Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Medina, Karen dan Kepergian

Bab 12 Medina, Karen dan Kepergian

“Jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi padanya? Atau ia lupa jika memintaku menunggunya? Tapi ku rasa tak mungkin ia pergi begitu saja tanpa memberiku kabar,” pikirku tak jelas. “Tapi jika memang ia ingin pergi mengapa memintaku untuk menunggunya?”

Aku masih terus memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi pada wanita aneh bernama Karen itu.

Kulirik arlojiku sekali lagi, tepat 30 menit sejak ia mengatakan ingin menemui seseorang yang ia sebut orang. Aku mengedarkan pandanganku, siapa tahu aku bisa menemukannya dan menyeretnya untuk segera pulang.

“Bodoh! Mengapa aku tak meneleponnya?” tanyaku seraya merutuki kebodohanku. Aku menyalakan ponselku dan mencari kontak telepon Karen, “Ck, aku bahkan tak memiliki nomor ponselnya. Jadi, sekarang apa yang harus aku lakukan?”

Aku bagaikan orang gila yang berbicara seorang diri, tanpa lawan bicara dan tanpa seorangpun yang berdiri di dekatku.

“Apa lebih baik aku tinggalkan saja dirinya? Siapa tahu ia tengah berkencan dengan seorang pria dan pria itu akan mengajak wanita aneh itu pergi dari sini. Sehingga, hidupku akan kembali bebas seperti sedia kala.” Aku mengedikkan bahu acuh dan bangkit dari kursiku.

Saat aku berjalan menyusuri jalanan taman kota yang penuh bebatuan alami ini, mataku memincing menatap objek yang menarik perhatianku.

“Bukankah itu Karen dan ....”

Kira-kira siapa yang dilihat oleh Frank? Dan siapa yang tengah bersama dengan Karen hingga membuat Frank begitu terkejut.

“Bukankah itu Karen dan ....” aku menjeda ucapanku memastikan sosok yang tengah mengobrol dengan Karen.

Wajah Karen dan wanita itu tampak begitu serius dan tegang. Aku masih memicingkan mataku melihat gerak-gerik Karen dan wanita itu.

“Haruskah aku mendekati Karen? Atau aku membiarkannya dan duduk dengan manis di dalam mobil?” tanyaku pada angin yang berhembus membawa kesejukkan dan juga membawa duka.

Aku masih diam di tempat memikirkan langkah apa yang akan aku ambil. Pandanganku tak sedikitpun lepas dari aktivitas Karen dan wanita yang terasa tak asing bagiku.

Dari kejauhan kulihat Karen menahan emosinya, terlihat dari kedua tangannya yang mengantung di sisi tubuhnya mengepal begitu erat. Hingga mungkin buku-buku tangannya memutih dan meninggalkan bekas di sana.

Wanita itu mendorong tubuh Karen hingga tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Namun, entah mengapa Karen masih tetap diam dan tak membalas apa yang di perbuat wanita itu.

Rasanya aku ingin menghampirinya dan membantunya agar wanita asing itu tak berbuat tindakan kekerasan lagi pada Karen. Bukan karena apa-apa, aku hanya tak suka melihat seorang wanita yang dengan mudah bermain tangan pada orang lain.

Terlebih lagi, beberapa hari ini Karen membantuku menyiapkan sarapan dan juga makan malam. Jika tak ada Karen, mungkin aku akan menjadi penyantap setia dari mie instant.

Keahlian memasakku sangat minim, dulu memang aku pandai memasak namun sejak menikah dengan Medina, ia tak pernah mengijinkanku untuk memasukki ranah dapur. Ia selalu menyuruhku bekerja pagi dan malam.

Keahlian memasak Karen hampir sama dengan Medina, namun cita rasa masakan mereka agaknya sedikit berbeda. Masakan Medina cenderung minim bumbu, sedangkan Karen ia sangat senang bermain bumbu. Sehingga, cita rasa masakan Karen lebih bervariasi dan terasa pas di lidah.

Aku tahu mengapa Medina menggunakan bumbu dengan minim, pasalnya hidupku dulu tak seperti sekarang. Yang bisa kapan saja berbelanja dan menggunakan mobil sebagai transportasi utama kami.

Aku kembali memfokuskan diri pada Karen, tubuh Karen bergetar. Dia menangis? Seorang wanita seperti Karen menangis? Sungguh tak bisa dipercaya.

Tanpa pikir panjang aku menghampiri Karen yang tengah bersitegang dengan lawan bicaranya. Langkah kakiku semakin lama semakin dekat dengannya.

Dari jarak sedekat ini membuatku merasa tak asing dengan wanita yang ada di hadapan Karen. Aku memperlambat langkah kakiku. Samar-samar aku mendengar pria itu menyebut nama seorang pria, jangan-jangan wanita ini yang merebut dan menyembunyikan suami dari Karen.

“Frank,” panggil Karen dengan wajah terkejut menatapku.

Tubuh wanita di hadapannya menegang mendengar Karen menyebut namaku. Ia menoleh ke arahku secara perlahan.

“Medina,” sebutku saat ia menoleh menatapku dengan sempurna.

Medina, wanita yang bersiteru dengan Karen adalah istriku? Bagaimana bisa aku tak mengenalinya.

“Fra ... Frank,” ucapnya terbata, setelah itu ia berlari meninggalkan aku dan Karen yang menatapnya bingung.

“Medina!!” pekikku seraya mengejar langkah kakinya. “Medina! Berhenti! Medina! Aku ingin bertemu dengan Daniel!!” pekikku seraya mempercepat langkah kakiku.

“Tak ada!” sahutnya dengan suara yang tak jauh keras dari suaraku.

“Apa maksudmu? Medina hentikan langkahmu! Aku hanya ingin bertemu dengan Daniel. Sekejap!”

“Tak perlu. Ia tak butuh Ayah sepertimu! Jangan cari aku ataupun Daniel. Urus hidupmu sendiri.”

“Tentu! Aku akan mengurus hidupku sendiri!” ucapku menghentikan kejaranku. Percuma mengejar Medina, kemampuannya dalam hal berlari jauh di atasku.

Mengejar Medina sama saja menghantarkanku pada kematian. Aku bisa-bisa kehabisan nafas hanya untuk mengimbangi langkah kakinya.

Aku membalikkan tubuhku, berjalan menghampiri Karen yang masih terdiam di tempatnya tanpa mengubah posisinya sedikitpun. Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua?

Karen menunduk, menunduk sangat dalam. “Kenapa?” tanyaku seraya menatapnya tajam.

“Kenapa apanya?” tanyanya tanpa menatapku, ia masih menunduk dalam-dalam.

“Angkat pandanganmu! Tak sopan berbicara tanpa menatap lawan bicara.”

Ia mengangkat pandangannya dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, “Ck, kau mengenalnya?”

“Siapa?” tanyaku singkat, aku melangkahkan kakiku beranjak dari tempat ini menuju ke mobilku, hari semakin senja aku harus segera kembali ke rumah, sebelum kawanan kupu-kupu pembawa wabah datang menyebarkan virusnya.

“Lupakan. Kau tak inginkah bertanya mengapa aku berdebat dengannya?” tanyanya dengan nada yang terdengar aneh.

Aku menaikkan sebelah alisku dan berkata, “Bukan urusanku.”

“Bukankah ia istrimu?” tanyanya membuatku menghentikan langkah sejenak dan kembali melanjutkan langkahku.

“Iya dia istriku,” sahutku dalam hati, ingin sekali aku melontarkan jawaban itu, namun Medina sudah tak mau mengakuiku sebagai suaminya, jadi untuk apa aku mengakuinya sebagai istriku?

“Mengapa kau diam saja? Aku benarkan dia istrimu?” ulangnya seraya mensejajarkan langkah kakiku.

“Kau ingin mengunjungi tempat lain?” tanyaku berusaha mengalihkan pertanyaannya.

“Bisakah kau antarkan aku ke sebuah tempat?” pintanya dengan nada sedikit melunak.

Aku memang sedang jenuh di rumah, apa lebih baik aku pergi saja mengantarkannya? Mungkin saja ada informasi yang akan aku dapatkan darinya.

“Katakan kau ingin kemana.”

“Sungguh? Kau sungguh mau mengantarkanku?” tanyanya begitu antusias dan riang.

Aku hanya mengangguk dan mulai menyalakan mesin mobilku.

“Terima kasih Frank. Kukira kau orang yang jahat, ternyata kau memang bukan orang yang baik.”

“Apa maksudmu?” tanyaku menatapnya tajam.

“Memang aku berkata apa tadi? Seingatku aku tak berkata apapun. Kau salah dengar mungkin. Telingamu itu harus segera dibersihkan agar tak terjadi sebuah kesalahpahaman.”

“Ck. Diamlah.”

Ia mengerucutkan bibirnya bergaya selayaknya gadis remaja. Aku menatap jalanan yang ada di hadapanku. Menjalankan mobilku tak tahu arah.

“Kau ingin ke mana?” tanyaku melirik Karen dari ujung mataku.

“Kau sungguh ingin mengantarku?” tanyanya dengan mata yang berbinar.

“Cepat katakan, penawaranku berlaku dalam 5 menit, terhitung dari sekarang.”

Ia menyebutkan sebuah alamat, yang aku sendiri tak tahu tempat apa yang ingin dia tuju. Ia berbicara sepanjang jalan, memberiku petunjuk jalan yang harus aku lalui. Dan dengan bodohnya, aku menuruti semua ucapannya tanpa sedikitpun mengeluh dan protes.

“Setelah ini, jalan mana?” tanyaku karena beberapa meter lagi adalah sebuah persimpangan.

“Ambil kanan, setelah itu kita akan memasuki sebuah kawasan di mana aku akan menemukan suamiku, mungkin.” Pandangannya menatap fokus ke arah jalanan yang terhampar.

Di sisi kanan dan kiri terdapat pepohonan yang menjulang tinggi hampir menyentuh langit. Dengan tebing bebatuan yang terjang dan menyeramkan. Jika aku tak pintar mengemudikan mobilku mungkin aku akan berakhir di bawah sana.

Jalanan beraspal dan hanya dapat dilalui oleh sebuah kendaraan membuat jalanan ini tampak lebih menyeramkan. Agaknya, baru sekarang aku menemukan jalanan ini atau mungkin memang aku yang tidak pernah tahu?

“Sebenarnya kau ini hendak ke mana? Kita sudah keluar rumah terlalu jauh. Tidakkah kau takut akan wabah yang bisa kapan saja datang dan menyerang kita?” tanyaku dengan menahan kesalku.

“Kenapa aku harus takut dengan wabah? Pemerintah sudah menyiapkan obat dan tenaga medis yang bisa membantuku agar sembuh, jadi aku tak perlu terlalu khawatir,” sahutnya begitu santai.

“Kau pikir pemerintah hanya mengurus masalah ini? Banyak hal lain yang harus mereka pikirkan. Contohnya, bangkit dari keadaan ini, masalah ekonomi negara yang mengalami penurunan. Kalau kau berpikir begitu, maka seluruh rumah sakit akan penuh dengan orang-orang yang memiliki jalan pikir yang sama denganmu.”

“Tunggu kau mengucapkan begitu banyak kata, namun ....” ia menjeda ucapannya dan beralih menatapku “Namun tak ada yang aku pahami dari ucapanmu. Jadi, bisakah kau mempersingkat ucapanmu?”

Jika saja ia bukan seorang wanita mungkin sudah aku turunkan sejak tadi. Aku menghela nafas menahan rasa kesalku padanya.

“Dari mana kau mengenal Medina?” tanyaku setelah berhasil menahan kekesalanku.

“Media?” tanyanya dengan wajah innoncent,

“Medina. Jangan merubah nama orang sesuka hatimu,” peringatku padanya.

“Oh namanya Medina. Kau mengenalnya?” balasnya dengan melemparkan tanya padaku.

“Kau tinggal menjawab, kau mengenal Medina? Dari mana kau mengenalnya?” selidikku seraya menatapnya tajam.

“Aku tak mengenalnya. Nyatanya, aku menanyakan namanya padamu, benarkan?” balasnya jujur.

“Kau tidak berbohong?” tanyaku masih tak percaya padanya.

“Apa yang harus aku tutupi? Bertemu dengannya saja baru hari ini.”

Aku menatapnya curiga, mana mungkin ia tak mengenal Medina. Mereka tampak begitu dekat tadi, tetapi, mengapa ia tak mau mengaku?

Aku mengabaikan segala tanya yang ada di benakku tentang kedekatan Karen dan Medina. Kini, mobil yang aku kemudikan telah memasuki sebuah kawasan yang terasa asing bagiku.

Sebuah kawasan yang dipenuhi oleh pepohonan yang rimbun dan juga aroma anyir di mana-mana. Sebenarnya, apa yang hendak dilakukan oleh Karen? Mengapa ia membawaku ke tempat seperti ini?

“Sebenarnya apa yang akan kau lakukan?” tanyaku seraya menatapnya nyalang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel