Chapter 8 : Beautiful Places
"Sial, kau membuat ku benar-benar ingin melakukannya Laura. Aku tidak bisa menahannya,"Maxent menyatukan kening mereka, menatap lekat mata biru gadis itu dan mengusap sudut pipinya lembut.
Laura menelan ludah, membalas tatapan Maxent yang begitu membuatnya hilang akal di tengah rasa mabuk yang begitu melanda. "Hm- I want to, do it!"
Deg!!
Jantung keduanya berdetak bersamaan, hangat, ada getaran lain yang semakin kuat di dalamnya. Terjadi sangat spontan seperti sang cupid sudah menancapkan panahnya tepat. "Tapi, aku takut membuat mu kecewa. Aku tidak pernah melakukannya, Laura."
Seketika, gadis itu tersenyum simpul dan memegang tengkuk Maxent dengan tangan kirinya begitu kuat, hingga kedua kaitan mata mereka semakin lekat. "Kau menghinaku Maxent, I'm a virgin!"
Maxent terdiam sejenak, membalas tatapan Laura yang sangat menggodanya semakin jauh. Ia merapatkan gigi, menelan ludah sejenak dan memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Shit!"umpatnya sarkas lantas meremas dada gadis itu dan kembali menguasainya dalam. Laura mengangkat tubuhnya, merasakan tangan pria itu melesat memeluknya.
Tap!!
Tubuhnya mendadak terangkat, saat ia melingkarkan kedua lengannya di leher Maxent. Tidak sedetikpun ciuman mereka lepas, seakan sengaja untuk membuat seluruh ruangan iri. Laura terengah, merasakan bibir bawahnya di gigit kuat, sungguh pria itu membuatnya tidak terkontrol hingga akhirnya Laura mendengar suara pintu terbuka. Ya Tuhan, ia baru sadar, bahwa Maxent membawanya ke ruang lainnya, lebih privasi.
"Sepertinya, aku menyukai mu Laura!"bisik Maxent saat tubuhnya sudah melekat di atas ranjang, ia semakin berdegup, menatap lancang mata pria lain yang mungkin sebentar lagi akan merebut hidupnya. Sungguh, tidak pernah ada satupun pria yang berhasil membuatnya tergeletak lemas seperti ini.
"Maxent.."suara Laura parau, tersendat di tengah ruangan temaram tersebut. Ia mengapit tubuh Maxent dengan kedua pahanya, mendorong bawahan yang masih melekat di tubuh pria tersebut.
"Ah! Shit,"Maxent meremas rambut gadis itu kuat, menciumnya, mencumbu lekat hingga memberanikan diri untuk melepas underwear milik gadis itu. Sial— gerakan yang di lakukan Laura semakin kuat. Ia tidak ingin berhenti, seluruh gairah sudah benar-benar menguasainya.
"Maxent please!"bisik Laura berharap semua di mulai dengan cepat. Sebentar, pria itu masih mempersiapkan diri, ia masih takut, ragu dan semuanya bercampur menjadi satu.
Ia memilih mencumbu Laura, mendengarkan napas yang semakin kuat. Ia suka suara gadis itu, sangat nikmat saat menusuk melewati daun telinganya.
"Motherfucker!"maki Laura tidak sabar, ia menarik kancing bawahan Maxent dan merasakan pria itu menurunkan bawahannya. Meloloskan dari benda sialan itu hingga lenyap.
Brakk!!
"Fuck!"Maxent menarik kedua paha Laura, melebarkan dan membuat tubuh gadis itu beringsut dekat. Pria itu sangat di puncak, ia tidak akan tahan lebih lama lagi.
"Ahh! Maxent!"Laura mendongakkan kepala, meremas dadanya sendiri untuk menahan rasa sakit yang sedang berlangsung entah berapa detik di bawah sana. Ia sanggup, hingga akhirnya pria itu memenuhinya.
"Ohw God!"keluh Laura dengan suara yang semakin serak, ia mengembalikan pandangannya menatap Maxent yang mulai bergerak di dalam dirinya perlahan.
"Maxent..!"Laura menekan bahu pria tersebut, menancapkan dengan ujung kukunya yang tajam hingga merasakan gerakan yang berubah semakin kasar di tiap detiknya.
Mereka mengerang, menghabiskan waktu hingga sekian jam untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan untuk pertama kalinya. Maxent tidak seburuk itu, ia membuat Laura terpesona dan hal tersebut berlaku sebaliknya. Keduanya liar, agresif dan panas. Semua terjadi sangat natural, hingga akhirnya Maxent melepaskan diri, membuang hidupnya di luar.
_________________
Delapan jam kemudian
Delapan jam kemudian...
Maxent menatap kolam yang ia buat layaknya danau, tidak terlalu luas, namun, tempat itu sangat nyaman dengan air yang super jernih. Maxent meminta seseorang untuk mengganti airnya minimal dua hari sekali.
"Harusnya aku menahan diri semalam!"pikir Maxent sembari meremas rambutnya kuat. Ia menggigit bibir, lantas, memikirkan banyak hal yang tengah bersarang di otaknya saat ini.
"Maxent!"
Deg!!
Mendadak, jantung pria tersebut berdetak saat mendengar sebuah suara yang kini membuat pikirannya kacau. Ia menoleh lambat, melihat gadis itu melangkah pelan ke arahnya.
"Laura."pria itu menelan ludah, entahlah, apa yang harus ia katakan sekarang. Gadis itu tersenyum kecil, terus mendekat dan meletakkan sebuah mug berisi mocacinno di sisi pembatas antara danau.
"Untuk mu! Jangan khawatir, aku tidak menyesal atas apa yang sudah kita lakukan!"Laura menelan saliva, membuat sorot mata Maxent menatap kilat ke arahnya. Ia mengeluh pelan, meraih mocaccino tersebut dan meneguk nya sedikit.
"Setidaknya aku bisa membalas Steven."
"Jadi, apa kau memilihku hanya karena kekasih mu, Laura?"balas Maxent sembari meremas kuat besi pembatas. Laura mengeluh, ia mengulum bibir dan mengedarkan seluruh pandangannya ke tiap tempat.
"Beautiful, aku tahu, mansion ini punya banyak hal, tempat ini favorite ku, sederhana dan sepi. Biarkan aku sering datang ke sini Maxe!"ucap Laura tanpa membalas pertanyaan pria tersebut.
"Laura aku menyukai mu!"Maxent menarik lengan gadis itu, mendekatkan diri dan menatapnya lekat hingga sepersekian detik. Ia melepaskan begitu saja perasaannya.
"I know. Mungkin aku juga, tapi— sangat tidak masuk akal jika keluarga Morgan bisa berdampingan dengan orang seperti ku, Maxent,"balas Laura sedikit bergetar. Ia menunduk, tidak ingin menatap pria tersebut kembali.
"Laura aku—"Maxent terdiam saat gadis itu mencium bibirnya hangat. Ia membalasnya, memutar haluan wajah dan meremas pinggul gadis itu kuat.
"Ada ratusan orang mati di tangan ku, Maxent, dan aku tidak ingin kau terluka jika kita bersama, terlalu berisiko."
"Aku bisa melindungi mu, Aku memiliki Golden vogos!"
"Percayalah, teman dunia maya mu itu tidak akan bisa membantu ku, Golden Vogos jauh berbeda dari The Prinsphone, kami melakukan tindakan kriminal secara nyata, Maxent,"terang Laura membuat pria tersebut langsung tersenyum smirk.
"Aku tidak peduli dengan keduanya untuk mencintai mu, jujur saja, aku baru saja memutuskan hubungan ku dengan seorang wanita, aku akan mengejar mu Laura!"ucap Maxent tegas, lantas, memutar tubuhnya segera untuk menjauhi gadis itu dengan cepat.
"Dasar kepala batu!"umpat Laura sembari mengeluh kasar dan mengedarkan pandangan matanya kembali ke seluruh area tempat.
Gerakan tersebut berhenti, saat menangkap kilat ponsel mahal Maxent yang terlupakan. Laura tersenyum tipis dan segera meraih benda tersebut.
"Hm! Mudah sekali untuk ku untuk membuka kunci ponsel ini,"gumamnya sembari menekan-nekan layar ponsel tersebut dengan jari lentiknya.
Tap!
Laura membuktikan ucapannya, ia berhasil membobol ponsel Maxent hanya dalam dua puluh detik. "Kira-kira dia menyimpan nomor ponsel ku dengan sebutan apa?"pikir Laura. Ia meraih sakunya, menekan layar ponsel miliknya sendiri dan melakukan panggilan cepat pada nomor Maxent.
"CHILI CALLING"
Laura mengerutkan kening, menaikkan satu alisnya tinggi, mencoba memahami nama yang di semata kan oleh pria tersebut.
"Chili?"gadis itu mendengus, mengepal tangannya kuat dan melihat Maxent kembali melangkah mendekat ke arahnya. Mungkin, ia baru saja ingat bahwa ponselnya tertinggal di tempat tersebut.
"Mencari ponsel mu, sayang?"tanyanya dengan wajah polos, hingga pria tersebut langsung mengangguk pelan sembari mengedarkan pandangan matanya di sekitar tempat.
"Ini, ambil saja Chili mu sana!"
Byurrr!!
"Laura!!!"pekik Maxent saat melihat gadis itu melempar ponselnya ke dalam air dan langsung memutar tubuhnya ke pembatas untuk melihat benda itu jatuh hingga dasar.
"Maaf, Chili mu ini tidak sengaja!"ucapnya dengan suara yang begitu santai membuat Maxent mengepal tangan begitu kuat.
"Sial!"umpat Maxent sembari menangkap tubuh gadis itu dan mengangkatnya sangat mudah.
"Maxent turunkan aku! Maxent!"Laura protes, ia menggerakkan tubuh letihnya sebisa mungkin.
"Diam! Kau harus mengambil ponsel ku!"tukas Maxent sembari melangkah, melewati tangga danau dan melempar Luara ke dalamnya.
"Maxent sialan!"pekik Laura lantang sembari merasakan tubuhnya melayang hingga jatuh ke dalam air. Ia tenggelam, mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang terasa oleng.
Tap!!
Maxent menarik kerah pakaiannya, menaikkan tubuh gadis itu dari dalam air dan memeluknya sangat erat, tanpa menunggu lama, kedua bibir mereka kembali rapat tanpa jarak sedikitpun.
____________________
"Laura, kau dari mana saja? Kami semua mencari mu!"tanya Gia saat gadis itu baru saja menginjakkan kakinya di sisi markas.
"Bukan urusan mu!"balas Laura melewati wanita tersebut begitu saja.
"Laura berhentilah bersikap sesukamu, The Prinsphone bukan hanya ada kau. Aku, Marvel, Steven dan ribuan anggota lainnya, jadi berhentilah bersikap kekanakan!"sentak Gia parau membuat gadis itu kembali memutar haluan tubuhnya. Ia tersenyum tipis dan memerhatikan Steven baru saja bergabung di hadapannya.
"Apa kalian tahu apa yang terjadi dengan ku semalam, Marvel, apa dia tidak memberitahu kalian soal kejadian di club tersebut? Ah— aku lupa, mungkin pria itu lari dan segera meninggalkan ku untuk menyelamatkan diri. Hm— apa tidak ada satupun berita yang kau tonton? Gia? Steven?"tanya Laura membuat kedua nya diam sejenak, saling menatap satu sama lain.
"Ah! Aku pikir kalian tahu, hanya saja, kalian tidak peduli, karena yang terpenting bukan lah aku, tapi The prinsphone. Ayolah, pekerjaan apa lagi yang kalian terima?"tanya Laura membuat Steven melangkah menuju ke arahnya.
"Aku tidur bersama Maxent!"Laura melepaskan syal yang bergantung di lehernya, lalu pakaiannya, membiarkan Steven menatap tubuh yang cukup penuh dengan kissmark.
"Laura. Apa yang kau lakukan!"
Tap!!
Steven menangkap leher gadis itu, mencengkeram kuat lantas mendorong nya hingga ke tembok. Laura hanya diam, merasakan cekalan itu semakin kuat dan melemaskan seluruh ototnya. Ia menangis, menitikkan air mata merasakan pasokan napasnya semakin tipis.
"Steven!"pekik Marvel dari kejauhan sembari melangkah cepat dan menendang pria itu dengan kuat hingga terpental. Laura beringsut jatuh, memegang lehernya dengan kedua tangan dan mengambil napas sebanyak mungkin.
"Laura,"Marvel menangkap tubuh gadis itu, menatap Steven dan Gia bergantian, lantas, menjauhkan Laura dari keduanya tanpa pikir panjang. Baiklah, selama ini, Marvel memang sering mengusik Laura, namun, hal tersebut hanya sebatas menggoda. Tidak terbesit di pikirannya untuk menyakiti ataupun memanfaatkan gadis tersebut.
"Siaalll!!"erang Steven dengan suaranya yang lantang, ia meninju sebuah kaca besar yang tidak jauh dari Gia yang memekik kuat.
Praannggg!!
Benda itu pecah seketika, jatuh berantakan di lantai dan membuat kepalan tangan Steven terluka cukup parah. Ia memutar tubuhnya kembali, menatap Laura yang kini menghilang dari pandangannya.
"Tidak akan, aku tidak boleh kehilangan Laura. Tenang Stev, dia milikmu, apapun yang terjadi, Laura milikmu, ya— apapun itu,"pikirnya berulang-ulang sembari merasakan napasnya yang terasa begitu cepat. Ia menelan ludah, mulai merasakan Gia mendekatinya, bicara dengan nada panik. Tapi, sungguh suara itu seakan mengecil di otaknya, hanya Laura yang bersarang penuh. Hanya Laura Channing O"Kefee.