Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pekerjaan atau Nyawa?

Bab 3 Pekerjaan atau Nyawa?

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Medina. Selama ini kami berjuang untuk tetap dapat bersama, walau beragam rintangan kami hadapi. Mulai dari restu orang tua yang sangat sulit untuk kami dapatkan, belum lagi permasalahan ekonomi dan juga sosial.

Medina seorang wanita yang terlahir dari keluarga berdarah biru. Sedangkan aku? aku hanyalah rakyat biasa yang tanpa sengaja bertemu dengan Medina.

Hidupku selalu di penuhi oleh hal-hal diluar kendaliku. Bertemu dengan Medina, menjadi seorang pengurus mayat, hingga saat ini pun aku masih tak percaya dengan apa yang aku geluti.

Menjadi seorang Nekropsi, membuatku kembali berurusan dengan mayat. Namun kali ini, mayat yang harus aku urus adalah mayat tanpa identitas dan juga tanpa keterangan penyebab kematiannya. “Mungkin memang aku di takdirkan untuk hidup sendiri,” ujarku pada diri sendiri seraya menuangkan mie instant ke dalam mangkuk. Setelah selesai menikmati semangkuk mie dengan rasa sepi, aku merapikan peralatan dapur dan berlalu menuju kamarku.

Aku menggulingkan tubuhku ke kanan dan kiri, mencoba untuk memejamkan mata. Namun, semakin aku mencoba semakin sulit mataku terpejam. Aku mencoba mengingat-ingat sepertinya aku tak menyeduh kopi malam ini, tapi agaknya sulit sekali mata ini terpejam. Berulang kali aku menguap namun tak mataku tak kunjung terpejam. setelah mencoba berbagai cara akhirnya mataku terpejam.

Suara kicauan burung saling bersahut-sahutan membuatku terbangun dan mentari pun telah menyingsing menggantikan tugas bulan dan bintang. Aku meraba sebelah kasurku. “Kosong?” tanyaku belum menyadari apa yang terjadi semalam. “Hm memang kosong Frank. Memang kau mengharapkan apa? Seorang wanita? Dalam mimpi pun mungkin tak ada yang mau denganku,” monologku seraya meraih kacamata yang tergeletak di nakas samping kasurku.

Aku berjalan menuju dapur, menyalakan kompor dan memasak air. Aku menyiapkan kopi hitam yang menjadi kesukaan sejak dulu, “Ck, bahkan kopi pun tak mau berlama-lama singgah denganku,” ujarku saat aku melihat kopi favoritku telah mencapai titik terakhir.

Aku menikmati kopi hitamku ditemani dengan beberapa potong roti yang masih tersisa di persediaan dapur rumahku. Saat aku tengah menikmati pagiku, sebuah dering notifikasi masuk ke ponselku.

Danish, mengirimkanku sebuah pesan singkat “Percepat penyelidikanmu, karena mayat akan segera membusuk. Lakukan langkah kedua untuk menemukan petunjuk,” begitulah bunyi pesan singkat yang dikirimkan Danish padaku. Sepertinya Danish tak menyukaiku, pasalnya ia mengganggu waktu santai ku di pagi hari.

Tapi apa yang dikatakan Danish ada benarnya, mayat itu tak akan mampu bertahan lama, karena aku tak memberikan zat kimia untuk mengawetkan tubuhnya. Selain itu, aku tak tahu zat apa yang terkandung di dalam tubuhnya. Aku menyesap tegukan terakhir di kopi hitamku, dan berjalan menuju ruang bawah tanah.

Aku menyalakan layar komputerku, dan mulai berselucur pada jajaran angka dan huruf yang tersaji. Langkah kedua yang harus ku jalani, menyelidiki perihal komunitas yang mengenakan tatto bergambar kepala tengkorak yang di bingkai dengan mawar layu itu.

Menyelidiki tentang komunitas ini membuatku kembali teringat akan percakapanku dengan Danish malam lalu. “Komunitas pecandu terbesar di kota kita. Terkenal sadis dan tak tahu ampun. Ia tak segan-segan menghabisi siapa saja yang mengusik kehidupan anggota ataupun pemimpinnya. Kau bisa bayangkan betapa kejamnya mereka?” tanya Danish padaku.

“Apa?” tanyaku antusias.

“Jika kau mencubit kulitnya ia akan membalasnya—“ ujar Danish terputus,

“Bukankah itu hal biasa? Kau juga akan melakukan hal yang sama bukan?” tanyaku heran atas pernyataan yang disampaikan Danish malam itu.

“Kau tahu, mereka akan mencubit tubuhmu menggunakan pegungkit? Seperti tang, gunting kuku, atau menggunakan gunting rumput,” imbuh Danish dengan antusias, bola mataku hampir saja keluar mendengar pernyataan Danish tentang Komunitas pecandu itu.

Aku memijit pelipis mataku mengingat apa yang menjadi percakapan antara aku dan Danish semalam tadi. Aku tak habis pikir jika seorang yang memiliki wajah yang tampan dan manis ini termasuk salah satu anggota komunitas paling di takuti masyarakat.

Aku mencoba menyelidiki satu persatu data yang berhasil aku salin kemarin malam. Tak ada yang mencurigakan, aku mencoba mencocokkan wajah mayat itu dengan wajah anggota komunitas itu. Dan lagi-lagi aku tak menemukan jawaban. Sepertinya ia sangat pandai menutup identitasnya.

Dering di ponselku menyadarkanku dari lamunanku, lagi-lagi aku menghela nafas. Ku pikir Medina yang mengirimkanku pesan, namun ternyata Danishlah yang mengirimkanku pesan. “Bedah tubuhnya, cari tahu apa ada zat yang mencurigakan,” tulisnya. Sepertinya aura Danish begitu kuat, dengan membaca pesan singkatnya saja bisa membuat aku patuh pada apa yang ia tuliskan.

Dengan berat hati, aku mengikuti saran yang dikirimkan Danish padaku. Dengan malas aku membuka pintu ruang bawah tanah. Ini aneh, tak ada bau menyengat yang keluar dari dalam tubuhnya. Setelah memakai pakaian bedah.

Aku berjalan pelan ke brankarnya. “Ternyata kau yang membuatku tidur tak nyenyak. Siapa dirimu sebenarnya?” ucapku. Aku tersenyum miris. Aku sudah selayaknya orang gila, bertanya pada diri sendiri, bertanya pada angin, dan kali ini aku bertanya pada sebujur manusia yang sudah tak bernyawa. “Bodoh!” umpatku saat aku menatap pantulan diriku di cermin yang begitu besar.

Aku mulai mempersiapkan peralatanku, mulai dari gunting, pisau, sarung tangan dan lain-lain rapi dan siap dipakai. Setelah mengumpulkan niat dan keberanian. Ku kira ia tak akan mengeluarkan aroma tak sedap tapi sepertinya aku salah. Aku mulai mencium aroma tak sedap saat aku mulai membelah Bahu nya. Dengan segala pengorbaan aku melanjutkan membelah tubuhnya, aku membelah tubuhnya hingga terbentuk huruf Y.

Aroma bagian dalam tubuhnya semakin mengganggu indera penciumanku. Aku mencoba mencari bahan kimia yang sebelumnya ku simpan di dalam almari. “Apa persediannya habis? Tapi aneh rasanya, kemarin kan belum ada yang menempati ruangan ini,” ujarku pada diri sendiri.

Aku menggeledah semua almari yang ada di sekitar rumahku, namun semuanya nihil. Setetespun aku tak menjumpainya. Aku terdiam cukup lama, aku memikirkan pilihan yang akan aku ambil jika aku harus keluar rumah. “Pekerjaan atau nyawa?” tanyaku seraya menghitung jumlah kancing bajuku.

“Nyawa,” ucapku saat tanganku berhenti pada kancing paling akhir. “Tapi kalau nyawa tanpa uang juga akan mati, kan?” argumenku pada diri sendiri.

Aku melangkah menuju pintu utama, aku telah siap dengan pakaian khusus yang dianjurkan oleh pemerintah pusat. Tanganku memutar knop pintu namun gerakanku tiba-tiba terhenti. “Tapi jika aku memilih pekerjaan, untuk siapa lagi aku bekerja?” tanyaku ragu, “Toh sekarang Medina dan juga Daniel telah meninggalkan aku. untuk apa aku susah-susah bekerja,” argumenku.

“Tapi jika aku tidak bekerja, bagaimana hidupku kelak?” sanggahku, “Ah sudahlah, keluar ataupun tidak pada akhirnya aku akan mati juga kan?” ucapku menyakinkan diri dan berjalan keluar rumah. Tak lupa aku mengenakan pakaian yang dianjurkan pemerintah.

Sepanjang perjalanan aku tak menjumpai masyarakat yang beraktivitas di luar rumah selain aku. Pintu rumah mereka tertutup rapat, bahkan angin pun tak akan bisa menembus rumah warga.

Aku berdiam cukup lama di dalam mobilku, sejujurnya aku masih ragu untuk masuk ke dalam supermarket. Pasalnya tak ada satupun pengunjung yang datang ke supermarket. Jangankan ke supermarket untuk keluar rumah saja sepertinya mereka enggan. Jika tidak karena bau tubuh mayat itu aku tak akan mungkin mengorbankan nyawa begini. Aku masih enggan untuk turun dari mobilku, rasanya aneh sekali keluar rumah dengan mengenakan alat pelindung diri yang menyerupai alien ini. setelah berdiam cukup lama, aku menuruni mobilku dengan berat hati. Sepi. Tak ada satupun pengunjung. Aku satu-satunya pengunjung supermarket ini.

Di depan sana terdapat sebuah ruangan berukuran 1x1 meter dan di depannya berdiri seorang pria bertumbuh gempal mengenakan atribut yang sama denganku. “Silahkan netralisir dahulu Pak,” ucapnya seraya menunjuk ke dalam ruangan sempit itu. Setelah selesai menetralisir diri aku bergegas memasukki supermarket dan berjalan cepat mencari zat kimia yang aku butuhkan.

“Selamat datang, selamat berbelanja. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pramuniaga yang menyambutku saat aku membuka pintu supermarket aku hanya tersenyum dan berjalan menuju rak yang berisi jajaran zat-zat kimia. Saat aku hendak menuju kasir, tanpa sengaja aku menabrak bahu seorang wanita yang tengah mendorong trolley dengan terburu-buru. Matanya menelisik keadaan sekitar. Aku tak tahu apa yang sedang dilakukan oleh wanita ini.

Aku mencoba mengikuti langkahnya, saat jarak kami tak begitu jauh. Aku membaca nama yang tertempel di bajunya “Karen Wood,” batinku. Nama yang cukup unik, kuakui wajahnya berkali-kali lebih cantik daripada Medina, kulit putihnya tertutup seragam kerjanya, rambutnya berwarna coklat kemerah-merahan ia gulung hingga membentuk cepol yang terkesan berantakan. Aku mengikuti langkahnya, hingga tiba-tiba ia terhenti di sebuah rak yang membuatku membulatkan mata sempurna.

Kira-kira rak apa yang di tuju oleh Karen Wood hingga membuat Frank terkejut?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel