Bab 9 Perjanjian dengan Karen
Bab 9 Perjanjian dengan Karen
Saat tubuhku telah menempel padanya, aku menjulurkan tanganku ke samping tubuhnya. Ku pandangi wajahnya, ia tampak gugup. Hal ini sangat jelas terlihat karena berulang kali ia memalingkan wajahnya.
“Kenapa? Kau gugup?” ujarku seraya menatapnya dalam. wajahku dan wajahnya sangat dekat hampir tak ada jarak. Dari jarak sedekat ini, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang memburu. Ia hanya diam dan menunduk dalam-dalam.
“Sebutkan keuntungan apa yang aku dapat jika aku mengijinkanmu tinggal di sini?” tanyaku dengan suara serakku.
“Mundur, aku akan menjawabnya,” ucapnya berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Jika aku tak mundur apa yang akan kau lakukan?” tantangku.
Ia tersenyum sinis, mendorong tubuhku. Aku sengaja tak mengeluarkan segala tenagaku, sehingga dengan mudah ia berbalik menyerangku.
“Pertama, aku akan menjaga rumahmu,” ucapnya seraya melangkah maju dan memaksaku untuk mundur.
“Kedua, aku akan menyiapkan makanan untukmu dan.... aku.”
“Ketiga, aku akan membantumu membersihkan rumah ini,” lanjutnya, aku hanya diam dan mengikuti permainannya.
“Keempat....” ia menjeda ucapannya. Cukup lama ia terdiam membuatku di rundung rasa penasaran.
“Keempat? Tak ada keempat. Cukup tiga keuntungan yang kau dapat,” ujarnya mengakhiri langkahnya dan berbalik menuju kompor.
“Hanya tiga?” tanyaku, ia berbalik menatapku dan menunduk yakin. “Kau yakin tak ada keuntungan keempat untukku?” tanyaku seraya menyesap secangkir kopi yang sudah tak panas lagi. Aku telah kembali duduk di bangkuku dan mengamati pergerakkan tubuhnya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan yang terlalu siang.
“Hanya tiga. Tidak lebih. Kecuali dalam keadaan mendesak,” ujarnya seraya memasukkan potongan sayur ke dalam panci.
“Pilihlah kamarmu. Tapi....” ujarku menggantung, ia menoleh menatapku penasaran.
“Kau tak boleh mengunjungi ruangan kerjaku.” Aku kembali menikmati kopi hitam yang sangat menenangkan pikiran.
Ia menatapku hendak memprotes. “Bagaimana bisa aku membersihkan rumahmu jika kau tak mengijinkan aku mendatangi ruangan kerjamu?” tanyanya bingung.
“Bukankah bagian rumah ini sangat banyak. Kau hanya perlu menghindari area belakang rumah ini. Kau tak usah membersihkannya. Tidak ada protes. Kalau kau mau terimalah kalau kau tak mau aku tak masalah.” Ia menatapku bingung, namun tak urung ia diam dan mengangguk setuju.
“Memangnya ada apa dengan ruanganmu?” ucapnya lirih, namun masih terdengar di indera pendengaranku.
“Ah kau menyimpan seorang wanita ya di sana? Makanya kau tak mengijinkanku untuk datang ke sana, karena kau takut ketahuan,” tebaknya seraya mengacungkan pisau yang ia genggam.
“Turunkan pisaumu,” peringatku, ia hanya tersenyum dan kembali memunggungiku.
Aku melihat tangannya sangat lihai bermain-main dengan berbagai bumbu.
“Kau jangan terlalu lama memandangiku, aku tak mau kau jatuh ke dalam pesonaku,” ingatnya tanpa menatapku.
Aku mengabaikan ucapannya, sudah cukup perdebatan ini. Aku tak mau menghabiskan pikiran dan tenagaku hanya untuk meladeninya. Aku bangkit dari kursiku.
“Kau mau ke mana?” tanyanya tanpa perlu menoleh menatapku.
“Ruangan kerja, panggil aku jika masakanmu telah siap,” titahku.
“Bukankah kau sendiri yang melarangku mendatangi ruang kerjamu, mengapa sekarang kau menyuruhku memanggilmu?” ucapnya polos.
“Kukira selain gila tak ada lagi sifat buruk di dirimu.” Ia berbalik menatapku yang telah berdiri di ambang pintu dapur.
“Apa maksudmu?” tanyanya kesal.
“Kau bisa menggunakan telepon rumah ini untuk memanggilku,” ucapku mengabaikan kekesalannya. “Kurasa Tuhan menciptakan otak manusia bukannya tanpa alasan.” Aku berlalu meninggalkan yang tengah menggerutu.
“Setelah mayat aneh kini wanita aneh juga tinggal di sini. Lama-lama aku juga menjadi aneh dibuatnya,” ujarku seraya menyalakan layar monitor komputerku.
Aku mulai mengamati artikel yang ku temukan pagi tadi dengan foto dan data diri komunitas pecandu. Mataku terasa lelah membaca deretan huruf yang berjajar membentuk kata-kata yang sulit ku pahami. “Apa aku harus menghubungi Danish lagi?” tanyaku entah pada siapa.
“Mengapa mencari penyebab kematian seorang mayat saja seperti tengah menyelami hati seorang wanita,” gerutuku kesal. “Kenapa aku jadi memikirkan wanita? Sepertinya ada yang salah dengan otakku,” ujarku seraya memukul pelan kepalaku.
“Kepalamu akan rusak, jika kau terus menerus memukulnya,” ujar Karen yang berdiri di ambang pintu ruang kerjaku. Aku menoleh dan menatapnya geram.
“Kau!!!” geramku, ia hanya menaikkan alisnya sebagai respon.
“Kenapa?” Ia menatapku tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Aku mencoba menahan kekesalanku. Aku bangkit dan berjalan melewatinya.
“Kau lupa peringatanku beberapa jam lalu?” ucapku memandangnya malas.
“Aku ingat.”
“Lantas mengapa kau melanggarnya?” tanyaku tegas.
Ia memandangku dengan wajah polosnya. Sungguh tak cocok dengan usianya, Karen merupakan seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda dari Medina. Yang itu artinya usianya denganku hanya terpaut 4 tahun. Jika mengingat usianya sangat tak pantas jika ia menggunakan ekspresi wajah polos.
“Kau tidak memberiku nomor ponsel atau nomor kantormu. Jadi, bagaimana bisa aku menghubungimu?” jelasnya santai.
Benar juga apa yang ia ucapkan. Sebenarnya ini memang salahku, tapi karena gengsiku jauh lebih besar aku tetap akan menyalahkannya.
“Mengapa kau tak minta padaku?” ucapku masih berusaha menyalahkannya.
“Bagaimana caranya aku menanyakan nomormu? Mengunjungimu di ruang kerja? Atau menerobos masuk? Atau aku membongkar seisi rumah agar mendapatkan nomormu?” tanyanya membalikkan semua pertanyaanku.
Aku mengalah, berdebat dengannya tak akan ada habisnya. Ia selalu memiliki seribu kata untuk menyanggah ucapanku.
“Mengapa kau diam? Kau sependapat dengan pertanyaanku?” ujarnya dengan nada menyebalkan.
Aku mengabaikan pertanyaannya, aku berjalan mendahuluinya. Di sepanjang perjalanan menuju ruang makan, Karen hanya diam dan mengikuti langkahku. Jarak antara ruangan kerjaku dengan ruang makan memang tak terlalu jauh. Ada sebuah taman dengan ukuran 5x5 meter yang menjadi pembatas antara ruang kerjaku dengan ruang makan.
Begitu banyak makanan yang tersaji. Kali ini aku tak terlalu banyak berkomentar, karena aku telah tahu keahliannya dalam mengolah bahan makanan. Aku dan Karen menikmati sarapan kami dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang saling beradu satu sama lain.
Aku menyudahi sarapan pagiku. “Aku akan mencarikanmu tempat tinggal baru,” ujarku seraya beranjak dari kursi.
“Kau bahkan tak iba denganku? Jika hanya untuk tinggal aku bisa mendapatkan, tapi untuk makan sehari-hari itu akan sangat menyiksaku Frank,” ujarnya dengan nada penuh kesedihan.
“Kau tahu ini adalah kali pertama aku makan layak. Ahh salah kali kedua. Pertama semalam dan kedua pagi ini, lebih tepatnya ini sarapan menjelang siang, bukan?” jelasnya mencoba tetap tegar walau aku tahu ia sangat membutuhkan bantuanku.
“Untuk apa kau membeli martil dan gergaji tempo hari?” tanyaku, sungguh aku masih sangat penasaran dengan tujuannya membeli dua buah benda yang menurutku tak wajar.
“Kalau memang kau tak mengizinkan, aku akan segera keluar dari rumah ini,” ujarnya lalu bangkit dari kursi makanku.
Ia melepas celemeknya, dan menggantungnya di tempat semula. Tak lupa ia merapikan peralatan dapur yang tadi ia gunakan untuk menyiapkan makanan ini.
Sejatinya aku merasa iba akan nasibnya, melihat keadaannya sekarang mengingatkanku pada kisahku dulu sebelum bertemu dengan Pak Bram. Terluntang-lantung tak tahu harus ke mana. Mencari pekerjaan di tengah wabah begini sangatlah sulit. Jangankan mencari pekerjaan, mempertahankan perkerjaan yang telah kita miliki saja agaknya terasa sulit apalagi harus mencari sebuah pekerjaan baru.
Aku menimbang-nimbang baik buruknya setelah yakin pada keputusanku. Aku menatapnya dan berucap, “Tunggu.”
Ia berbalik dan berjalan kearahku dengan senyum yang mengembang.
“Itu tadi memalukan Frank,” ujarnya seraya menatapku kesal.
“Keuntungan keempat? Apa aku bisa mendapat keuntungan keempat?” tanyaku seraya menatapnya.
“Jika tidak berkaitan dengan fisik, aku akan memberimu keuntungan keempat,” ucapnya final. Sepertinya ia benar-benar putus asa dengan hidupnya.
“Oke! Aku akan memberitahumu nanti,” ujarku memberinya rasa penasaran terlebih dahulu. Ia hendak protes dengan ucapanku.
“Diamlah!” cegahku sebelum ia sempat melayangkan protes. Ia bersungut seraya menatap kepergianku.
Aku kembali ke ruangan kerjaku, membiarkan Karen menyesuaikan diri dengan lingkungan rumahku. Sebenarnya aku ingin menyelidiki organ dalam milik mayat itu, namun aku masih syok dengan penemuanku malam lalu. Aku masih tak menyangka jika ia memiliki keanehan yang jarang ku temui. Aku menekan nomor telepon Danish, menempelkan ponselku di telingaku menunggu Danish menjawab panggilanku.
“Hm,,” itulah sambutan Danish pertama kali mengangkat panggilanku.
“Apa kau sedang sibuk? Ada hal yang harus ku diskusikan denganmu,” ujarku lebih terkesan menuntut.
“Katakan saja di ponsel, aku tengah sibuk,” ujarnya kesal. Dari sambungan telepon aku mendengar sayup-sayup suara seorang wanita tengah terisak.
“Maksudmu kau sibuk dengan seorang wanita Danish?” sarkasku.
“Bukan urusanmu Frank. Urus saja mayatmu. Kau harus fokus pada mayatmu, agar kau bisa berada di posisiku,” ujarnya angkuh.
Mengenal Danish dalam kurun waktu beberapa minggu membuatku paham jika karakternya berbeda dengan pria dewasa seusianya. Ia tak memiliki istri dan anak. Ia bebas menjalin hubungan dengan wanita manapun, ia juga memilik mulut yang pedas. Ia bukanlah type pria yang senang berbasa-basi, ia akan menghindari pembicaraan yang terlalu berbelit-belit.
“Pantas saja tak ada wanita yang mau mendampingimu Dan. Ucapanmu terlalu pedas,” ujarku lalu memutuskan sambungan telepon. Aku yakin saat ini Danish tengah memakiku.
Aku menghela nafas, setidaknya menjadi pria seperti Danish menyenangkan. Ia bisa dengan leluasa berkencan dengan siapapun, tak memiliki beban keluarga yang harus ia pikul, tak harus memikirkan biaya kehidupan anak selanjutnya.
“Yah sudahlah, memang nasibku ditakdirkan begini. Mau tak mau aku akan menerimanya kan?” ujarku pada diri sendiri.
“Sreeekkkk”
Aku menoleh ke sumber suara, secepat kilat aku berlari keluar ruanganku.
Suara apa yang didengar oleh Frank? Karen yang berbuat ulah lagi atau orang lain yang tengah memata-matai Frank?