Bab 6 Anak Kecil
Bab 6 Anak Kecil
Setelah mengenakan pakaian kerja, aku mengangkat tubuh mayat itu. Aku merapikan selimut yang tersibak. Saat aku membetulkan selimutnya, ada bagian tubuhnya yang membuatku penasaran.
“Sepertinya ada yang berbeda dari tubuhnya. Tapi apa?” ucapku pada diri sendiri. aku mencoba meneliti anggota tubuhnya sekali lagi. “Astaga!!!” pekikku tak percaya. Aku segera berlari keluar ruangan ini dan meninggalkan mayat begitu saja.
“Gila! Ini gila!! Mana mungkin bisa begini!! Ini aneh. Dia aneh!!!” racauku tak karuan seraya mengatur napas yang masih terengah-engah.
“Siapa yang aneh? Aku? siapa yang gila? Aku? atau kau?” tanya Karen mengejutkanku.
“Astaga kau ini!!!” ucapku kesal.
“Jadi, kau sudah menemukan sumber suara itu atau mungkin kau menemukan sesuatu yang lebih aneh dariku?” tanya Karen penasaran.
“Kalaupun kujawab kau tak akan mengerti,” sahutku kesal.
“Kau? Mengapa bisa ada di sini?” tanyaku curiga seraya menatapnya tajam.
“Aku?” tanyanya santai seraya menunjuk dirinya sendiri. Aku menatapnya jengah. Percuma berbicara dengannya hanya akan membuat tekanan darahku naik.
“Aku tadi melihat anak kecil, berlari dari halaman belakang rumahku. Ku kira terjadi sesuatu padamu, misal kau di bunuhnya atau kau di mutilasi olehnya. Makanya aku datang kesini untuk memastikan keadaan. Kau tak apa?” jelasnya membuatku bergidik ngeri.
Bisa-bisanya ia berpikir aku terbunuh. “Bukan tanpa alasan aku berpikir begitu. Pasalnya sudah lebih 30 menit kau tak kunjung kembali. Aku tak mau saja jika harus berurusan dengan kepolisian hanya karena aku berada di rumah orang yang baru kukenal beberapa jam tewas karena di bunuh,” jelasnya membuatku kesal
“Kau!!” geramku.
“Kenapa? Aku kan hanya berbicara sesuai fakta. Siapa tahu itu terjadi, kan?” ucapnya tanpa rasa berdosa. “Apa kau tak lapar?” tanyanya secara tiba-tiba merubah arah pembicaraan. “Haah?” tanyaku tak percaya. “Aku yakin pendengaranmu masih berfungsi dengan baik. Jadi aku tak perlu mengulang ucapanku kan?” ujarnya di luar dugaanku. “Karena kau diam saja, ku anggap kau juga lapar. Jadi aku akan pergi ke dapur dan membuatkanmu makanan,” ucapnya mengambil keputusan secara sepihak. Aku hanya melongo melihat tingkahnya, kini ia berjalan menjauhiku.
Langkahnya terhenti dan berbalik menatapku, ia menatapku sesaat lalu tersenyum tipis dan setelahnya ia melanjutkan langkahnya.
“Aneh! Wanita aneh dan mayat aneh! Sepertinya mereka cocok jika di sandingkan,” gerutuku lirih.
“Aku masih bisa mendengarnya Frank!! Berhati-hatilah dengan ucapanmu,” pekiknya dari kejauhan.
Aku mengedikkan bahu tak peduli, terduduk di meja kerjaku seraya merenungkan kejadian demi kejadian di hari ini.
“Tubuh yang mengeluarkan bau tak sedap saat kubedah, kucing hitam, Karen Wood, Mayat, Anak kecil. Tunggu, anak kecil?” ucapku merangkai kejadian demi kejadian. Bagaimana bisa ada anak kecil sedangkan tak ada masyarakat lain yang tinggal di sekitar rumahku. Kalaupun ada jarak antara rumah kami sangat jauh.
Tringggg
“Datanglah ke kantorku malam ini! Ada yang akan kubicarakan denganmu,” bunyi pesan yang dikirimkan Danish padaku.
“Apalagi ini!” geramku.
“Kau tak mau makan? Aku sudah membuatkan makanan untukmu,” ujar Karen menyembulkan kepalanya di ambang pintu ruangan kerjaku.
“Cepatlah!” ucapnya memerintah karena aku tak kunjung menghampiri.
Dengan langkah malas aku berjalan menghampirinya, ia tersenyum menyambut kedatanganku.
“Harusnya kau melangkah lebih cepat dari angin,” gerutunya
“Kau pikir aku manusia super?” tanyaku, menatapnya lurus-lurus.
“Entahlah. Hanya kau yang tahu jawabannya. Tanyakan saja pada dirimu,” ucapnya santai.
“Ya ya ya kau atur saja sesukamu,” ujarku kesal, berjalan mendahuluinya.
Begitu banyak makanan yang tersaji. Aku menatapnya curiga. Ia berada di dapur tak lebih dari 30 menit, namun ia bisa memasak makanan sebanyak ini. Dari mana ia mendapatkannya?
“Kau yakin memasak ini sendiri?” tanyaku curiga,
“Apa kau melihat orang lain di sini? Atau kau melihat hantu yang bisa membantuku memasak?” jawabnya membalikkan ucapanku.
Tak bisa dipercaya, ayam goreng, sop, nasi, dan beberapa potong kentang goreng. Sebuah hal yang mustahil dapat di kerjakan dalam waktu sesingkat itu.
“Kenapa? Kau tak mau? Ya sudah aku makan saja sendiri,” ujarnya lalu duduk di kursi dengan seenaknya. “Kembalilah ke ruanganmu. Melihatmu berdiri layaknya patung selamat datang membuatku kehilangan nafsu makan."
Aku masih berdiam diri menatapnya menikmati makanan yang menggoda selera.
“Kalau kau lapar dan ingin memakannya, makan saja. Tak usah malu-malu. Aku tak menaruh racun di dalamnya. Aku masih bernapas dengan baik sampai detik ini,” ujarnya tenang seraya menggigit ayam. Cara ia menikmati makanan sangat berbeda dari cara makan wanita pada umunya. Ia menatapku dengan sebelah alis terangkat.
Akhirnya aku menarik kursi dan menyendokkan beberapa sendok nasi ke dalam piringku. “Kau masih saja malu-malu. Lapar, bilang saja lapar,” ejeknya seraya menatapku merendahkan.
“Diamlah!” ketusku. Ia tersenyum sinis. Sesekali aku meliriknya. Karen sepertinya aku tak asing dengan wajahnya, namun aku tak dapat mengingatnya dengan jelas perihal di mana pertemuan ku dengannya.
“Jadi kapan kau akan mengantarkanku pulang?” tanyanya tiba-tiba.
“Kau bekerja dimana?” tanyaku mengalihkan pertanyaannya.
“Kapan kau mengantarku pulang, Frank? Aku bosan di sini. Tak ada sesuatu yang bisa kujadikan mainan,” ujarnya membuatku mengernyitkan kening.
“Setelah kau jawab pertanyaanku,” sahutku mengalah.
“Aku tak bekerja. Aku hanya seorang guru sma yang mengajar mata pelajaran Budaya Jepang. Dan sekarang aku tak memiliki pekerjaan. Aku tak harus menjelaskan alasannya kan? Jadi, cepat antar aku pulang,” sahutnya, menuntut dengan tenang dan santai.
“Cepat selesaikan makanmu,” titahku.
Aku meraih ponselku dan mengetik sesuatu di sana. “Dan, 20 menit lagi aku akan sampai di kantormu,” pesanku pada Danish. Tak ada balasan dari Danish, sepertinya ia bukan type orang yang senang berbalas pesan.
“Kau akan mengantarku pulang atau akan terus-menerus menatap ponselmu?” tanya Karen, mengalihkan perhatian. Aku tak merespon ucapannya.
Aku bangkit dari kursiku, Karen berjalan mengikuti langkahku. Ia berjalan dengan menyeret gergaji dan juga martil di masing-masing tanganya. Mulutnya masih sibuk mengunyah potongan daging ayam.
“Kau ini sebagai wanita tak ada anggun-anggunnya,” ucapku kesal.
“Namaku Karen bukan Anggun. Mungkin kau lupa akan namaku,” sahutnya polos. Aku memutar bola mataku jengah. Ia selalu ada cara dan ucapan untuk membalas kata-kataku.
“Kau hendak kemana? Mengapa memakai pakaian itu? Padahal rumahku tak jauh dari sini,” tanyanya dengan polos. Gila! Tadi ia bersikap sangat tenang, dingin, datar, sekarang ia bersikap seolah ia gadis kecil yang tak mengerti apa-apa.
“Kau ini memiliki berapa kepribadian?” tanyaku di sela-sela kegiatanku memakai pakaian pelindung diri.
“Aku? sebentar, coba kuhitung terlebih dahulu,” ujarnya seraya memainkan jari lentiknya.
“Tak ada. Aku tak memiliki beberapa kepribadian,” ujarnya polos.
“Sudahlah tak ada habisnya berbicara denganmu,” ujarku mengakhiri percakapan ini. “Naiklah. Kau tak harus diperintah untuk hal sesimple ini."
“Sebagai penumpang....” ucapnya terputus
“Aku harus bersikap sesuai dengan arahan pemberi tumpangan!” sambungku mengikuti gaya bicaranya. “Naiklah! Hari akan semakin larut. Dan kau semakin memperlama kerjaku."
Ia hanya mengangguk-anggukan kepala.
“Kau yakin dengan apa yang kau lihat?” tanyaku dengan pandangan tetap fokus pada jalanan yang ada di hadapanku.
“Yakin,” ujarnya yakin.
“Bisa kau jelaskan lebih rinci?” pintaku melunak.
“Di depanku ada sebuah jalanan beraspal, di sisi kiri terdapat pohon-pohon yang menjulang tinggi. Di sisi ka....” ucapnya terhenti saat tatapannya bertabrakan dengan tatapanku yang menatapnya nyalang.
“Apa ada yang salah dengan penjelasanku?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Ckk,” decakku malas.
“Kau sendiri yang salah, mengapa jadi kesal padaku?” tanyanya tanpa dosa. Sepertinya percuma berbicara padanya di saat ia tengah memasang mode polos begini.
Aku kembali memfokuskan perhatianku pada jalanan yang ada di depan.
“Berhentilah di ujung jalan itu,” ucapnya.
“Rumahmu?” tanyaku singkat.
"Masuk beberapa meter. Tapi kau hanya perlu mengantarku hingga ujung jalan sana,” jelasnya membuatku memalingkan pandangan padanya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Tak apa. Kakiku masih bisa berfungsi dengan baik. Lagi pula kau sedang ada urusan yang penting kan?” ucapnya tenang.
“Berganti lagi,” batinku.
“Kubilang berhenti Frank!” ucapnya penuh penekanan. Aku menghentikan laju mobilku, ia bersiap untuk turun dari mobilku. “Aku serius dengan apa yang kuucapkan saat di ruang kerjamu tadi."
Aku berdiam diri menunggu kelanjutan dari ucapanya.
“Aku melihat sendiri seorang anak kecil berlari keluar dari ruangan kerjamu dengan membawa sesuatu di tangannya. Kukira ia menyelakaimu, karena selepas kepergiannya kau tak kunjung keluar dari ruanganmu,” jelasnya, aku mendengar penjelasannya secara seksama.
“Kau yakin dengan penglihatanmu?” tanyaku tak percaya. “Seperti yang kau lihat, sekarang bola mataku masih 2 dan masih dapat berfungsi dengan baik,” ujarnya tenang.
Aku menganggukkan kepala seakan mengerti apa yang ia sampaikan.
“Hati-hatilah di jalan, semoga urusanmu segera menemukan titik terang,” ujarnya sebelum ia turun dari mobilku dan berjalan memasuki sebuah gang.
Aku masih terus memperhatikan kepergiannya. Sampai ia benar-benar tak terlihat oleh netraku.
Sepanjang perjalanan menuju kantor Danish, otakku dipaksa untuk menyambungkan kejadian demi kejadian yang terjadi mulai dari terjadi wabah mematikan yang menjadikan kota maju seperti kotaku menjadi kota mati hingga kehadiran mayat aneh itu.
Tanpa sengaja netraku melihat sosok Medina dan juga Daniel tengah keluar dari sebuah mobil dengan menenteng kantung belanjaan.
“Sudah kuduga, kau meninggalkanku karena uang Medina,” lirihku. Namun, ada yang aneh dengan ekspresi wajah Medina dan juga Daniel. Aku terus memfokuskan netraku menatap dua orang yang pernah tinggal satu atap denganku.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Medina dan Daniel? Lantas apa yang ingin dibicarakan Danish padanya hingga menyuruhnya datang malam-malam begini?