Bab 11 Daniel, Anakku?
Bab 11 Daniel, Anakku?
“Tunggu!!!” pekik Karen saat aku hendak membuka pintu mobil.
Aku menatap tingkah Karen yang secara tiba-tiba mendatangiku. Aku menatapnya sambil bertanya-tanya.
“Bisakah kau mengantarku untuk bertemu dengan seseorang?” tanyanya seakan mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
“Kemana?” tanyaku singkat.
“Ke sebuah tempat. Kau hanya memiliki dua pilihan. Iya atau tidak. Jadi mana yang akan kau pilih?” ucap Karen dengan santainya.
Untuk hari ini, aku akan mengalah. Aku sedang malas berdebat dengannya. Pikiranku tengah kacau. Terlalu banyak beban pikiran yang aku tanggung. Kini kehadiran Karen di rumahku, menambah daftar ke sialan dihidupku.
“Kau sebenarnya mau pergi atau ...kita hanya diam di sini hingga malam tiba?” tanyanya tanpa rasa bersalah. Belum kuberi izin, Karen sudah duduk di kursi penumpang mobilku tanpa mengucapkan permisi.
“Apa maksudmu?” Aku menatapnya kesal.
“Tuh.” Karen menunjuk kemudiku dengan menggunakan dagunya.
“Memang aku belum ingin menyalakan mesin. Aku ingin tahu apa alasanmu hingga kau mau ikut keluar denganku.”
“Jadi, kau maunya aku bagaimana? Kau mau aku berdiam diri di rumahmu?” tanyanya dengan wajah yang datar. “Oke. Aku akan kembali ke dalam rumahmu dan ...masuk ke dalam ruang kerjamu,” ujarnya dengan wajah yang riang. “Aku penasaran ...sebenarnya apa yang kau sembunyikan hingga tak mengizinkanku masuk ke dalamnya?” netra Karen menerawang entah kemana.
“Diamlah.” Aku segera menyalakan mesin mobilku.
Karen duduk dengan tenang, ia tak banyak berkomentar. “Tumben. Apa yang sedang terjadi padanya? Sepertinya ia sedang mengalami sesuatu,” batinku seraya meliriknya.
“Mengapa? Ada yang aneh denganku? Salah. Ada yang benar denganku? Mengapa kau menatapku seolah aku ini adalah orang yang waras?” tanyanya membuatku bingung.
“Sudahlah. Aku lelah berdebat denganmu. Apa kau tak lelah selalu berdebat denganku?” tanyaku putus asa. Aku tak tahu apa yang sebenarnya ada dipikirannya. Ia begitu mudah mengubah-ubah moodnya. Kadang senang, kadang datar, kadang aneh.
“Kau mau kemana Frank?”
“Tak bisakah kau tak banyak bertanya? Diam saja.” Aku memutar mata jengah dengan tingkah Karen.
“Aku tak banyak bertanya. Aku baru mengajukan satu, dua, tiga, empat—“ Aku menatapnya nyalang, ia mengakhiri ucapannya dengan wajah yang sok imut.
“Ingat usiamu, kau tak pantas berekspresi begitu.”
Setelah aku mengucapkan kalimat itu, Karen hanya diam dan memalingkan wajahnya menatap kaca jendela. Dalam hati aku merasa tak enak, jangan-jangan ia tersinggung dengan ucapanku. Aku ingin mengucapkan maaf namun rasa gengsiku telah menguasai hatiku.
“Kau kenapa diam saja?” tanyaku hati-hati.
Karen menatapku datar membuat rasa bersalahku menjadi berkali-kali lipat.
“Aku? Sedang menghemat tenaga agar nanti aku tak kelelahan,” balasnya membuat bola mataku membulat sempurna.
Jadi? Rasa bersalahku sia-sia? Aku menatapnya sengit. Bagaimana bisa aku dengan mudah terkecoh oleh tingkah aneh wanita ini.
“Di mana suamimu?” tanyaku setelah menetralkan kekesalanku.
“Suami? Mati ...hilang?” sahutnya seraya menerawang. “Tak tahu,” imbuhnya seraya mengedikkan bahu acuh.
“Jangan bercanda. Aku bertanya serius. Aku tak ingin jika nanti, aku harus terseret kasus. Karena dituduh menyembunyikan istri orang.”
“Apa kau melihat raut bercanda di wajahku?” tanyanya seraya menatapku jengah.
Aku hanya diam, malas menjawab ucapannya. Tak akan ada habisnya, ia tak akan mungkin mau mengalah berdebat dariku. Pantas saja jika suaminya pergi meninggalkannya.
“Aku juga tak tahu ia ke mana. Malam itu ....” ia kembali bersuara setelah hening cukup lama. “Malam itu, menjadi malam terakhir aku melihat wajahnya. Wajahnya yang begitu tampan dan manis. Seharusnya malam itu aku menahannya untuk tak pergi.”
Karen menceritakan kisah hidupnya dengan nada yang sangat pilu. Walau ia tak menangis entah mengapa ucapannya mengambarkan betapa ia menyesali keputusannya.
“Memang ia pergi kemana?” tanyaku mencoba mencari informasi darinya.
Ia mengedikkan bahunya lemah dan berkata,”Jika aku tahu, aku akan menyusulnya dan memintanya untuk segera kembali padaku. Sayangnya, ia menghilang begitu saja.”
Aku masih setia mendengarkan ia bercerita, seraya menyiapkan jawaban jika sewaktu-waktu ia bertanya keberadaan Medina dan Daniel.
“Kau sendiri –“
“Pergi,” sahutku singkat tanpa menunggu ia selesai mengutarakan pertanyaannya.
“Kau sendiri bisa membantuku menemukan suamiku?” lanjut Karen dengan santainya.
“Kau menanyakan hal itu?” tanyaku tak percaya dengan isi pertanyaannya.
“Iya. Memang kau berharap aku bertanya tentang apa?”
“Bukan apa-apa. Lupakan,” sahutku cepat.
Bodoh, bagaimana bisa aku mengira jika ia menanyakan istri dan anakku. Wanita seperti Karen tak akan peduli dengan hal-hal yang tak berhubungan dengannya.
“Mengapa kau jadi diam saja?”
Aku menggeleng menjawab pertanyaan Karen, aku masih kesal dengannya. walau sesungguhnya ini bukanlah kesalahannya tapi tetap saja aku kesal dengannya.
Sudah hampir 30 menit mobilku hanya berputar-putar di sekitar taman kota tanpa tujuan yang jelas. Aku berulang kali menghela nafas, rasanya sangat sulit untuk bisa bernafas lega. Walau aku membuang jauh-jauh pikiranku tentang Medina dan Daniel, namun tetap saja bayangan manis saat keluarga kecilku berkumpul membuatku kembali merindukan kehadiran mereka.
Sejauh apa pun aku pergi meninggalkannya, sekeras apa pun aku berusaha melupakan rasa cintaku pada Medina tetap saja pada akhirnya aku merasa kesepian. Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat.
“Kau ini kenapa? Sedari tadi hanya menghela nafas, menghela napas dan menghela naas,” keluh Karen seraya memandangku kesal.
“Bisakah kau diam?” ucpaku dingin dan datar.
“Sebenarnya kau ini ingin kemana? Kurasa dari tadi kita hanya berputar-putar di titik yang sama. Kau ingin menghabiskan bahan bakarmu atau kau ingin membuatku mati karena pusing?” keluhnya membuatku memutar bola mata jengah.
“Kalau kau tak suka kau bisa turun sekarang.”
“Kau mengusirku? Kau tega membiarkan seorang wanita sepertiku seorang diri di jalanan yang begitu sepi ini?” ucapnya mendramatisir keadaan.
Aku mengabaikan ucapan Karen. Aku tak peduli lagi dengan ucapannya. Yang aku butuhkan saat ini ialah mencari sebuah tempat yang sepi dan senyap untuk memikirkan langkah dan strategiku selanjutnya guna memecahkan misteri kematian mayat asing itu.
Akhirnya aku memarkirkan mobilku di pelataran taman. Tak banyak pengunjung yang datang, hanya ada beberapa kendaraan yang terparkir. Aku melepaskan seatbeltku dan mematikan mesin mobil.
Aku melirik Karen dari sudut mataku, ia tak bergerak sedikitpun. Matanya menatap lurus kedepan, aku mengikuti arah pandang Karen, namun aku tak kunjung menemukan apa yang membuat Karen tak merubah pandangannya.
“Kau tak mau turun?” tanyaku seraya menatapnya malas.
“Mengapa berhenti di sini?”
“Setahuku, ini masih mobilku jadi aku berhak menghentikannya di manapun aku mau. Memang kenapa? Kau takut akan terkena wabah itu?”
“Kau berpikir aku setakut itu?”
Aku mengedikan bahu acuh seraya berkata, “Entahlah. Aku bukan peramal yang bisa menebak isi hatimu. Jangan-jangan ....” aku menjeda ucapanku membiarkan ia penasaran dengan apa yang akan aku sampaikan. Dan benar saja, Karen memfokuskan pandangannya padaku.
“Jangan-jangan apa?” kesalnya.
“Jangan-jangan suamimu mati karena terkena wabah. Lantas di buang oleh pemerintah dan ya, kau tak akan bertemu lagi dengan suamimu,” ucapku dengan nada riang.
“Katakan sekali lagi?” tantangnya.
“Suamimu –“ ucapku terpotong kala aku mendengar sebuah suara yang begitu familiar di telingaku. “Daniel,” lirihku, namun sayang Karen masih dapat mendengarnya.
“Siapa Daniel? Temanmu?” tanyanya seraya menatapku curiga.
Aku mengabaikan pertanyaan Karen dan segera turun dari mobilku, mengabaikan kehadiran Karen yang masih menatapku bingung. Bahkan aku tak sempat mencabut kunci mobilku.
“Daniel!” Aku berteriak seraya menyebut nama Daniel berulang kali.
Aku terus berlari mengikuti langkah kaki seorang anak kecil dengan perawakan yang sama dengan putraku –Daniel-
“Frank!!” pekik Karen yang berlari mengejarku.
Aku mengabaikan panggilannya, bagiku yang terpenting saat ini adalah bertemu dengan Daniel. Sungguh, aku sangat merindukan Daniel, putra semata wayangku.
Medina, walau aku kecewa akan tindakannya namun bagaimanapun juga ia adalah wanita satu-satunya di hatiku. Baik kemarin, sekarang ataupun nanti.
“Frank! Apa kau sudah tuli? Aku berteriak memanggilmu seperti orang gila namun kau mengabaikanku dan berjalan tanpa menoleh sedikit pun padaku,” omel Karen saat berhasil meraih pundakku.
Aku menatapnya kesal, karena ulahnya kini aku kehilangan jejak anak laki-laki yang menyerupai Daniel.
“Kenapa? Apa ada yang salah denganku?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Ya! Kau salah. Kenapa kau mengejarku?” ketusku, akibat perdebatan kami kini kami menjadi tontonan bagi pengunjung taman kota.
“Karena kau meninggalkanku?”
“Ck, berhentilah mengucapkan kata-kata seolah kita ini sepasang suami istri.”
“Kita?” ucapnya seraya menunjuk diriku dan dirinya secara bergantian, “Suami istri?” lanjutnya yang masih memasang wajah polos. “Astaga!” pekiknya dengan tangan yang menepuk jidat.
Aku hanya diam dan menatap apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia mengedarkan pandanganya menatap seluruh penjuru taman kota ini. mengapa ia begitu mudah melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Karen masih sibuk menatap sekeliling taman, berusaha mencari-cari seseorang.
Sebenarnya apa yang ia cari? Apakah ia berharap menemukan suaminya di sini? Atau ia berharap dapat bertemu dengan seseorang yang akan membuat jiwanya sedikit waras.
“Apa yang sedang kau cari?” tanyaku karena jengah menatapnya yang bertingkah aneh.
“Orang,” sahutnya singkat.
“Kau pikir aku ini apa? Yang ada di taman ini semuanya manusia.”
“Aku tengah mencari orang bukan manusia,” sahutnya tak mau kalah dari.
“Terserah kau saja, aku lelah berdebat denganmu sepanjang waktu.”
“Tunggu. Aku menemukan orangnya. Bisakah kau menungguku sejenak. Kau bisa menungguku di bangku yang ada di sana atau kau bisa menungguku di ....” ia menjeda ucapannya dan mengedarkan pandangannya menatap sekeliling, “Di mobilmu. Tunggu aku sejenak ya. Hanya 30 menit, setelah itu aku akan segera mendatangimu.” Setelah mengucapkan hal itu ia segera berlalu dari hadapanku.
“Bodoh. Dia pikir aku siapa? Supirnya? Anak buahnya? Seenak hati memerintahku dan menyuruhku untuk menunggunya,” gerutuku selepas kepergian Karen.
Walau aku kesal dengan singkapnya namun, entah mengapa aku menuruti ucapnnya. Nyatanya, kini aku tengah duduk di salah satu bangku taman dan menunggu ia datang.
Berulang kali aku menatap jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Sudah 20 menit ia pergi namun, ia tak jua kembali. Kemana ia?
“Jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi padanya? Atau ia lupa jika memintaku menunggunya? Tapi ku rasa tak mungkin ia pergi begitu saja tanpa memberiku kabar,” pikirku tak jelas. “Tapi jika memang ia ingin pergi mengapa memintaku untuk menunggunya?”
Sebenarnya ke mana Karen pergi? Dan, apakah Frank akan tetap menunggu Karen atau memilih meninggalkannya?