Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Menggoda Karen

Bab 8 Menggoda Karen

Aku terbangun dari tidurku dengan rasa malas yang menjalar. Pagi ini Kota Azurape di guyur hujan deras yang disertai angin kencang. Rasanya aku baru saja memejamkan mata, kini aku harus kembali memulai aktivitasku. Hujan di pagi hari membuat siapa saja akan malas untuk bangkit dari tempat tidur.

Begitu juga denganku, aku masih enggan untuk bangun. Rasanya tulang di tubuhku hilang seketika. Aku meraih ponselku yang berada tak jauh dari nakasku. Aku berselancar dan memasukkan beberapa kata kunci, mencari artikel yang berkaitan dengan komunitas pecandu. Walaupun bermalas-malasan aku tetap ingin pekerjaanku selesai.

Awalnya aku tak pernah berpikir jika harus bekerja sebagai seorang Nekropsi. Tapi mau bagaimana lagi, hanya pekerjaan ini yang tersedia untuk orang sepertiku. Jadi, mau tidak mau aku akan menjalaninya dengan segala kemampuan yang kumiliki. Sebisa mungkin aku tak mengecewakan Pak Bram, ia orang yang dengan baik hati menawarkanku pekerjaan gila ini.

Setelah menemukan artikel yang aku cari, aku segera beranjak dari tempat tidurku menuju ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku cepat. Setelah itu, aku berlari menuju dapur dan menyeduh kopi menggunakan alat pemanas air listrik. Seraya menunggu air yang ku masak matang, aku mengetikkan sesuatu di ponselku. Belum selesai aku mengetikkan pesan, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang lebih tepatnya menggedor.

Tokk tokk tokkk

“Siapa yang bertamu sepagi ini?” tanyaku kesal.

Aku berjalan menuju pintu utama dengan malas. Sebelum membuka pintu, aku memungut tongkat baseball yang berada di dalam rak payung. Bukannya apa-apa, aku hanya berjaga-jaga jika saja yang bertamu adalah kawan pencuri. Karena telah terjadi beberapa kasus pencurian di kota ini. Hal yang wajar terjadi di tengah-tengah wabah yang membuat beberapa warga kehilangan mata pencaharian seperti sekarang.

Beberapa minimarket juga mengalami penjarahan, mau berbuat bagaimana lagi. Di saat-saat begini memang semua bisa saja menjadi penjahat, yang dulunya kawan bisa menjadi lawan, yang dulunya pejabat bisa saja menjadi penjahat. Karena semua orang ingin hidup dan semua orang butuh uang untuk dapat bertahan hidup.

“Huh!” aku menghela nafas sebelum tanganku meraih knop pintu rumahku. Pelan-pelan ku putar knop pintu rumahku. Kosong. Tak ada siapapun. Aku menutup pintu rumahku dan melangkahkan kakiku beberapa langkah ke depan. Sepi. Tak ada siapapun di sana.

“Jadi siapa yang mengetuk pintu rumahku?”

“Aku!” ucap suara wanita yang aku kenali.

Aku terlonjak hingga menjatuhkan tongkat baseball. “Aww!” pekikku saat tongkat baseball mendarat mengenai kakiku.

“Ups! Maaf..” ujarnya seraya menutup mulutnya.

“Dari mana kau datang?” tanyaku kesal.

“Apa kakimu tak apa?” Netra Karen menatap kakiku lekat-lekat.

“Jangan mengalihkan pertanyaan Karen Wood!” ujarku kesal.

“Di luar begitu dingin. Apa kau tak mau mengijinkan tamumu untuk masuk dan menyuguhkan secangkir minuman hangat?” sahutnya lagi-lagi mengalihkan pertanyaanku.

“Pulanglah. Aku sedang tak berniat menjamu tamu,” aku hendak berjalan meninggalkannya.

“Apa kau tak kesepian, di rumah sebesar ini dan hanya tinggal seorang diri?” tanyanya menghentikan langkahku.

Aku menatapnya tajam, “Apa kau sedang menggodaku?” selidikku.

“Apa kau tergoda?”

Ia bahkan tak merasa ketakutan sedikitpun dengan tatapan tajam yang aku berikan. Ia begitu tenang dan tak merasa terancam sedikitpun.

Sebenarnya dia ini jenis manusia apa? Ia sama sekali tak ada ras takut dan curiga pada orang lain. Sikap tenang dan datarnya membuatku penasaran akan kehidupannya.

“Benar kau tergoda denganku? Padahal aku tak memakai pakaian yang terbuka, tapi....” ucapnya terhenti.

“Diamlah. Masuk!” Ia tersenyum senang dan mengikuti langkahku.

“Rumah sebesar ini hanya di huni oleh seorang pria saja? Mana istrimu? Kemarin ku lihat ada foto pernikahanmu. Tapi aku tak menemukan istrimu. Kemana ia pergi?” bola matanya mengamati keadaan sekitar rumahku.

“Duduklah. Dan jangan banyak bertanya!” ujarku mengancam.

“Kau ini kenapa? Sepertinya hari ini kau sangat sensitif,” ujarnya seraya menatapku curiga.

“Ck,,” aku mengabaikan pernyataan Karen, aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk berdebat dengannya.

Aku lebih memilih untuk pergi dari hadapanya. Aku tak mau berdebat dengannya di pagi hari begini. Berdebat dengan lawan jenis adalah yang paling aku hindari seumur hidupku. Karena sudah dapat di pastikan jika hasilnya, aku lah yang akan selalu mengalah.

“Kau benar-benar seorang diri?” Aku menoleh menatapnya yang kini tengah berdiri di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur.

“Ahh—“ rintihku saat air panas yang tengah aku tuangkan ke dalam gelas tumpah ke kakiku.

“Ehh.... maaf aku tak bermaksud mengejutkanmu. Lagian jantungmu itu sebesar apa hingga mudah sekali terkejut?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Sudah ku bilang tunggulah di sana. Mengapa kau ke sini?” tanyaku geram.

“Aku bosan jika hanya berdiam diri di sana. Jadi, aku berniat menyusulmu dan membuat sarapan,” ujarnya dengan santai.

“Aku belum mengizinkanmu,” sahutku mencoba bersabar.

Karen dengan cueknya berjalan menuju kulkas dan melihat isi yang ada di dalamnya. Tak lama ia kembali dengan membawa sayur dan juga ayam yang kemarin ku beli.

“Di rumah ini ada berapa kamar?” tanyanya seraya memakai celemek.

Aku menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” tanyaku ketus.

“Kau tinggal menyebutkan angkanya,” sahutnya seraya memulai memotong sayuran. Wanita ini benar-benar sesuka hatinya.

“Jadi ada berapa?” ucapnya seraya memotong daging ayam dengan cara yang tak lazim.

“Kenapa?”

Aku berusaha untuk tetap terlihat tenang, walau dalam hati aku bergidik ngeri. Membayangkan tubuh manusia yang tengah ia cacah-cacah.

“Kenapa? K-e-n-a-p-a, 6 haruf. Jadi di rumahmu ada 6 kamar?” ujarnya tanpa menatapku.

Aku diam saja, tak berminat menjawab ucapannya.

“Kau diam saja. Kuanggap hitunganku tepat. Jadi....” ujarnya menggantung.

Ia menoleh menatapku, dengan wajah yang terkena percikan darah. Aku menatapnya ngeri. Wanita ini sama sekali tidak memiliki rasa jijik ataupun risih pada percikan darah di wajahnya.

Aku menatapnya ngeri, rasanya baru ini aku bertemu dengan seorang wanita yang aneh seperti dirinya.

“Jadi aku akan menempati kamar yang mana?” tanyanya langsung tanpa berbasa-basi.

“Siapa yang mengizinkanmu tinggal di sini?” tanyaku setelah meresapi ucapannya.

“Kau dari tadi hanya diam, jadi kuanggap kau setuju untuk memberiku tumpangan di rumah ini,” ujarnya santai

“Ini bukan sebuah kendaraan yang bisa kau tumpangi sesuka hatimu,” ujarku datar.

“Baik,”

Aku tersenyum lega, akhirnya aku bisa mengalahkannya dalam perdebatan pagi ini.

“Kalau begitu.... kamar mana yang kau izinkan untuk kutempati?” imbuhnya, membuat senyumanku pudar seketika.

“Kau!!!” geramku, ia hanya menatapku bingung.

