Bab 5 Kucing Hitam
Bab 5 Kucing Hitam
Aku masih terdiam menunggu jawabannya, Karen tersenyum menatapku dengan tatapan datar. “Karena aku tak memiliki jawaban atas pertanyaanmu. Memangnya ada yang salah?” ucapnya lagi-lagi ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.
Sebenarnya jarak antara rumah dengan supermarket tidak terlalu jauh, namun karena aku sedang ingin menikmati kesempatan ke luar rumah maka aku memanfaatkannya dengan baik. Mobil yang ku kendarai telah sampai di halaman rumahku.
“Kau mau turun atau diam di sini?” tanyaku padanya yang masih berdiam diri.
“Sebagai seseorang yang diundang, maka aku akan menunggu pemilik rumah mempersilahkan aku,” ucapnya santai.
“Kalau begitu turunlah,” ucapku seraya membuka pintu mobilku.
Aku berjalan mendahului Karen. Aku berjalan seraya memainkan ponselku. Sedari tadi ponselku berdering, aku mengecek ponselku ternyata Danish yang mengirimkanku pesan, “Lagi-lagi tentang mayat, Danish... Danish...,” gerutuku lirih.
“Siapa mayat?” tanya Karen dari balik tubuhku, aku hampir saja menjatuhkan ponselku karena terkejut dengan kehadiran Karen secara tiba-tiba.
“Kau ini! Aku bukan hantu. Mengapa reaksimu begitu?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku memilih untuk tak merespon ucapannya, karena jika aku merespon ucapannya dapat dipastikan perdebatan ini akan memakan waktu lebih lama. “Mengapa kau diam saja?” tanyanya, aku hanya menoleh dan kembali memfokuskan diriku pada ponselku.
Aku telah berdiri di ambang pintu utama rumahku. Tanganku meraih knop pintu, berulang kali aku mencoba menyentuh knop pintu namun aku tak kunjung mendapatkannya, “Ke mana sih?” ucapku kesal.
“Ke buka,” sahut Karen santai, aku memandang Karen yang tengah asyik bersandar di tembok samping pintuku. “Tuh,” ujarnya menunjuk pintu rumahku menggunakan dagunya. Aku menolehkan kepalaku perlahan.
Terbuka! Secepat kilat aku berlari masuk ke dalam rumahku, bahkan aku meninggalkan barang belajaanku di depan pintu bersama dengan Karen. Walau sikap Karen kadang menyebalkan dan aneh, namun Karen tipe orang yang mengetahui sopan santun, ia bahkan setia dengan posisinya yaitu bersandar di tembok pintu rumahku seraya memainkan ponselnya.
“Kau tak mau masuk?” tanyaku menghampirinya, walau aku panik dengan isi rumahku, namun aku tetap harus menghargai tamuku.
“Seingatku kau belum menyuruhku masuk,” ucapnya santai, aku menghela nafas kasar mendengar ucapannya.
“Silahkan masuk nona Karen Wood,” ucapku dengan nada yang dibuat-buat.
“Terimakasih Tuan Frank,” sahutnya seraya tersenyum.
“Duduklah terlebih dulu, aku akan memastikan keadaan,” ujarku menyuruhnya duduk sebelum ia benar benar berdiri, menunggu untuk ku persilahkan duduk.
“Kau tidak menawarkanku minum?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Kau bisa menahan haus sedikit lebih lama kan? Keadaan rumah ini jauh lebih penting,” ujarku menatapnya lekat.
“Ya kau atur sajalah. Aku akan menunggu di sini,” ujarnya santai.
“Memang tak ada yang menyuruhmu ikut denganku,” ujarku lalu berjalan menuju kamar tidurku.
Tak ada yang berubah dengan tatanan kamarku. Aku membuka almariku memastikan isi yang ada di dalamnya, “Tak ada yang berubah,” ujarku heran. aku berjalan menuju kamar Daniel, sama tak ada yang berbeda. kamarnya masih rapi seperti sebelum Daniel pergi bersama dengan Medina.
Aku telah memastikan seluruh ruangan yang ada di rumahku, tak ada yang berubah dengan tatanan rumahku, tak ada barang yang hilang. Aku mengernyit heran dengan apa yang sedang terjadi. Pintu rumah terbuka, tak ada barang yang hilang, tak ada barang yang rusak, tak ada tanda-tanda kejahatan yang terjadi di rumahku, namun mengapa pintu rumahku terbuka. Seingatku, aku telah mengunci pintu rumahku rapat-rapat
Aku berjalan menemui Karen, ia terlihat fokus pada ponselnya. “Bagaimana?” tanyanya membuatku terkejut, pasalnya ia tak memperhatikan kedatanganku, “Bagaimana ia bisa tahu kedatanganku padahal langkah kakiku tak terdengar,” batinku.
“Bayanganmu sudah terlihat dari kejauhan,” ucapnya seakan mengerti isi pikiranku. “Aku bukan paranormal yang bisa baca pikiran, raut mukamu yang menjelaskan,” lagi-lagi ucapannya membuatku mengernyitkan dahi.
“Apa kau sudah bisa membuatkan minum untukku? Aku tak mau mati karena haus,” ujarnya datar
“Ckk,” aku berdecak namun tak urung aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan segelas minuman untuknya. Aku meletakkan minuman Karen ke atas meja. Ia tampak tak peduli dengan kehadiranku.
“Kau itu meminta minum, tapi setelahnya kau mengabaikan,” ucapku membuatnya mengalihkan fokusnya padaku.
“Kau tak mencampurkan racun di dalamnya, kan?” ucapnya dengan tenang, tak ada raut curiga dan ketakutan. Wanita ini sungguh penuh dengan misteri. Ia selalu berbicara dengan nada yang tenang dan datar, ia tak banyak berekspresi padahal ia banyak bicara.
Pranggggg!!!
Refleks aku dan Karen menengok ke sumber suara. “Kau diamlah di sini. Jika terjadi sesuatu kau bisa berteriak,” ucapku memperingatkan.
“Aa—“ ucapnya, aku menghentikan langkahku dan menatapnya nyalang, “Begitu kan?” tanyanya santai.
“Sss kau ini, seriuslah sedikit,” ucapku kesal. Ia benar-benar menyebalkan. Bagaimana bisa ia bergurau di saat genting seperti sekarang ini? ia hanya tersenyum tipis.
“Pergilah, aku akan berjaga di sini,” ucapnya percaya diri.
“Kau yakin?” tanyaku memastikan.
“Kau lupa senjata apa yang ku miliki?” ucapnya seraya melirik gergaji dan martil yang tadi ia beli. Aku bergidik ngeri dan berjalan menjauhinya.
Aku mencari-cari setiap sudut ruanganku. Nihil aku tak menemukan apapun. Tak ada benda jatuh di sana. aku berdiam diri cukup lama, memikirkan kemungkinan kejadian lain.
Aku kembali menemui Karen. Namun kursi yang tadi di tempati Karen kosong, aku menatap sekeliling mencari keberadaannya. “Kau mencariku?” ucap Karen dari balik tubuhku, aku hampir berteriak mendengar ucapannya.
“Kau! Mengapa selalu mengejutkanku?” tanyaku dengan nada kesal.
“Aku tak mengejutkanmu. Kau saja yang tak sadar akan kehadiranku,” ujarnya santai dan duduk di kursi tamuku.
“Bagaimana?” tanyanya tak ku mengerti. “Suara tadi, kau sudah menemukan sumbernya?” ucapnya membuatku kembali teringat akan kejadian beberapa menit lalu. Aku menggeleng lemah, ia menatapku kesal. “Kau sudah memastikan seluruh ruangan?” tanyanya, aku menganggukkan kepala menjawab pertanyaannya.
“Halaman belakang?” ujarnya, lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Loteng? Apa rumahmu ada loteng atau ruang bawah tanah?” ujarnya. Aku terhenyak saat mendengar Karen menyebutkan ruang bawah tanah. Benar aku belum meneliti ruang kerjaku.
Tanpa berkata apapun pada Karen aku berlari secepat kilat menuju ruang kerjaku. Sekilas tak ada yang aneh dengan ruang kerjaku. Buku yang menjadi kunci untuk membuka ruang bawah tanah pun masih tertata rapi.
Aku melangkah kakiku dengan ragu-ragu. “Pertama aku harus memastikan tak ada yang membobol komputerku,” ucapku pada diri sendiri. Walau tak ada yang berbeda dengan ruangan ini, aku harus tetap memastikannya sendiri. Karena semua data yang terdapat di ruangan ini merupakan data penting dan rahasia.
Setelah mengotak-atik komputerku, dapat kupastikan jika tak ada yang terjadi dengan dataku. Selanjutnya aku menatap pintu ruang bawah tanah yang tertutup rak buku. “Apa aku harus turun?” tanyaku entah pada siapa. “Turun enggak turun enggak turun....” ucapku seraya menghitung kancing kemejaku. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku ketika aku dihadapkan pada sebuah pilihan. Menghitung manik baju atau menghitung menggunakan jari. Walau pada akhirnya aku tak menggunakan hasil akhirnya, aku telah melakukan sebuah pertimbangan.
“Sial!” gumamku kesal. “Mengapa harus turun?” aku mengabaikan hasil akhir dari perhitunganku, aku berjalan menjauhi ruang kerjaku. Namun baru beberapa langkah aku berjalan bulu roma ku sudah berdiri. Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Tak ada seorangpun, namun entah mengapa aku merasa seperti tengah di awasi.
Aku melanjutkan langkahku. Tapi entah mengapa pikiranku selalu terbayang pada mayat tanpa identitas itu. Rasanya aku ingin melihat keadaannya. Tapi aku belum siap dengan bau yang keluar dari dalam tubuhnya.
“Persetanlah!!” ucapku lalu berbalik arah menuju ruang kerjaku. Kini aku mengenyahkan segala pikiran burukku. Dengan menggunakan pakaian kerjaku dan melapisi masker aku berjalan ke arah rak buku di mana tempat pintu itu tersembunyi.
Aku menggapai buku yang menjadi kunci ruang bawah tanah dengan ragu. “Ah sudah kepalang tanggung,” ucapku memberanikan diri. Hal pertama yang kulihat adalah sebuah lantai marmer berwarna pastel menyambutku. Setelah berjalan menuruni anak tangga, kini kakiku telah sampai pada anak tangga terakhir. Aku mengamati sekeliling.
“Tak ada yang berubah, masih sama seperti tadi pagi,” ujarku. Setelah memastikan tak ada yang aneh dengan ruang bawah tanah ini, aku membalik badan hendak menaiki tangga. Mataku terbelalak melihat apa yang ada di hadapanku. Mayat tanpa identitas itu tergeletak di dinginnya lantai dan seekor kucing yang familiar.
“Sepertinya aku pernah melihat kucing ini. Tapi dimana?” ucapku entah pada siapa. Aku berdiam diri menatap mayat yang sudah terbelah dadanya tergeletak di lantai. Ada yang aneh dengan posisi tubuhnya, aku memacu otakku agar berpikir lebih keras. Kejadian demi kejadian ini membuatku memijit pelipis mataku. Banyak hal janggal yang terjadi dengan mayat ini. Sebenarnya siapa dia? Dan apa penyebab kematiannya?