Bab 7 Sosok Danish
Bab 7 Sosok Danish
Medina membalikkan badan, pandangan kami bertubrukan. Namun hanya dalam hitungan detik ia mengakhiri pandangan kami dan berjalan cepat seakan aku adalah jelmaan makhluk tak kasat mata. Aku hendak mengejar Medina dan menanyakan alasan ia pergi meninggalkanku, walau aku sudah mengetahui apa penyebabnya namun tetap saja aku ingin mendengar secara langsung pernyataan yang keluar dari mulut Medina.
Dengan berat hati, aku harus membatalkan niatanku mengejar Medina, karena Danish telah mengirimkanku pesan untuk segera sampai di kantornya. Aku menghela nafas, “Akan ku selidiki lain waktu.”
Kota ini benar-benar seperti kota tak berpenghuni. Sepi dan senyap, baik jalanan maupun perkampungan warga. Tak ada warga yang berlalu lalang, banyak tumbuhan yang kering dan layu. Taman kota yang sebelumnya tampak asri karena di penuhi bunga-bunga bermekaran, kini hanya menyisakan rumput liar dan semak belukar yang menganggu pemandangan. Belum lagi, sampah dedaunan yang berguguran di sepanjang jalan.
Kota ini seperti tak berpenghuni lagi. Beberapa fasilitas umum yang ada juga tak terawat. Membayangkan betapa menyedihkan kota ini, membuatku bergidik ngeri. Belum lagi membayangkan bagaimana pemerintah mengatur perekonomian kota mati ini.
Dulu para investor berlomba-lomba untuk membuka usaha di kotaku. Kini? Mereka seakan melupakan usaha yang dengan susah payah mereka bangun. Melupakan keringat pekerja yang mereka gunakan siang dan malam.
Memang, tak semua investor meninggalkan usahanya begitu saja. Masih ada beberapa investor yang peduli akan kelangsungan hidup pekerjanya. Namun hal ini dapat di hitung dengan jari. Mereka investor yang dengan baik hati memberikan gaji dengan cuman-cuman adalah investor yang nilai kekayaannya sudah tak dapat dihitung.
Apalagi kotaku cukup terkenal dengan indahnya pemandangan alam. Di mana-mana terhampar bukit dan juga pantai. Hal ini cukup menarik minat para turis untuk datang mengunjungi kota ini. Tapi sekarang? Jangankan turis, warga lokal saja tak ada yang mau datang dan mengunjungi tempat wisatanya.
Aku hanya dapat berharap semoga wabah yang sedang menimpa kami dapat segera usai, agar perekonomian dan kehidupan sosial dapat kembali berjalan seperti dahulu.
Tiba-tiba, terlintas di pikiranku jika mayat aneh itu meninggal karena terkena wabah. Wabah itulah yang menjadi penyebab tak ada luka di tubuhnya, dan tak menyebarkan aroma tak sedap secara langsung, akan tetapi aroma tak sedap akan tercium saat aku membedah tubuhnya. “Aku harus segera membicarakan hal ini pada Danish.” Aku kembali memacu kecepatan mobilku.
Aku memarkirkan mobilku secara sembarangan. Karena di basemant ini hanya terdapat 2 mobil, yaitu milikku dan miliki Danish, sehingga aku tak perlu risau jika mengganggu pengguna basemant lain.
Jangan tanya mengapa mobil Danish masih bertengger di basemant padahal hari sudah sangat larut. Danish pria kaya yang bekerja sebagai Nekropsi Senior itu memang tinggal di kantor. Ia sudah tak lagi menyelidiki kematian seseorang, dia hanya tinggal menyuruh anak buahnya dengan cara meletakkan mayat di depan rumah kami masing-masing. Setelah itu, ia hanya akan menghubungi kami dan meminta kami untuk segera menyelesaikan penyelidikan kami, begitulah tugasnya.
Aku berjalan memasuki lobby kantor, sepi. Tak ada satupun manusia yang ku temui di sepanjang jalan menuju pintu lift yang akan membawaku menuju ruangan Danish. Tak ada penerangan yang cukup, hanya lampu plafon yang menjadi penerang jalanku. “Gedung yang misterius, sama dengan pekerjaannya,” gerutuku seraya menunggu pintu lift terbuka.
Aku menekan angka menuju ruangan Danish. Lantai 13. Danish menempati lantai tertinggi di gedung ini. Di lantai 13 berbeda dengan lantai lainnya, di lantai ini hanya terdapat 3 ruangan yaitu milik Pak Bram dan juga Danish. Dan ada satu ruangan lagi, namun aku tak di ijinkan masuk, jangankan masuk untuk bertanya saja aku tak diperbolehkan. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang ada di dalam ruangan tersebut hingga aku dan bahkan karyawan lain tak di perbolehkan masuk ke dalam sana.
Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan Danish yang berada di ujung lantai. Aku masuk tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Kulihat Danish tengah berbaring santai di sofa bed milik nya. “Sepertinya harimu sangat indah Dan,” sindirku seraya berjalan menghampirinya.
“Tentu!” sahutnya pasti, tanpa merubah posisi.
“Ck, apa yang hendak kau bicarakan? Hingga menyuruhku mendatangimu tengah malam begini?” tanyaku padanya.
“Tenanglah dulu Bro.. Rilekslah terlebih dahulu.. Kau mau minum apa? Atau kau sedang ingin menyantap sesuatu? Biar ku buatkan. Atau kau sudah kenyang makan dengan seorang wanita aneh?” Aku menatapnya curiga dan tajam.
“Tak usahlah menatapku begitu kawan. Tatapanmu menyakiti hatiku,” ujarnya seraya menyentuh bagian dadanya.
“Cepat katakan!” tuntutku seraya menatapnya garang.
“Santailah dulu ....” ujarnya masih ingin bermain-main.
Ia mengedikan bahu acuh dan berjalan menuju pantry yang ada di dalam ruangannya, meninggalkan aku yang tengah menatapnya tajam.
Sungguh ruangan Danish bagaikan apartement. Dimana terdapat ruang tamu, pantry, kamar tidur, kamar mandi dan juga meja kerja. Tak hanya itu. pemandangan ruang kerja Danish sangatlah sempurna. Jika kita membuka jendela yang berada di bagian kiri ruangannya pemandangan yang kita dapatkan adalah indahnya kota Azurape dari atas gedung. Lain lagi, jika kita bergeser sedikit ke kanan, pemandangan yang terhampar ialah sebuah pantai dengan bukit bebatuan yang masih asri.
“Sudah puas menganggumi ruanganku?” Danish datang dengan tangan membawa dua gelas cangkir dengan uap yang masih mengepul.
“Kelak kau juga bisa seperti aku. kau mau tahu caranya?” tanyanya seakan mengerti apa yang sedang ku pikirkan.
“Bekerja samalah dengan mayat-mayatmu.”
“Kau gila?” ucapku tak percaya dengan apa yang ia katakan.
“Kau lupa, uang yang kau gunakan untuk makan itu berasal dari mana?” ucapnya santai.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti arah pembicaraan Danish.
“Kau lupa kau sekarang bekerja sebagai apa?” tanyanya membuatku terdiam.
“Kau itu sekarang seorang Nekropsi. Kau belum lupakan tugas seorang Nekropsi?” Danish menyesap secangkir kopi hitam dengan asap yang masih mengepul.
“Seorang Nekropsi menghasilkan uang dari hasil penyelidikannya terhadap kematian seseorang. Itu artinya jika kau ingin memiliki ruangan sepertiku kau harus lebih sering bekerja sama dengan para mayat,” ujarnya tenang.
“Minumlah, kepalamu sudah mengeluarkan asap, aku takut isi kepalamu akan meledak. Kalau kau terus-menerus mendengarkan aku bicara.” Danish berlalu meninggalkanku.
“Jadi apa yang mau kau bicarakan?” tanyaku tepat saat Danish kembali menghampiriku.
“Apa yang sudah kau temukan?”
“Kau tahu ....” ucapku terbata, Danish secepat kilat menggeleng.
“Aku belum usai berbicara Dan!!” geramku, ia hanya mengedikan bahu acuh.
“Ternyata selama ini aku salah mengira. Kita ditipu oleh parasnya—“ ujarku
“Kita? Kau saja sepertinya,” potong Danish membuatku geram. “Lanjutkan,” titahnya.
“Selain itu, dari luar tubuhnya tak mengeluarkan bau apapun, namun saat aku membedah tubuhnya. Aku mencium aroma tak sedap dari dalam tubuhnya. Apa mungkin ia menjadi salah satu korban dari wabah kota ini?” jelasku. Danish tak merespon apa pun, ia malah menyodorkan sekotak rokok padaku. Aku mengambilnya dan menyalakan sepuntung.
“Apa kau sudah pastikan?”
Aku terdiam memikirkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Danish padaku, jujur aku sendiri belum begitu yakin dengan apa yang ku simpulkan. Terlalu minim petunjuk yang aku miliki, jadi bagaimana bisa aku langsung menyimpulkan perihal sebab kematianya.
“Jadi apa kau yakin akan penyebab kematiannya?” Danish mengajukan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
Aku memarkirkan mobilku di halaman rumahku. Pertanyaan Danish masih terngiang-ngiang di otakku. Ucapannya, pertanyaannya dan pernyataannya sangat sesuai dengan isi hatiku. Aku melangkah memasukki rumahku.
“Aku pulang!!!” Aku menanggalkan semua pakaian pelindungku dan menggantungnya pada rak yang sudah ku siapkan. “Ah iya bodoh kau ini Frank!! Bukankah kau dirumah ini hanya tinggal berdua dengan mayat aneh, yang tak mungkin bisa menjawab salammu!! Bodoh!!” gerutuku pada diri sendiri.
Aku berjalan menuju kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tidurku dan mengguyur tubuhku dengan derasnya pancuran air shower.
“Apa kau yakin akan penyebab kematiannya? Apa kau tak curiga dengan aroma tak sedap dari organ dalam mayat? Apa kau yakin?” ucapan Danish itulah yang selalu terputar di otakku bagaikan kaset rusak.
“Apa kau yakin, apa kau yakin, apa kau yakin, apa kau yakin?” ucapku menirukan gaya bicara Danish.
Kkkrrruukkk
“Sial! Perut ini kenapa tak mau bekerja sama,” omelku, dengan langkah malas aku berjalan menuju dapur rumah ini.
Jemari-jemari tanganku begitu lincah membuka almari tempat biasa aku menyimpan stok mie instant. Setelah merebus air, aku menunggu hingga mie instantku matang.
“Medina, Mayat, Karen, Danish. Mengapa rasanya aku tak terlalu asing dengan mereka.” aku memijit pelipisku.
Di hidupku terlalu banyak teka-teki yang tak dapat ku pecahkan dalam satu waktu. Setelah usai menikmati mie instant, aku segera melangkahkan kaki menuju kamarku dan membaringkan tubuhku. Selain otakku, tubuhku juga membutuhkan waktu untuk rehat sejenak sebelum esok hari kembali berkutat dengan mayat aneh itu.