“Aku?” Karen mengarahkan jari telunjuknya untuk menunjuk dirinya sendiri.

“Aku kenapa? Aku kan hanya bertanya. Lagi pula, tidakkah hatimu merasa iba, melihat seorang wanita sepertiku tak memiliki tempat tinggal?” ujarnya dengan nada sedih yang dibuat-buat.

“Kalau kukatakan tidak, apa yang akan kau lakukan?” tantangku.

“Aku akan menggodamu sehingga kau mengijinkan ku untuk tinggal di rumah ini.” Ancaman Karen membuatku tertantang untuk bermain-main dengannya terlebih dahulu.

Aku menatapnya tak peduli. Saat aku hendak berbalik, tiba-tiba ia mencekal lenganku. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Semakin dekat, ia mengikis jarak yang ada diantara kami berdua.

“Wanita ini benar-benar nekad,” batinku. “Mungkin, meluangkan sedikit waktuku untuk bermain dengannya bisa membuat otakku kembali berpikir jernih,” imbuhku.

Aku diam saja menunggu respon yang akan ia berikan. Ia semakin mendekatkan tubuhnya. Aku menaikkan sebelah alisku, seakan menantangnya. Ia berbalik menatapku. Ia menatapku tenang dan santai. “Gila!! Wanita ini begitu gila!!” gerutuku dalam hati.

Kini ia telah tiba di hadapanku, tak ada lagi jarak antara tubuhku dan tubuhnya. Ia menatapku menggoda. Setelah itu tangannya terulur ke samping telingaku.

Aku masih diam menunggu kelanjutan tindakannya. Ia mengerlingkan matanya menatapku.

“Sial! Kalau begini aku yang tergoda!!” gerutuku dalam hati. Sepertinya ia mengerti apa yang saat ini kurasakan.

“Aaahhh!!” pekikku tertahan saat kakinya menginjak kakiku.

“Hahahaha ....” tawanya puas sedangkan aku menatapnya sengit.

“Kau kira aku akan melakukan apa?” tanyanya masih dengan tawanya.

“Kau pikir aku akan menggodamu? Atau kau berpikir aku akan melakukan sesuatu yang akan menyenangkanmu?” tanya seraya menyentuh pipiku menggunakan telapak tangannya yang berlumuran darah ayam.

“Setuju atau tidak, aku akan tetap tinggal di sini. Dan menempati salah satu kamar yang tak berpenghuni. Lagian, jika kau mengijinkan aku untuk tinggal di sini, kau juga akan mendapatkan banyak keuntungan.” Karen bediri dengan menumpukan badannya pada tepi meja pantry.

Aku mendekatkan langkahku, kini aku akan membalas apa yang telah ia perbuat padaku beberapa menit yang lalu. ia menatapku menantang dengan sudut bibir terangkat. Sorot matanya seakan menantangku untuk lebih dekat dengannya.

“Ini saat yang tepat untuk menyelesaikan apa yang kau mulai, Karen....” batinku dalam hati seraya menatapnya nakal.

Ia gelisah, namun entah bagaimana ia bisa menyembunyikanya dengan berpura-pura tenang dan santai. Gurat di wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang mencoba untuk tetap bersikap tenang. Langkahku semakin dekat dengannya, sorot matanya menunjukkan ia tengah waspada. Ia menyembunyikan kedua tanganya di balik tubuhnya. Walau tak terlihat aku tahu jika tangannya sedang mencari-cari alat untuk melawanku. Senyumku semakin lebar melihat ia begitu berusaha untuk tetap terlihat tenang.

“Karen....” panggilku lembut, ia menatapku tak percaya.

Sebelah tanganya telah berhasil meraih pisau dan menyembunyikannya di balik punggungnya. Namun aku tak gentar. Aku tetap melancarkan aksiku. Hingga kini tubuhku dan tubuhnya hanya berjarak beberapa centi. Ujung alas kakiku menempel pada ujung alas kakinya.

Ia menunduk semakin dalam, dan berucap dengan lirih “Kau....”.

Aku tak mempedulikan ucapannya. Aku sedikit menundukkan wajahku agar sejajar dengan wajahnya. Dari jarak yang begitu dekat aku dapat melihat raut ketakutan dari sorot matanya.

Kira-kira apa yang akan dilakukan Frank terhadap Karen?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel