Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Karen dan Halaman Belakang

Bab 14 Karen dan Halaman Belakang

“Tak usah berpikir berlebihan. Aku kan hanya bertanya apa pekerjaanmu, kau bisa menyebutkannya. Karena jujur saja, aku heran denganmu. Kau sering menghabiskan waktu di rumah namun, rumah dengan segala isinya terlihat begitu mewah, selain itu mobil ini dan juga beberapa alat perlindung diri yang ada di rumahmu. Barang-barang yang kau miliki tergolong mahal dan tak murah tapi mengapa kau memilikinya, sedangkan kau selalu menghabiskan waktu dengan berdiam diri di rumah? Dan mnegurung diri di sebuah ruangan yang kau sebut sebagai ruang kerja?” ucapnya panjang lebar menjelaskan alasan dari pertanyaannya.

“Kalaupun aku menjelaskan padamu, kau tak akan pernah mengerti.”

“Dan ... dengan semua yang kau miliki mengapa istrimu pergi meninggalkanmu? Ini sangat aneh,” ujarnya seraya menerawang.

Aku tak menjawab pertanyaannya, bukan tak mau aku hanya tak ingin ia masuk terlalu dalam dengan permasalahan hidupku. Sekarang ini aku harus segera sampai ke rumah dan mencari tahu penyebab kematian mayat aneh itu.

Tetapi entah mengapa, pikiranku melayang pada mayat yang kulihat saat di bangunan tua tadi. Aku sendiri tak mengerti mengapa, namun yang pasti aku yakin, aku bisa menemukan penyebab kematian mayat aneh yang ada di rumahku dari mayat yang ada sana.

Sepanjang jalan aku masih terus memikirkan bagaimana cara agar aku dapat mengakses gedung tua itu. Jujur saja aku masih penasaran dengan mayat aku lihat tadi. Aku melirik Karen yang tengah menatap lurus jalanan yang ada di depannya.

“kenapa?” tanyanya seakan tahu apa yang sedang aku lakukan.

“Bukan,” sahutku singkat dan bersikap seolah aku tak memikirkan apapun.

“Kau ini, aku kan menanyakan alasan bukan jawaban singkat seperti apa yang kau ucapkan barusan.”

Aku mencoba mengabaikan ucapan Karen dan memfokuskan pandanganku pada jalanan yang terhampar di hadapanku. Karen tampak mendengus dan melirikku menggunakan ujung matanya sinis.

Setibanya di rumahku, aku segera memarkirkan mobilku dan berjalan meninggalkan Karen yang tengah mengikat rambutnya.

“Kau malam ini ingin memakan apa?” tanyanya dari arah belakangku.

Aku membalik tubuhku dan menatapnya yang tengah berdiri tepat di depanku.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanyanya.

“Memakan?”

“Ohhh, hanya terdapat imbuhan me saja membuatmu menatapku seakan aku tengah membunuh anak dan istrimu,” ujarnya begitu santai. “Jadi kau ingin makan apa?” ulangnya.

“Apapun,” sahut ku singkat tanpa menatap Karen. “Kecuali racun,” lanjutku.

“Kau seperti cenayang.” Karen berlalu mendahuluiku yang masih terdiam dengan tingkahnya. Ia berjalan menuju pintu utama rumahku dengan kepala yag bergoyang ke kanan dan kiri, serta senandung lirih yang keluar dari bibir tipisny.

“Lama-lama aku akan menjadi orang gila sungguhan jika terus berdekatan dengan manusia aneh sepertinya,” keluhku lirih.

Jemari lentik Karen begitu santai membuka pintu rumahku, ia berjalan dengan santai memasukki rumahku dan mengabaikan sang tuan rumah yaitu aku.

“Kurasa ini masih rumahku,” sindirku membuat Karen menoleh menatapku santai.

“Memang.”

Aku berjalan melewati Karen yang masih berdiam diri seraya menatapku dengan tangan yang dilipat di depan dada. “Bukankah ada pepatah yang mengatakan jika tamu adalah raja. Maka aku adalah tamu dan aku adalah raja,” ucapnya seraya berjalan membuntutiku. “Ralat aku adalah ratu.”

Aku tak mempedulikan Karen dan terus melangkahkan kakiku menuju ruangan kerjaku. Tanpa kusadari, Karen ternyata mengekoriku hingga ke depan pintu kerjaku.

“Apa yang kau lakukan?”

“Hah?” sahut Karen dengan terkejut karena gerakanku yang tiba-tiba. “Aku? Aku kenapa?” lanjutnya seakan hendak mengelabuiku.

“Tugasmu bukan di sini. Tugasmu ada di dapur. Pergilah. Dalam waktu 15 menit jika tak ada satupun hidangan yang layak untuk aku nikmati maka kau akan aku ....”

“Aku pergi sekarang!” pekiknya seraya lari terbirit-birit

Aku memutar knop pintu ruangan kerjaku, namun tak lama sebuah suara kembali mengangguku. “Tunggu! Bagaimana caranya aku dapat menghubungimu?” ucapnya seraya meyembulkan kepalanya dari balik tembok yang menjadi pemisah antara ruangan kerjaku dan juga ruang keluarga.

Aku menatap Karen yang tengah memandangku dengan wajah polosnya. Aku melupakan satu hal. Karen bukanlah Medina yang memiliki seribu cara untuk memecahkan sebuah masalah. Jika Medina dapat menemukan sendiri solusi dan jawaban dari setiap masalah yang sedang ia alami, maka Karen akan memilih untuk bertanya dan menunggu seseorang mengulurkan bantuan.

“Sepertinya, sudah cukup lama kau berpikir. Bisakah kau segera menjawab pertanyaanku?”

“Hmm,” sahutku seraya menunjuk sebuah kertas yang tertempel pada dinding temparnya berdiri dengan menggunakan ujun daguku.

Setelah menjawab pertanyaannya aku segera memasuki ruang kerjaku. Mengabaikan Karen yang masih menatapku bingung.

“Pertama, nyalakan komputer,” ujarku memerintah diriku sendiri.

Aku terduduk dengan tangan menopang dagu, menanti layar komputerku menampilkan deretan aplikasi yang baru aku pelajari beberapa minggu lalu. Aku mengeluarkan ponsel yang tak bersuara sejak pagi tadi. Memastikan tak ada pesan penting yang belum kubaca.

Keningku berkerut saat menatap layar berukuran lima inch itu. “Kosong? Danish tak menghubungiku?” tanyaku dalam hati seraya menatap heran layar ponselku yang menampilkan percakapanku dan Danish terakhir kali.

Sejak pagi tadi Danish sama sekali tak menghubungiku padahal, beberapa hari lalu ia sangat rajin menghubungiku dan memerintah agar aku segera menyelesaikan kasus ini, namun entah mengapa seharian ini ia sama sekali tak mengganggu dan menerorku.

Ada rasa senang yang menyelimuti hati ini saat pria berusia tiga puluh tahun itu tak menghubungi dan menggangguku. Setidaknya, aku bisa dengan leluasa memikirkan langkah yang akan aku ambil dan juga aku dapat berpikir dengan tenang.

Meskipu begitu, aku tetap membutuhkan masukan dari pria yang terkenal dingin dan angkuh itu. Pria yang kedudukkannnya tepat berada di bawah Pak Bram sang pemilik perusahaan sekaligus pria yang ditunjuk secara langsung sebagai tentorku dalam menangani beberapa kasus kematian.

“Apa aku harus menelpon pria kesepian itu? Atau lebih baik aku datangi saja ke kantornya? Siapa tahu ia meninggal karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol dan menghisap nikotin?” rancauku lirih seraya memainkan ponselku.

Mengapa hidup ini begitu runyam? Hidupku selalu dipenuhi dengan orang-orang yang bertingkah anaeh. Mulai dari Medina, Karen, Danish dan jangan lupakan mayat aneh yang kini berbaring dengan tenang di ruang bawah tanahku. Permasalahan yang mana yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.

Berulang kali aku menghela nafas lelah, sekelebat bayangan mayat yang ada di gedung tua itu masih terbayang dengan jelas di ingatanku. Bagaimana keadaannya, bentuk fisiknya, juga aroma tak sedap yang menusuk di indra penciumanku.

Aku berjalan menuju jendela yang berada di sisi kanan ruangan kerjaku, jendela yang langsung menghadap halaman belakang rumah ini. Gersang, itulah yang menggambarkan halaman belakang rumah ini.

Kemarin memang Medina yang bertugas merapikan taman, ia salah satu wanita yang sangat amat tergila-gila oleh pepohonan dan juga tanaman hias. Sekarang? Sudah hampir seminggu Medina keluar dari rumah ini, yang artinya sudah seminggu pula taman ini tak terurus.

“Sepertinya merapikan taman bisa menjadi solusi dari kegelisahanku ini,” lirihku setelah berdiam diri cukup lama dan menatap tanaman yang telah layu.

Berkebun, dulu Medina sering berkata kepadaku jika dengan berkebun ia dapat melupakan masalahnya sejenak, selain itu berkebun adalah kegiatan yang menyenangkan, bermain dengan tanah yang dihiasi cacing-cacing yang menggeliat membuat hati terasa tenang. Perkataan itulah yang selalu ia utarakan setiap kali aku memprotes kegiatannya.

Dulu di rumah kami yang lama, walau kecil dan sederhana kesan hijau dan asri begitu terasa. Sepertinya aku harus mencoba ide gila Medina yaitu bermain dengan cacing dan tanah.

Aku bergegas meninggalkan ruangan kerjaku, mengabaikan layar komputer yang telah menyala, aku juga meninggalkan layar ponsel yang masih menampilkan percakapan terakhirku dengan Danish.

“Astaga!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel