4. Digendong My Boss
"Emb, nggak pa-pa kok." Andin tersenyum tawar. "Aku yakin, jika Nuna tahu, CEO baru itu yang tidur bersamaku semalam, dipastikan pria itu langsung disuruh menikahiku," batin Andin.
"Ganteng banget, ya pria itu tadi, siapa namanya tadi?" tanya Nuna sambil melihat ke arah Ghani.
"Ghani, asisten pribadi sekaligus tangan kanan CEO kita," jawab Nino.
"Lalu siapa CEO kita namanya?" tanya Andin polos.
"Dipta," jawab Dipta yang di belakang tubuh Andin.
"P-pak!" Andin langsung berdiri lalu membalikkan tubuhnya.
"Salam kenal, Pak. Saya Nuna, ini Nino, dan ini Andin." Nuna memperkenalkan para sahabatnya itu.
Andin hanya menundukkan kepalanya tidak berani melihat ke arah Dipta. Dipta hanya tersenyum kaku. Terlihat seperti kulkas sedang bersosialisasi.
"Iya, saya pergi dulu " Dipta menyapa yang lain.
"Ih, auranya dingin kaya freezer," ucap Nuna.
Andin merasakan ada yang aneh di tubuhnya terasa berat. Tiba-tiba kepalanya pusing lalu ia pingsan. Tanpa diduga Dipta dengan cekatan menangkap tubuh Andin yang pingsan.
Elsa dan Mirna langsung mendelik melihat adegan yang terjadi. Banyak membuat iri para gadis di sana. Dipta langsung menggendong Andin lalu membawanya ke kamar hotelnya. Nuna mengikuti di belakang Dipta takut terjadi sesuatu.
Nino hanya melihat tidak bisa berbuat apa-apa. Nino sudah kalah satu langkah dengan Dipta. Sejujurnya, Nino sudah tahu jika Andin itu wanita cantik. Waktu dulu Nino tanpa sengaja pernah berpapasan dengan Andin tanpa make up buatan Andin. Dari situ Nino kagum dengan Andin rela menutupi wajah cantiknya itu demi alasan yang tidak diketahui oleh Nino. Rasa kagum Nino mengubah menjadi rasa suka dan menjadi cinta.
"Ghan, panggil Dokter!" perintah Dipta yang masih menggendong Andin.
"Baik, Tuan." Ghani langsung dengan cepat menghubungi dokter.
Sampai di kamar hotel Dipta, ia meletakkan Andin dengan pelan. Dipta terlihat panik membuat Nuna merasa aneh. Nuna pun mendekati Andin lalu memberikan minyak angin di hidung Andin.
"Untung bawa ini," ucap Nuna tidak terlalu panik.
"Apa mungkin dia hamil?" batin Dipta dengan polosnya. "Tapi mana mungkin," lirih Dipta.
"Kenapa, Pak? Bapak ngomong apa, ya?" Nuna sedikit mendengar Dipta bergumam.
"Emb, nggak." Dipta salah tingkah.
Andin pun bergerak memegangi kepalanya yang pusing. Andin sadar membuat Dipta dan Nuna merasa lega. Tak lama Ghani membawa dokter perempuan masuk ke dalam.
"Kamu nggak pa-pa, Din." Nuna duduk di samping Andin yang berada di ranjang.
"Pusing." Andin tetap memegangi kepalanya.
"Tuan, saya sudah membawa, Dokter Rina. Untuk memeriksa." Ghani melihat ke arah Dokter Rina.
"Saya akan memeriksa, Nona dulu." Dokter Rina mendekati Andin lalu memeriksanya.
"Gimana keadaannya, Dok?" tanya Dipta yang terlihat khawatir.
"Tumben banget si Kulkas ini, perhatian? Aku sakit aja, dia nggak peduli! Keburu si Buruk Rupa ini pingsan, khawatir banget," batin Ghani sambil mengamati Andin. "Wait-wait! Hah! Ini wanita yang semalam tidur bareng Tuan Dipta, si Buruk Rupa! Jangan-jangan Tuan Dipta ada perasaan, apa jangan-jangan semalam sangat mengesankan?" pikir Ghani sudah kacau dengan wajah Andin jelek itu.
"Baik, Tuan. Sepertinya, Nona hanya kelelahan, semalam tidur jam berapa, Nona? Dan, sudah sarapan pagi, atau semalam mabuk juga?" tanya Dokter Rina memastikan.
"Saya semalam tidak ingat tidur jam berapa, kemungkinan sebelum subuh, Dok. Belum sarapan, nggak enak makan. Dan saya juga mabuk semalam," jawab Andin jujur.
"Ya, sudah. Nona makan saja, saya akan beri vitamin dan penghilang rasa sakit kepalanya." Dokter Rina pun selesai tugas.
"Ghan, pesan sarapan pagi sekarang juga, yang banyak!" Suara Dipta memerintahkan begitu tegas.
Andin dan Nuna saling pandang mereka berdua merasa aneh melihat sikap Dipta seperti itu. Nuna merasa curiga dengan sikap Dipta yang perhatian. Andin mencoba berdiri untuk menolak sarapan dari Dipta.
"Pak, nggak usah! Saya nggak lapar, saya mau keluar aja dari sini, mau pulang." Andin menatap Dipta dengan tatapan memohon.
"Kamu keluar dari pintu ini, jangan pernah datang lagi ke perusahaan." Dipta duduk di sofa sambil menatap wajah Andin dengan tatapan seperti ingin memangsa.
Andin langsung membalikkan tubuhnya duduk di samping Nuna. Andin sudah habis kata-kata jika harus membahas pekerjaan. Apalagi dipecat Andin mau kerja apa nanti.
"Ini Tuan, pesanan Anda." Ghani mempersilakan pelayan masuk membawa makanan.
"Taruh di meja, kita berempat, ayo sarapan bersama." Dipta orang dingin, tetapi hatinya tetap lembut kepada orang sekitar.
Sarapan pun telah selesai, Andin dan Nuna berpamitan ingin pulang ke rumah. Sejujurnya Dipta ingin berbicara berdua dengan Andin. Setelah dipikir kembali ini bukan waktu yang tepat.
"Pak, saya ucapkan terima kasih, atas perhatian Bapak, udah manggil dokter untuk saya, memberikan saya sarapan pagi, dan saya izin pamit pulang bersama teman saya," ucap Andin sedikit membuat Dipta kagum.
"Gadis yang santun," batin Dipta. "Iya." Hanya itu yang keluar dari mulut Dipta.
Andin dan Nuna pun keluar dari kamar hotel Dipta. Andin merasa lega keluar dari kamar harimau yang kapan saja bisa menerkam. Entah sampai kapan Andin akan merahasiakan Dipta dari Nuna. Dipta adalah pria yang tidur bersamanya semalam.
"Din, kok aku merasa aneh, ya." Nuna berjalan sambil berpikir tentang Dipta.
"Aneh kenapa?" tanya Andin sudah merasa tubuh sudah membaik.
"Pak Dipta itu 'kan, nggak kenal sama kamu? Kita baru ketemu pagi ini, pertanyaannya kenapa dia mau bantu kamu?" Nuna mengutarakan isi hatinya.
Andin sedikit panik jika ia salah menjawab pertanyaan Nuna. Bisa semuanya terbongkar begitu saja habis Andin. Nuna sangat kritis jika berpikir.
"Itu perasaan kamu saja, Nun. Dia ada di sana tadi, otomatis dia bantu aku, apalagi dia nggak jauh dari aku berdiri tadi. Niatnya aku tadi mau ke toilet, eh malah pingsan." Andin mencoba meyakinkan Nuna.
"Oh, begitu ya." Nuna tetap saja masih tidak yakin.
***
"Tuan, tidak tertarik dengan wanita tadi, 'kan?" tanya Ghani yang kepo.
"Apa maksud kamu, Andin?" Dipta yang fokus dengan laptopnya.
"Iya, Tuan. Tadi terlihat panik," terang Ghani.
"Perasaan kamu saja, Ghan. Tidak mungkin aku tertarik dengan wanita tadi." Dipta tidak mau mengakuinya.
***
"Pagi, semuanya!" seru Nuna dengan antusias.
"Senin kelabu, nggak semangat ngantor." Andin menompang wajahnya dengan tangan.
"Harusnya bahagia dong, 'kan kemarin abis digendong Pak Dipta," goda Mirna sambil tersenyum tawar.
"Iri, ya. Nggak pernah dipedulikan pria tampan," sela Nuna.
"Nun, bisa nggak si? Nggak ngajak aku ribut." Mirna kesal Nuna selalu ikut campur.
"Ingat, ya. Jika kamu selalu mengganggu Andin, aku nggak akan tinggal diam." Nuna sinis.
"Sudah-sudah, kita 'kan temen sekantor, nggak boleh ribut, ok." Andin malah jadi penengah.
"Din, kamu dipanggil Bu Elsa, suruh ke ruangannya," ucap salah satu teman kantor.
"Mampus ada apa ini? Apa aku mau dipecat?"