Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. My Boss

"Mau kamu gimana sekarang?" tanya Nuna memastikan kembali.

"Nggak tahu, ah. Orang nggak hamil juga, aku pinjam baju kamu, ya. Nanti jam 10 ada CEO baru kita, ah masak lupa." Andin mencoba normal kembali, walaupun mentalnya tidak baik-baik saja.

"Awas kamu, ya. Sampai kamu hamil, aku tidak mau bantu kamu!" Ancam Nuna begitu melihat Andin santai sekali.

"Iya, bawel. Baju mana baju." Andin mulai menghindar merubah topik pembicaraan.

"Ada di koper, ambil sendiri aja." Nuna kesal dengan sikap Andin yang masa bodoh.

Andin pun masuk ke dalam kamar mandi. Sebenarnya tubuh Andin sakit semua hasil pergulatan semalam. Perih saat terkena air Andin meringis kesakitan. Tangis pun pecah tiba-tiba saat mengingat Nuna berbicara jika Tuhan berkehendak semua bisa terjadi.

Air shower yang hangat itu membasahi tubuh Andin. Di dalam percikan Air Andin pun menangis tersedu-sedu. Bagaimana jika ia hamil Andin pun tahu harus berbuat apa.

"Tuhan … kuatkan aku, untuk menghadapi semua ujian ini."

Selesai mandi Andin yang sudah berpakaian dan berdandan cupu menghampiri Nuna. Nuna mengerutkan dahinya karena melihat mata Andin sembab habis menangis. Andin pun salah tingkah diperhatikan oleh Nuna.

"Ada apa?" Andin malu-malu.

"Habis nangis?" tanya Nuna dengan nada mengejek.

"Nggak, siapa juga habis nangis!" Andin mengelak di hadapan Nuna.

"Bohong, lihat matamu bengkak." Nuna menarik tangan Andin di depan cermin.

Andin menatap wajahnya di cermin pun tidak bisa bohong. Matanya terlihat bengkak, padahal baru saja menangis. Cukup 30 menit membuat mata Andin bengkak.

"Aduh, gimana dong!" Andin panik. "Nanti banyak orang, malu."

Nuna memang sahabat yang baik. Nuna berjalan mendekati Andin lalu memakaikan kacamata ke wajah Andin. Andin tersenyum lalu memeluk Nuna selalu memberikan solusi.

"Ini 'kan kacamata aku," ucap Andin, "terima kasih, selalu ada solusi di saat aku ada masalah." Andin cengengesan.

"Dasar, kamu. Jadi orang itu jangan naif, apa pun yang kamu tutupi, aku pasti tahu."

***

"Maaf, Tuan. Saya terlambat." Ghani menundukkan kepalanya.

"Mau saya pecat, kamu! Pakai telat segala. Sudah kamu cari belum? Wanita yang tidur bersamaku semalam?" Dipta berucap saja sedingin itu.

"Sudah, Tuan. Ini flashdisk-nya." Ghani tidak berani melawan Dipta ia hanya diam saja.

Dipta tidak menjawab ia duduk di meja dan di hadapannya ada sebuah laptop lalu flashdisk ia masukkan. Dipta melihat dari Ghani keluar dari kamar hotelnya selang beberapa saat Felicia masuk dengan berjalan sempoyongan. Dipta melihat wajah Andin itu jelek saat sebelum masuk ke kamar hotel. Dipta melanjutkan rekaman CCTV tersebut melihat Andin masuk ke kamar mandi lalu keluar bertabrakan dengan dirinya. Wajah Andin cantik setelah keluar kamar mandi.

"Apa dia sengaja membuat wajahnya yang cantik itu, menjadi jelek?" batin Dipta mengingat adegan panas yang ia lakukan semalam.

"Bagaimana, Tuan." Ghani menghancurkan lamunan Dipta.

"Jadi kenapa dia bisa masuk? Sedangkan kunci dia berbeda?" Dipta masih bingung.

"Sepertinya saya salah, Tuan. Kemungkinan saya keluar lupa memastikan pintu tertutup dengan benar." Ghani menundukkan kepalanya lagi.

Jujur, Ghani takut jika Dipta marah dirinya bisa saja dipecat sekarang juga. Di luar dugaan Ghani, Dipta biasa saja. Dipta malah penasaran dengan wanita yang ia tiduri semalam.

"Cari wanita itu, aku ingin bertemu dengannya lagi." Dipta memerintahkan sambil menutup laptop di hadapannya.

"Baik, Tuan." Ghani merasa lega dan heran. "Di luar prediksi BMKG, kenapa si Kulkas malah penasaran, bukannya malah marah? Secantik apa wanita ini? Aku lihat di CCTV dia gadis buruk rupa," batin Ghani.

"Ghani! Astaga, kamu melamun apa? Aku panggil dari tadi." Dipta sedikit emosi.

"Maaf, Tuan."

"Capek saya Ghani! Denger kamu minta maaf. Hari ini kita akan menyapa karyawan 'kan?" Dipta memastikan.

"Benar, Tuan. Sebentar lagi, sekalian sarapan pagi, kita menyapa para karyawan yang datang hari ini," jelas Ghani.

"Ayo, kita ke sana sekarang." Dipta berdiri lalu berjalan diikuti oleh Ghani.

***

Andin dan Nuna sudah duduk dan memesan sarapan pagi. Penyambutan CEO kali ini berbeda tidak ada hal resmi karena ini memang hanya say hello saja. Nino pun duduk 1 meja dengan Andin dan Nuna, sedangkan Elsa dan Mirna agak jauh dari mereka. Nuna menatap Mirna seperti ingin menerkam. Namun, Mirna tidak peka dengan tatapan Nuna.

"Din, kok makanan kamu cuma diaduk-aduk aja? Nggak enak, ya," tanya Nino dengan rasa perhatiannya.

"Nin, kamu itu ganteng. Kenapa si, tiap hari aku perhatiin kamu selalu perhatian sama, Andin?" tanya Mirna tiba-tiba nimbrung.

"Kung jalang kung, di sini ada pesta, datang nggak dijemput pulang nggak diantar," sela Nuna kesal dengan bernyanyi.

"Maksud kamu, apa?" Mirna menggebrak meja merasa tidak terima disamakan dengan setan.

"Kenapa? Marah? Kamu sih, cari masalah!" Nuna langsung berdiri.

"Nun, udah, Nun. Nggak usah cari masalah," lirih Andin sambil menarik-narik ujung pakaian Nuna.

"Diam, kamu Andin!" bentak Nuna.

Nuna merasa jika Mirna dan Elsa biang keladi semua ini. Nuna akan membuat pelajaran untuk mereka berdua. Elsa mendengar keributan pun langsung mendekat.

"Ada apa si, kok ribut-ribut?" tanya Elsa.

"Teruntuk Ibu Menejer! Yang terhormat, jika Ibu mempunyai moral, Ibu tidak akan berbuat jahat kepada sahabat saya ini, sampai membuat dia mabuk." Nuna berucap sangat tegas.

"Kamu berani sama saya?!" tanya Elsa tidak terima dengan teguran Nuna.

"Ibu salah, bukannya minta maaf, malah memainkan kekuasaan." Nuna membalas.

"Kamu …." Elsa sudah mengangkat tangan ingin menampar wajah Nuna yang kurang ngajar.

"Stop!" Tangan Ghani menghalangi Elsa menampar pipi Nuna.

"Oh, jadi semalam mabuk, karena Elsa," batin Dipta yang mengamati sekitar sambil mencari yang ia cari Andin.

Andin hanya diam saja, tak berani melawan. Hanya Nuna yang berani melawan Elsa selama ini Nuna selalu membela Andin jika kerjai teman sekantor. Dipta menatap Andin tak berkedip sekali pun membuat Andin canggung.

"Tampan banget," batin Nuna melihat Ghani telah membelanya bak pahlawan di mata Nuna.

"Pak Ghani, maafkan saya." Suara Elsa bergetar merasa ketakutan.

"Tolong, jaga sopan santun kalian, Tuan Dipta ada di sini." Ghani mempersilakan Dipta untuk mendekat.

Para karyawan pun berdiri menyambut kedatangan Dipta. Dipta pun menyuruh mereka duduk. Andin yang menatap Dipta seperti tidak percaya. Ternyata ia tidur bersama bosnya sendiri.

"Halo semuanya, terima kasih yang sudah datang kemari untuk menyambut kedatangan saya." Dipta memberi sambutan.

Semua karyawan yang datang pun memberi tepuk tangan. Andin hanya menunduk mencoba ingin kabur dari sana. Nuna yang terhipnotis oleh ketampanan Ghani, ia pun antusias mengikuti acara ini.

"Kamu kenapa, Din?" tanya Nuna heran saat melihat gerak-gerik Andin seperti patung tak bergerak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel