Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Karen, Bangunan Tua dan Mayat?

Bab 13 Karen, Bangunan Tua dan Mayat?

“Sebenarnya apa yang akan kau lakukan?” tanyaku seraya menatapnya nyalang.

“Aku?” tanyanya dengan tangan yang menunjuk dirinya sendiri.

“Tak ada, aku hanya ingin memastikan sesuatu.” Ia memalingkan wajahnya menatap jalanan yang begitu sepi, “Apa kau ingin menurunkanku?” tanyanya dengan nada suara yang sendu.

“Tentu.” Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “Aku tak ada kewajiban untuk terus mengikutimu. Kau memiliki keluarga dan keperluan sendiri. Begitu juga denganku. Aku memiliki kehidupan dan urusanku sendiri. Jadi, kalau kau tak mau mengatakannya sekarang ... aku akan menurunkanmu, detik ini juga.”

Ia menoleh menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Pandangannya, begitu dalam dan penuh tanya.

“Kau tega melakukan itu padaku?”

“Beri aku alasan mengapa aku harus peduli padamu?” pancingku seraya membalas tatapannya.

“Kau tak harus peduli padaku. Kau cukup mengantarkan ku mencari kebenaran dari semua ini.”

“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti ke mana arah pembicaraannya.

“Lupakan saja,” ucapnya seraya memalingkan wajahnya.

Aku kembali menatap jalan beraspal di depanku, jalanan ini begitu sepi tak ada satupun pengendara lain yang aku jumpai sepanjang jalan. Di depan sana terdapat sebuah bangunan yang terbengkalai. Aku semakin curiga dengan apa yang hendak dilakukan Karen.

“Jalan mana yang harus aku pilih?” tanyaku saat mobilku tiba di persimpangan jalan.

“Lurus. Masuk ke dalam bangunan itu,” ujarnya begitu dingin dan datar.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia begitu cepat berubah? Sungguh wanita yang tak terduga.

Semakin lama aroma anyir semakin terasa menusuk indra penciumanku. Tapi Karen terlihat begitu santai dan tak terganggu dengan aroma yang begitu menyengat.

Mobilku memasuki tanah luas yang berada tak jauh dari bangunan tua itu. Secara perlahan namun pasti aku memarkirkan mobilku hingga terparkir sempurna.

Karen nampak tak sabar ingin segera turun dari mobil. Ia bahkan mengabaikan awan mendung yang bisa sewaktu-waktu turun hujan.

Ia membuka seatbelt dengan terburu-buru, dan turun saat aku belum mematikan mesin. Ia melangkahkan kakinya dengan langkah cepat hampir berlari kecil.

Sebenarnya, aku curiga dengan apa yang hendak ia lakukan dan cari di dalam sana. Namun, rasa acuh dan egoku jauh lebih besar di banding rasa penasaranku.

Hampir satu jam aku menunggu Karen, namun ia tak kunjung kembali. Sebenarnya, apa yang ia lakukan di dalam sana.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan? Menyusulnya atau berdiam diri di sini menunggu ia kembali?” gerutuku seraya menatap lurus bangunan tua yang berada tak jauh dari tempatku berada.

“Bagaimana jika terjadi hal buruk di dalam sana, atau bagaimana jika ia ....” aku menjeda racauku, dan segera membuka seatbeltku.

Aku keluar dari mobilku, berjalan dengan lambat menuju ke pintu utama bangunan itu. Bangunan dengan cat yang sudah terkelupas dan juga plafon yang nyaris rubuh membuat tubuhku bergidik ngeri.

Namun, mau tak mau aku tetap harus masuk ke dalam bangunan itu untuk memastikan apa yang ia lakukan di dalam sana.

Beberapa langkah lagi, aku segera sampai pada ambang pintu yang sudah tak utuh lagi. Secara perlahan aku melangkahkan kakiku memasuki bagian dalam bangunan ini.

Pandanganku menyisir setiap inchi sudut rumah ini. pandanganku terhenti pada sebuah ruangan dimana Karen berdiri dengan tubuh menenggang.

Aku melangkahkan kakiku menghampiri Karen yang masih berdiri mematung. Aku menatap ke dalam ruangan yang tertutupi kaca di sekelillingnya.

Aroma anyir semakin terasa menusuk indra penciumanku. Sebenarnya tempat apa ini?

Pandanganku masih menyisir keadaan sekitar, melangkahkan kakiku secara perlahan namun pasti menghampiri Karen. Samar-samar aku melihat Karen tengah berbicara dengan seorang pria yang sudah berumur. Apa dia yang menjaga bangunan ini?

Netraku terus memperhatikan interaksi mereka berdua. Tampaknya Karen begitu dekat dengan pria itu. Samar-samar aku mendengar percakapan mereka. Mereka membicarakan mayat dan racun.

Karen, terlalu banyak rahasia di hidupnya. Entah ia yang pandai menutupi atau memang aku yang tak pandai membaca karakter seseorang.

“Frank,” panggilnya saat aku tiba di dekatnya. Ia menyebut namaku tanpa menoleh menatapku, seakan ia sudah tahu kehadiranku tanpa perlu melihatnya, wanita ini memang aneh dan tak mudah di tebak. “Tak usah bertindak dan berpikir berlebihan Frank. Bayanganmu terlihat begitu jelas pada pantulan kaca. Bagaimana aku tak mengetahuinya?” jelasnya seakan mengerti isi pikiranku.

“Kau memang aneh.”

“Mengapa kau mengikutiku?” tanyanya mengabaikan ucapanku.

“Mencari tahu apa yang sebenarnya kau cari,” sahutku jujur.

“Aku mencari jasad suamiku. Bukankah kau sendiri yang mengatakan jika besar kemungkinan ia mati terkena wabah dan berakhir di pembuangan mayat kan?” ujarnya seraya berbalik menatapku yang tengah menatapnya bingung.

“Jadi ... ini tempat?” tanyaku tak percaya.

“Kau bisa lihat sendiri apa yang ada di dalam sana.”

Aku menoleh, pandanganku menyapu seluruh ruangan, benar saja setiap ruangan terisi oleh mayat dengan berbagai bentuk. Mungkin mereka korban kecelakaan, bunuh diri atau terkena wabah. Mataku terhenti pada mayat yang masih utuh dan tak terdapat luka sedikitpun.

Tanpa ragu aku melangkahkan kakiku berjalan mendekatinya, namun baru beberapa langkah sebuah lengan berhasil menghentikan langkahku. Aku menoleh menatap pria yang tengah mencekal lenganku dengan pandangan yang menahan kesal.

Aku menaikkan sebelah alis seraya menatapnya dan lenganku bergantian. Bukan berniat angkuh, aku hanya tak mengerti apa yang ia maksudkan.

“Kau tak boleh sembarang mendekatinya,” peringat pria tua itu seraya menatapku dengan wajah yang serius.

“Kenapa? Bukankah di sini tempat pembuangan mayat, jadi jika aku ingin melihatnya bukanlah sebuah masalah yang besarkan?”

“Memang benar, semua yang kau ucapkan memang benar adanya. Hanya saja, kau tetap harus menunjukkan hubunganmu dengan mereka yang ada di sini.”

“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti maksud dari ucapan pria tua ini.

Karen menatapku dengan pandangan memohon agar aku menghentikan tingkahku, namun aku mengabaikan tatapannya. Aku ingin mendekati mayat itu, siapa tahu aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk dengan mayat aneh yang ada di rumahku.

Mayat itu, aku sudah meninggalkannya terlalu lama. Apalagi tubuhnya sudah terbuka. Aku harus segera kembali ke rumahku, akan sangat berbahaya jika aku meninggalkannya dalam waktu yang lama.

Tanpa aba-aba aku menyeret lengan Karen dan membawanya keluar dari ruangan yang di penuhi aroma anyir ini. Karen hendak memprotes tindakanku, namun secepat kilat aku menoleh menatapnya dengan tatapan tajam, sehingga membuat nyalinya ciut dan mengikuti langkahku tanpa protes sedikitpun.

Aku menaiki mobilku dengan terburu-buru. Aku sungguh melupakan kehadiran mayat aneh itu. Apalagi belakangan rumahku sering terjadi kejadian yang janggal dan tak masuk akal.

“Kenapa kau menyeretku? Kau tak ingin aku bertemu dengan jasad suamiku? Kenapa?” tanyanya membuat gerakanku terhenti sesaat.

“Aku hanya bercanda, mengapa kau menganggap pendapatku serius?”

“Bagiku untuk masalah sepenting ini tak ada kata bercanda, Frank.” Karen menatapku dengan pandangan mata yang menyalang.

“Kenapa? Aku hanya berbicara kemungkinan yang mungkin terjadi. Belum tentu terjadi kan? Salahmu sendiri terlalu cepat dan mudah percaya dengan orang.”

Ia tak lagi menjawab ucapanku, ia hanya diam dan memalingkan wajahnya menatap jalanan. Aku menghela nafas, ada rasa bersalah yang menjalar di benakku. Nasibnya hampir sama denganku, ditinggal pergi oleh orang yang paling penting di hidup kami. Bedanya, aku tahu jika Medina dan Daniel masih hidup, sedang ia? Ia sama sekali tak mengetahui keberadaaan suaminya.

“Jadi, ke mana lagi aku harus mencarinya?” tanyanya tanpa menatapku.

Aku ingin menjawab pertanyaannya, tapi sepertinya aku tak memiliki jawaban yang tepat untuk menghilangkan rasa khawatirnya. Rasanya aku lebih baik diam saja, dan berpura-pura tak mendengar apa yang ia tanyakan.

“Aku tahu, kau sedang berpura-pura tak mendengar pertanyaanku kan?” tebaknya sesuai dengan isi hatiku.

“Memang kau bertanya apa?” ujarku senormal mungkin.

“Lupakan. Tak akan penting untuk hidupmu.”

Aku mengedikkan bahu acuh, untung saja ia tak mengulang pertanyaan yang akan membuatku kelimpungan. Aku memacu mobilku dengan kecepatan sedang, jalanan yang berkelok, ditambah lagi dengan jalanan yang licin karena air hujan yang baru saja mengguyur kota ini.

Perjalanan dari bangunan tua itu menuju ke rumahku membutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu jam aku menghabiskan waktuku untuk dapat segera kembali ke rumahku. Berulang kali kudengar Karen menghela napas berat, aku tahu rasanya ditinggalkan. Karena, aku sendiri mengalaminya. Sehingga, sedikit banyak perasaan yang tengah ia rasakan sama dengan yang tengah aku rasakan.

“Kau jauh lebih beruntung dariku, Frank,” ucapnya secara tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi sekian lama.

“Apa maksudmu?”

“Setidaknya kau masih memiliki kesempatan untuk melihat istri dan anakmu, sedangkan aku? keberadaannya saja aku tak tahu,” ucapnya dengan raut wajah sedih.

“Kelak kau akan segera menemukan jawaban dari setiap pertanyaanmu.”

“Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?” tanya Karen membuatku tersedak air liurku sendiri. “Kenapa? Sepertinya kau sangat terkejut dengan pertanyaanku.”

“Tak apa,” balasku cepat.

“Jadi ... apa pekerjaanmu?” ulangnya dengan pertanyaan yang sama.

Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat dan tak membuatnya bertanya lebih lanjut.

Apakah Frank akan mengatakan pekerjaannya pada Karen? Atau ia memilih tetap menyembunyikannya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel