Bab 4 Berkenalan dengan Wanita Ane
Bab 4 Berkenalan dengan Wanita Aneh
Aku bergegas menjauh dari Karen. Aku mencoba mengabaikan apa yang wanita itu lakukan. Bayangkan saja seorang wanita yang terlihat anggun mencari sebuah martil dan juga gergaji. Bukankah itu suatu hal yang di luar nalar. Ia rela tak langsung kembali ke rumah hanya demi sebuah martil dan gergaji, ia juga rela mengabaikan keselamatan jiwanya.
Ini aneh, bahkan jika harus berada di posisinya aku tak akan mau melakukannya. Martil dan gergaji bukanlah sebuah kebutuhan pokok yang sangat diperlukan hingga harus mengorbankan nyawa. Aku menggelengkan kepala mencoba menjauhkan pikiranku dari hal yang tak masuk akal.
Saat sedang berjalan menuju meja kasir langkahku terhenti kala aku melihat kopi favoritku. “Ahh lebih baik aku sekalian berbelanja saja. Toh tak ada lagi Medina yang akan mengatur keperluan rumah, dan juga ia tak akan lagi membantuku mengurus rumah. Lebih baik aku mencari beberapa keperluan rumah tangga yang nantinya akan aku butuhkan,” belakangan ini aku lebih sering berbicara pada angin. Mungkin karena kesendirianku atau mungkin karena wabah ini membuat semua takut untuk bersosialisai dengan orang lain, sehingga aku tak lagi memiliki lawan bicara seperti dahulu.
Lagi-lagi aku harus berpapasan dengan Karen, walau belum secara resmi kami bertegur sapa tapi aku menyimpulkan bahwa ia wanita yang aneh. Trolley ku sudah penuh dengan segala kebutuhan sehari-hari. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal aku mendorong trolleyku menuju meja kasir. Sudah ku bilang bukan jika hidupku selelu dipenuhi oleh hal-hak yang diluar dugaanku. Saat ini trolleyku dan trolley milik Karen wood tiba di meja kasir bersamaan.
Aku dan Karen saling melempar pandang. Akhirnya aku mengalah membiarkan ia membayar barang belanjaannya terlebih dahulu. Benar saja di trolleynya hanya terdapat sebuah martil dan gergaji, melihat gerigi gergaji membuat tubuhku meremang. Ia mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya, aku yakin ia mencar dompetnya.
“Bagaimana Kak? Dompetnya sudah ada?” tanya petugas kasir pada Karen, air muka Karen terlihat sangat panik.
Aku tak tega melihatnya, “Pakai ini saja,” ucapku seraya memberikan kartu ATM-ku. Kini giliranku untuk membayar barang belanjaanku. Mataku mencuri-curi pandang ke arah Karen. Sekali lagi aku katakan ia adalah wanita aneh.
Aku mengernyitkan dahi menatap kegiatan yang dilakukan Karen. “Aneh,” cibirku dalam hati. Aku menatap jajaran angka yang tertera di layar monitor meja kasir. Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran aku segera keluar dari restorant. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang ada di depanku karena aku sibuk menatap lantai karena begitu banyaknya barang bawaanku.
Tiba-tiba seseorang mencekal lenganku. Butuh waktu 1 menit untuk otakku merespon kejadian ini. Aku menoleh menatap lengan yang mencekal lenganku. Tangannya putih, bersih, dan di ujung kukunya dihiasi warna-warni membuat jemari lentiknya terlihat lebih indah. Setelah menatap lengannya mataku beralih menatap pemilik lengan itu.
Mataku terpaku pada manik matanya, manik mata berwarna abu-abu itu menatapku lembut dan teduh. Manik mata itu sama persis dengan manik mata milik Medina, mengingat Medina membuatku merindukan Daniel, putra semata wayangku. Walau usianya baru menginjak angka 8 tahun, namun kecerdasannya tak perlu diragukan lagi.
Saat ini Daniel duduk di kursi bangku kelas 3 sekolah dasar. Padahal teman seusianya baru kelas 2 sekolah dasar. Aku bersyukur dan bersedih di waktu bersamaan. Kadang aku kewalahan mencari jawaban tatkala ia melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang di luar batas usianya.
Seperti waktu itu, ia pernah menanyakan masalah hukum gravitasi bumi. Bayangkan saja anak seusianya sudah menanyakan tentang gravitasi bumi. Beruntung aku memiliki Medina, ia wanita yang cerdas sehingga memudahkanku ketika Daniel menanyakan hal-hal yang tak ku mengerti.
“Ahh mengapa kau jadi mengingat Medina,” keluhku.
“Apa? Siapa?” tanya Karen. Astaga aku hampir melupakan kehadirannya.
“Ahh bukan siapa-siapa Karen Wood,” ujarku seraya mengeja namanya. Sebenarnya aku berpura-pura mengeja namanya, aku lakukan ini agar ia tak menaruh curiga padaku.
Ia menatapku heran, “Tuh,” ujarku seraya menunjuk tanda pengenalannya menggunakan dagu.
“Ohh, kau siapa? Medina siapa?” tanyanya bingung.
“Aku?” tanyaku seraya menunjuk diriku sendiri, ia mengangguk merespon pertanyaanku,
“Frank. Kau bisa panggil aku Frank,” ujarku, ia nampak tersenyum senang.
“Apa yang membuatmu senang?” tanyaku heran dan menatapnya lekat.
“Tak ada, aku hanya menyukai nama Frank. Tak apa kan? Bukan sebuah masalah yang berarti kan?” ucapnya ringan.
“Aneh,” celetukku tanpa sadar.
“Biar ku hitung sudah berapa kali kau menyebutku aneh,” ucapnya seraya memainkan jemari lentiknya berpura menghitung.
Aku terkejut dengan ucapannya. “Apa ia tahu jika aku mengikutinya?” tanyaku dalam hati.
“5 atau 6 ya kira-kira sudah sebanyak itu kau mengatakan jika aku ini aneh,” ujarnya melemah, mendengar nada bicaranya aku menjadi tak enak hati.
“Darimana kau tahu?” tanyaku pelan. Ia mengendikkan bahunya acuh.
“Jawablah,” ucapku menahan kesal.
“Bukannya kau ragu untuk berlama-lama di luar. Tapi ini kau sudah hampir satu jam berada di luar. Apa kau tak takut menjadi salah satu nama yang tercantum di daftar korban meninggal wabah flu kupu-kupu ini?” ucapnya tanpa basa-basi. “Wanita ini memiliki aura yang begitu kuat,” batinku.
“Kau pulang dengan apa?” tanyaku seraya menatap sekeliling.
“Dengan apa?” ulangnya seraya menatapku
“Iya. Aku tak melihat ada kendaraan terparkir di sini kecuali mobilku. Jadi kau pulang dengan apa?” jelasku panjang lebar.
“Dengan kaki mungkin. Kecuali ....“ ia menjeda ucapannya, aku terdiam menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Kecuali kau mau mengantarkanku,” ucapnya santai dan tenang.
Aku terkejut dengan ucapannya, wanita ini tidak banyak basa-basi, berbeda dengan kebanyakan wanita yang selalu menggunakan kode untuk mengutarakan maksudnya. “Kau yakin? Bahkan kita baru mengenal beberapa menit yang lalu? Tidakkah timbul rasa curiga?” tanyaku menatapnya.
“Curiga? Untuk apa aku curiga padamu? Wajahmu tidak menunjukkan wajah seorang penjahat,” ujarnya yakin.
“Baiklah, tapi aku harus segera kembali ke rumah. Ada sesuatu yang harus ku kerjakan. Apa kau mau ikut denganku terlebih dahulu?” tanyaku, ia nampak berpikir. Ia memandangku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Aku menaikkan sebelah alisku menunggu reaksinya.
“Ayo kita ke rumahmu terlebih dahulu,” ucapnya di luar dugaanku. Aku masih tak percaya dengan apa yang ia ucapkan. “Tunggu apalagi? Bukannya kau harus segera sampai di rumah?” ucapnya menyadarkanku dari lamunanku.
Aku mengangguk dan berjalan menuju mobilku. “Kau yakin?” tanyaku sekali lagi sebelum aku menyalakan mesin mobil.
“Kau keberatan?” tanyanya padaku.
“Baiklah.”
Mobilku berjalan dengan kecepatan sedang aku sengaja tak memacu mobilku cepat. Aku ingin menikmati indahnya langit hari ini, cerah dengan awan berwarna biru. “Mengapa mobilmu lambat? Bukankah katamu kau sedang buru-buru?” tanyanya menatapku heran.
“Aku memang sedang buru-buru, tapi aku sedang ingin menikmati indahnya cuaca hari ini,” sahutku tanpa mengalihkan pandanganku.
“Untukku alasanmu tidak masuk akal. Kau bilang kau buru-buru namun kau bisa berbelanja sekian banyaknya. Untukku itu bukan suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Dan kau melakukan itu,” ujarnya.
“Kau sendiri? Seorang wanita membeli sebuah barang yang bukan kebutuhan pokok hingga rela mengorbankan nyawa,” ucapku membuatnya membeku. Ternyata ucapanku mampu membuatnya berhenti bertanya dan mengutarakan pola pikirnya yang aneh.
Keheningan terjadi setelah aku melontarkan ucapan yang mungkin menyinggung perasaannya. “Kau marah?” tanyaku hati-hati.
“Siapa? Aku?” tanyanya padaku, “Untuk apa aku marah padamu? Kau menyelakaiku? Kau menodaiku? Bahkan kau tak menyentuhku sedikitpun, mengapa aku harus marah?” ucapnya membuatku menatapnya heran. “Kau sudah berkali-kali menatapku begitu. Aku bosan,” ucapnya seraya memutar bola mata jengah. “Kau tahu aku sudah terlalu sering mendapat pandangan begitu, sekarang kau juga memandangku begitu. Tidak bisakah kalian manusia menatapku normal?” ujarnya, aku merasakan ada rasa kesal dan kecewa di dalam nada bicaranya.
“Kau mau dipandang normal? Memang selama ini mereka memandangmu bagaiamana?” aku bertanya seolah melupakan kekesalan dan rasa kekecewaannya.
“Seperti kalian memandang manusia lain,” ujarnya santai bahkan kelewat santai untuk ukuran seorang wanita yang baru saja mengungkapkan rasa kekesalannya.
Tiba-tiba sekelebat kucing berwarna hitam pekat dengan mata menyala berjalan membuatku menghentikan mobilku mendadak. “Aw—“ pekiknya seraya mengusap dahinya. “Kau kenapa?” tanyanya tenang tak ada rasa marah, ia bahkan tak meninggikan suaranya. “Sepertinya kau menabrak sesuatu?” ucapnya menyadarkanku pada kucing yang menyebrang tadi.
“Kau tak mau turun untuk melihatnya?” ucapnya sekali lagi.
Aku dilanda kebimbangan sekarang, “Seekor kucing hitam menyebrang,” ucapku seraya menghidupkan kembali mesin mobilku.
“Kau tak mau melihat keadaanya terlebih dahulu?” tanyanya, sungguh ia sangat berisik dan banyak bicara. Baru kali ini aku menemukan wanita aneh dan berisik sepertinya.
“Iya tak apa, aku melihatnya. Aku tak menabraknya,” ujarku jujur. Memang begitu keadaannya aku sama sekali tak menabrak kucing hitam itu.
“Kau tahu artinya jika kau menabrak kucing berwarna hitam pekat? Tanyanya mencoba menakutiku.
“Kau sedang mencoba menakutiku?” tanyaku padanya,
“Apa kau akan takut?” tanyanya.
“Mengapa kau senang sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan bukan dengan pernyataan?” tanyaku kesal.