa, tetapi aku belum mau menikah dalam waktu dekat. Apalagi nikahnya dengan duda meresahkan.

Aku kan, punya pacar, Dimas.

Oh ya, ngomong-ngomong Dimas, sampai saat ini aku belum juga bisa menghubunginya. Entah ke mana dia. Aku berbaik sangka saja, HP-nya mungkin rusak.

Sebenarnya Om Pandu dan Dimas itu banyak persamaan, Sama-sama ganteng, sama-sama menarik sebagai seorang lelaki. Hanya satu perbedaannya. Umur. Dimas seusiaku, masih dua puluh satu tahun, sedangkan Om Pandu? Ah, dia sudah tua. Itu menurutku. Sudah empat puluh tahun.

Walau kuakui dia yang sudah kepala empat itu, masih terlihat muda, bugar, keren. Tak akan ada yang mengira dia setua itu. Orang-orang mengira dia masih tiga puluh limaan. Maka pantaslah banyak wanita terpesona dan bermimpi memiliki lelaki matang itu.

Termasuk aku?

Dih, tidaklah! Aku tidak mau menikah dengan duda. Pokoknya tidak! Titik. Aku masih muda, tidak mau terkungkung dalam dekapan duda meresahkan seperti dia. Walaupun sebenarnya cita-citaku menikah di usia muda. Ya, tetapi bukan dengan duda pokoknya.

"Jadi, bagaimana jawabanmu, Neng?" pertanyaan Ayah membuyarkan lamunan panjangku. Aku gelagapan sendiri, apalagi semua mata tertuju pada diri ini.

Sepertinya sedari tadi mereka sudah terlibat obrolan yang hangat tetapi serius. Akan tetapi karena aku yang tidak fokus, jadi bingung sendiri.

"Neng," panggil ayah lagi, melihatku masih bengong.

"I-iya, bagai-mana, Yah?" tanyaku balik seperti orang linglung.

Ayah geleng-geleng kepala. Ibu terlihat kesal. Sementara Om Pandu dan Prisa? Ah, mereka malah senyum-senyum tidak jelas. Menyebalkan.

"Kamu ini bagaimana, Neng. Dari tadi diajak ngobrol, kok malah terus lihatin Pak Pandu. Sepertinya kamu sudah kebelet ya, mau dihalalin?" ucap Ayah masih geleng-geleng kepala.

Ayah bilang apa?

Aku mendelik. Mereka semua tertawa, seolah aku ini sesuatu yang lucu.

"Pak Pandu sudah minta izin pada kami untuk meminangmu. Ibu dan Ayah tidak bisa memutuskan sendiri. Keputusan tetap kami serahkan pada kamu, Neng. Karena kamu yang akan menjalani. Bagaimana?" papar Ayah dengan lembut tetapi tegas seperti biasa.

Aku menatap mereka semua bergantian. Kemudian menarik napas panjang sebelum berbicara.

"Maaf sebelumnya, Ayah, Ibu, Om Pandu, Prisa ... maaf Alvi tidak bisa menerima lamaran ini ...." akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulutku.

Hening.

Tak ada yang bicara. Semua mata masih menatapku, tapi kali ini dengan sorot kecewa, terlebih Prisa.

"Maaf," ucapku lagi lemah sambil menunduk.

"Tapi kenapa, Neng? Berikan kami alasan," Ayah menatap sendu.

"Karena Alvi belum mau menikah, Yah!"

"Lho, bukannya kamu selalu bilang mau nikah muda. Iya kan, Bu?" tanya Ayah lagi sambil melirik ibu. Yang di lirik hanya menjawab dengan anggukan pasti.

"Iya, memang. Tapi bukan sama duda," jawabku lagi ketus. Namun langsung buru-buru kubekap mulut ini, takut menyinggung perasaan Om Pandu.

"Memangnya kenapa kalau duda?" tanya Ayah lagi sambil mengernyit. "Bukankah tidak ada aturan pemerintah yang melarang duda menikahi perawan? Dalam agama juga tidak ada larangan. Jadi masalahnya di mana?”

"Masalahnya ... Alvi tidak cinta sama Om Pandu, Yah!" jawabku lagi dengan mencondongkan kepala ke arah ayah.

Ayah menghembus napas kasar.

"Tidak cinta kok, dari tadi dipandangi terus. Tidak berkedip malah," cibir ibu, terdengar kesal dalam nada bicaranya.

Aku melotot. Namun, kemudian buru-buru menunduk. Wajahku terasa panas, dan yakin sudah memerah.

Apa iya aku memandang terus Om Pandu dari tadi? Masa, sih? Ah, tidak mungkin. Aku menggeleng.

"Kumat lagi penyakit anehnya," gerutu ibu lagi saat melihatku geleng-geleng sendiri.

"Sudah, Yah. Kita langsung tentukan saja tanggal pernikahannya, biar anak kita tidak aneh-aneh lagi kalau sudah menikah," ucapan ibu membuatku membulatkan mata. Aku menggoyang-goyangkan tangan ke arah ibu, sebagai tanda keberatan.

"Lho, apa-apaan Ibu ini. Alvi kan, belum bilang bersedia," sergahku cepat.

"Terus, mau kapan bilang bersedianya?" Ibu melotot.

"Alvi kan, masih kuliah, Bu!" Aku memasang wajah memelas.

"Dari tadi kan, kita membicarakan itu, Neng. Dan Pak Pandu tidak keberatan, kamu melanjutkan kuliah seandainya pun kamu menjadi istrinya. Kamu sih, dari tadi mandangin dia terus, jadi terhipnotis kan?" Ibu mencebik lagi.

Ya ampun Ibu, kok tega ya, wanita yang sangat kuhormati itu menjatuhkan harga diri anaknya sendiri di depan orang ganteng. Ups!

"Ayah, Ibu ... tolong jangan memaksa, Alvi kan masih kecil." Aku memelas.

"Apanya yang masih kecil, Neng. Bapak malah sudah tidak kuat menggendong kamu!”

"Iya, apanya yang kecil. Orang kemaren kamu pinjam BH Ibu, karena punya kamu kotor semua. Gara-gara malas nyuci. Itu tandanya kamu sudah segede ibu!"

Hah?

Ibuuu ... Arghhh ...

Aku berteriak dalam hati. Malu. Semalu-malunya. Rasanya ingin pura-pura pingsan lagi. Namun rasanya percuma, tidak akan ada yang mempercayaiku lagi.

Seandainya bisa, aku mau jadi semut saja biar bisa menggali lubang di tanah dan tidak keluar-keluar lagi selamanya. Eh, tetapi di dalam tanah terus, apa nanti aku tidak takut cacing dan kegelapan ya? Ah pusing. Malu juga!

"Alvi kan, punya pacar, Yah. Terus bagaimana sama Dimas. Ayah kan, juga kenal Dimas.” Aku masih beralasan.

Semua mata kini menatapku tajam. Terlebih Prisa. Namun, aku tidak peduli. Itu kenyataannya, aku punya pacar dan belum ada kata putus di antara kami.

"Ayah hanya menerima lelaki yang datang langsung dan memintamu dengan serius pada Ayah," ucap ayah akhirnya, setelah beliau menarik napas dalam beberapa kali. "Ayah tidak akan memberikan anak gadis yang kami sayangi pada laki-laki yang tidak punya pendirian," pungkasnya.

"Maksud ayah Dimas tidak punya pendirian? Itu karena dia masih muda, Yah. Beda sama Om Pandu yang sudah tua!"

Aku refleks menutup mulut sendiri, saat semua mata melotot ke arahku. Mereka menatap tajam, membuat diri ini sangat terintimidasi.

Aku menunduk. Kesal. Semua gara-gara Om Pandu. Dia bukan saja meresahkan, bahkan sudah membuat Ayah dan Ibu berpihak seratus persen kepadanya, mereka jadi semarah itu padaku.

"Maksudku sudah matang ...." ralatku lemah sambil menunduk.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel