Bab 2 Permintaan Berpisah
Bab 2 Permintaan Berpisah
“Mas mau kemana?” tanya Medina saat sedang menyiapkan sarapan pagi untuk ku dan juga Daniel. “Aku ada urusan, kalian sarapan duluan saja,” ucapku seraya berjalan menuju ke ruang bawah tanah. Aku membuka kunci rahasia yang akan mengantarkanku ke ruang bawah tanah.
Aku meneliti keadaan sekitar terlebih dahulu. Tak mau jika Medina dan Daniel tau akan ruang kerjaku. Aku membuka kain penutup mayat pria yang aku temui. Aku belum begitu yakin dengan hasil penyelidikanku semalam. Pasalnya semalam aku menyelidiki dengan perasaan takut.
Aku mulai meneliti setiap inci tubuhnya. Tak ada luka apapun di tubuhnya. Tanda kekerasan di tubuhnya pun nihil. Bahkan wajahnya tak pucat seperti kebanyakan mayat lainnya. Tubuhnya tak mengeluarkan aroma tak sedap. Ini aneh. Aku mencoba menelusuri bagian bawah tubuhnya.
Setelah memastikan tak ada bagian tubuh yang terlewat oleh mataku, aku berjalan meninggalkannya dan kembali berkumpul bersama dengan Medina dan Daniel yang sedang sarapan.
“Ayah dari mana?” tanya Daniel saat aku duduk di kursiku.
“Ayah ada urusan. Daniel hari ini di rumah dengan Mama ya. Ayah ada urusan dan mungkin akan pulang larut malam,” jelasku seraya mengusap puncak kepala Daniel. Daniel tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Hari ini tidak usah pergi-pergi dahulu. Jaga Daniel,” peringatku pada Medina.
“Mau pergi kemana? Uang saja tidak punya,” ujarnya menggerutu.
“Uang saja yang ada di pikiranmu. Mengapa dulu kau tak menikah dengan uang saja?” tanyaku dengan kesal.
Aku sudah cukup pusing dengan pekerjaan baruku, kini Medina menambahkan kekesalanku. “Ya kalau dulu kau tak menghamiliku, aku pasti sekarang sudah menikah dengan pria kaya! Tak sepertimu, hidup tak ada tujuan,” ucapnya lalu berjalan meninggalkan aku dan Daniel yang tengah menikmati sarapan.
Aku meraih jaket yang tersampir di punggung kursi dan mengecup dahi Daniel singkat sebelum aku pergi untuk menyelidiki arti tatto yang ada di tubuh pria itu. Aku mengemudikan mobil yang diberikan Pak Bram padaku, menuju ke kantor milik Pak Bram.
Aku akan meminta bantuan pada Danish. Pria yang ditunjuk Pak Bram untuk membimbingku selama aku menjalani masa percobaan. “Pak Danish,” ucapku saat Danish menemuiku di lobby kantor.
“Wah kau kah yang bernama Frank?” sapanya ramah aku hanya menggangguk menanggapi ucapannya.
“ku lihat dari garis wajahmu kau seorang yang sangat tepat bekerja di bidang ini, sepertinya kali ini Bram menemukan orang yang tepat untuk mengisi kekosongan posisi ini,” ujarnya seraya menuangkan segelas wine untukku. “Minumlah,, ini akan membuatmu lebih rileks,” ujarnya, aku meneguk minuman itu walau hanya sedikit aku merasa melayang, sepertinya alkohol yang di kandung minuman ini cukup tinggi.
“Jadi apa yang kau temukan dari tubuhnya?” tanyanya dengan senyuman smirk.
“Tak ada tanda kekerasan yang ia alami, tak ada luka sayatan di bagian tubuhnya,” ucapku menunjukkan foto-foto bagian tubuh mayat yang ku temui malam kemarin. Danish meneliti hasil foto yang ku tunjukkan.
Ia lantas menatapku menuntut agar aku memberikan keterangan lebih lanjut. “Aku menemukan sebuah tatto di pinggul sebelah kiri tubuhnya,” ujarku menunjukkan lembar foto selanjutnya.
Ia menatap foto itu dan berkata padaku, “Kau tahu artinya?” tanyanya padaku, aku menggeleng lemah. Aku berkata jujur, aku tak tahu makna dari foto itu.
“Maka dari itu aku mendatangimu,” ujarku, ia hanya tersenyum dan berkata.
“Selidiki makna dari gambar ini. kau bisa menggunakan komputer di rumahmu jika kau butuh untuk mengakses data-data penting. Atau kalau kau mau kau bisa menggunakan komputerku. Agar kau lebih cepat mendapatkan petunjuk,” ujarnya seraya menunjuk layar monitor dengan dagunya. Aku mengangguk cepat. Ia mempersilakan aku untuk memulai melakukan pencarian.
Jari jemari ku menari di atas papan ketik, mataku menatap huruf-huruf yang terpampang di layar monitor. Aku memijit pelipis mataku tatkala aku tak kunjung mendapatkan petunjuk. “Sudah menyerah?” tanya Danish dari balik tubuhku, aku mengendikan bahu menanggapi ucapan Danish.
“Gunakan kode ini,” ucapnya seraya memberiku secarik kertas bertuliskan deretan angka. Aku memasukkan deretan angka itu pada sistem di komputer. Aku menunggu hingga sistem selesai melacak kode yang aku masukkan. Tak lama layar komputer menunjukkan beberapa gambar. Aku mengamati detail gambar satu persatu.
300 foto sudah aku lewati, tak ada yang sama dengan tatto di tubuh pria itu. Aku menghela nafas lelah, aku menyandarkan punggungku seraya memikirkan langkah selanjutnya. Aku terdiam cukup lama, hingga aku memutuskan untuk kembali mencari petunjuk.
“Jangan mudah putus asa. Hari ini mungkin kamu baru di beri satu mayat. Besuk-besuk kau akan di berikan lebih dari satu. Jadi nikmati saja prosesnya,” ujar Danish yang tengah bersandar pada kursi kerjanya.
“Bahkan untuk menyelidiki gambar tatto saja membutuhkan waktu lama,” ujarku seraya mengalihkan pandanganku menatap Danish seraya menyalakan puntung rokoknya.
“Coba saja dulu lihat sampai akhir. Siapa tau kamu menemukan petunjuk,” ujarnya bersamaan dengan kepulan sapa yang menutupi wajahnya.
Dengan malas aku memulai kembali pencarianku. 10 menit mataku memandang layar monitor, menatap gambar-gambar yang terpampang. 3 foto tersisa, jika di antara ke tiga foto ini tak ada yang sama dengan tatto yang dimiliki pria itu, kemana lagi aku harus mencari petunjuk. 2 foto tersisa, aku belum juga menemukan gambar tatto yang serupa.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, bersiap pada kemungkinan terburuk yang akan terjadi. “Gak usah tegang banget. Rileks aja,” ujar Danish masih terus menghisap puntung rokoknya.
“Yes!!!” pekikku tanpa sadar membuat Danish terkejut hingga tersedak kepulan asap.
Sialan kau Frank!!” umpatnya, aku menatapnya seraya tersenyum lebar.
“Maafkan aku kawan, aku tak sengaja. Aku terlalu senang,” ujarku santai.
“Tunjukkan padaku apa hasil yang kau dapatkan?” ujarnya seraya berjalan mendekatiku.
Aku menunjuk layar monitor menggunakan daguku, Danish menatap layar monitor dan foto yang ku bawa secara bergantian. “Sudahkan, sekarang apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” tanyanya padaku.
“Aku akan menyelidiki markasnya dan siapa saja yang tergabung pada komunitas ini,” ujarku yakin.
“Kau yakin? Kau tak tahu siapa mereka?” tanya Danish kembali duduk di kursinya.
“Apa? Siapa mereka?” tanyaku.
“Mereka komunitas pecandu yang dikenal kejam dan.... dan kau tau kan apa yang akan ku katakan selanjutnya,” ujarnya dengan nada yang serius. Baru ini dia berkata dengan nada yang begitu serius, sejak tadi ia selalu bergurau dan kini ia menjadi sosok yang berbeda. “Coba kau baca mengenai komunitas itu,” ujarnya seraya menunjuk layar monitorku.
Aku membaca dengan teliti jajaran tulisan yang tersusun rapi. Satu persatu aku perhatikan hingga mataku tertuju pada kolom ke aktifan komunitas ini. “25 tahun lalu?” tanyaku seraya menatap layar monitor. Bahuku melemas, sepertinya ini akan menjadi penyelidikan yang sulit dan memakan waktu lama. Dengan membawa file yang baru saja ku temukan, aku kembali ke rumahku karena hari semakin malam.
Tak ada siapapun di rumahku, berulang kali aku memanggil nama Medina namun sepertinya sia-sia. Ia tak kunjung menjawab panggilanku. Aku berjalan menuju kamar Daniel. Aku tak menemukan Daniel di sana. “Mereka pergi kemana?” tanyaku pada diri sendiri. “Ahh mungkin mereka berjalan-jalan menghilangkan penat,” pikirku.
Aku berjalan menuju ruangan kerjaku. Setelah berhasil mengakses ruang bawah tanah, aku membuka penutup kain yang menutupi tubuh kaku pria ini. Aku terpaku pada tatto yang semalam ku lihat. “Bukannya semalam tattonya di sebelah kiri ya? Kok sekarang ada di kanan? Apa karna semalam aku setengah mengantuk sehingga aku nggak fokus” tanyaku entah pada siapa. Aku tak mau ambil pusing, mungkin memang aku yang tidak teliti semalam.
Setelah mendinginkan pikiranku dengan mengguyur tubuhku di dalam kamar mandi, aku menyalakan kompor dan mendidihkan air. Aku terpaksa merebus mie instant pasalnya Medina dan Daniel tak kunjung kembali.
Berkali-kali aku mencoba menghubungi ponsel Medina namun hasilnya sia-sia. Ia tak kunjung menjawab panggilanku. Aku menikmati mie rebusku di tengah rintik hujan yang menemaniku.
Tiba-tiba ponselku berdering menampakkan nama Medina disana. Aku menggeser layar ponselku, “Ya? Kau dimana? Mengapa keluar rumah tak berkata padaku terlebih dahulu? Kau tahu aku kelaparan saat ini,” ucapku saat sambungan telepon terhubung.
“Aku ingin kita berpisah saja,” ucap Medina membuat sendokku menggantung di udara.
“Mengapa? Kau sudah menemukan uang?” tanyaku, Medina hanya terdiam. Aku masih setia menunggu jawaban yang akan disampaikan Medina.
Apa yang membuat Medina meminta untuk berpisah? Apakah Frank berhasil mengungkapkan kematian pria misterius itu?