Chapter 9 : Robbery
Laura mengeluh kasar, ia mengulum bibirnya sejenak sembari memperhatikan nomor antrian bank yang tengah ia pegang sekarang. Baiklah, ia sudah memikirkan semuanya matang selama dua hari terakhir, Laura memutuskan untuk menarik sebagian uang nya dan memindahkan ke satu tempat yang lebih aman. Menurutnya, menggunakan tabungan berbasis web akan lebih aman walaupun tidak ada jaminan khusus di dalamnya.
"Ah! Kenapa lama sekali, aku bosan!"tukas Laura sembari mengedarkan pandangan matanya ke setiap tempat.
"Kosong?"tanya seorang gadis yang mendadak muncul dari sisi kanannya. Familiar dan Laura hanya membalas nya dengan anggukan pelan.
"Kau antrian berapa?"tanya gadis itu membuat Laura segera memutar haluan tubuhnya yang tegas. Ayolah, sungguh, baru kali ini ia melihat secara langsung keluarga Morgan yang lainnya, gadis yang di kenal sebagai pemanah terbaik dunia dan satu-satunya adik dari pria brengsek yang menidurinya kemarin, Caroline Bannet Morgan.
"Tiga puluh dua, kau?"tandas Laura sembari melirik kertas yang di tunjuk Carol sembari mengulum bibirnya malas.
"Sial sekali, harusnya angka ini di balik!"
"Aku pikir, kau akan menggunakan kekuasaan keluarga mu untuk mendapat masuk ke ruang utama lebih cepat!"sindir Laura sedikit sarkas hingga Caroline tertawa kecil.
"Yah- mungkin aku juga bisa berpikir demikian, tapi, aku sedang marah dengan daddy-ku,"balasnya cukup terbuka.
"Ayolah, kau beruntung dalam segala hal,"puji Laura sembari melempar senyumannya yang sangat bersahabat.
"Tidak juga, daddy mati-matian menjodohkan ku, terakhir kali, ia malah ingin aku menikahi pria tua. Pikir saja, Maxent bahkan belum menikah bersama Avril!"
"Avril?"balas Laura cepat sembari memicingkan matanya tajam.
"
Kenapa kau terkejut?"tanya Caroline sedikit menaikkan salah satu alisnya.
"Tidak, hanya saja, aku tidak pernah mendengar kabar apapun tentang hubungan keluarga Morgan, yang di bahas di luar sana hanya bisnis dan beberapa prestasi kalian, jadi, aku sedikit terkejut,"ucap Laura sembari menahan napas. Tentu saja, ia benar-benar tidak suka jika nyatanya, memang ada wanita lain di sisi Maxent.
"Ah! Kau benar, apalagi Maxent, dia dan Avril menjali hubungan yang sangat tertutup. Tapi, aku sungguh tidak suka hubungan mereka, sangat tidak berbobot!"tukas Caroline begitu saja. Ia memutar bola matanya lalu mengedarkan pandangannya ke setiap tempat.
"Ah, siapa namamu? Kita banyak bicara, tapi tidak-"
"Laura,"potong gadis itu cepat sembari mengulurkan tangannya, Carol menarik napas, tersenyum tipis dan meraih uluran tangan gadis tersebut.
"Aku tidak perlu mengenalkan diri, aku yakin kau tahu siapa aku."
"Tentu, aku cukup tahu siapa keluarga Morgan,"balasnya tenang hingga Carol merasa cukup nyaman.
"Dengar, apapun yang tadi aku katakan, jangan katakan pada siapapun, tutup mulutmu!"pinta Caroline sembari menyentuh bibirnya dengan ujung jari/ hingga Laura sedikit terkekeh pelan.
"Kenapa kau begitu mudah percaya padaku? Bagaimana jika aku ini pers?"tandas Laura membuat Carol mengedarkan pandangan ke arahnya, tampak menilai sesuatu dari gadis itu.
"Kontak matamu tidak menunjukkan itu, kau mungkin orang yang lebih berbahaya dari pers. Ayolah, aku sudah biasa berhadapan dengan orang-orang seperti mu,"balas Caroline sembari melempar senyuman yang sangat ramah.
"Dan, aku cukup terkejut dengan sikapmu, di luar sana, banyak sekali orang yang mengatakan kau angkuh,"tukas Laura santai.
"I know. Aku memang angkuh, tapi hanya untuk orang-orang tertentu, daddy yang mewariskan itu,"ucapnya kembali membuat kedua nya tertawa khas.
"Get down!"
Dorrr!! Dorr!! Dorr!!
"Semua menjauh dari komputer dan letakkan ponsel kalian di depan. Cepat!!"teriak seorang pria yang baru saja melompat di area Frontliner, sembari mengarahkan senjatanya ke tiap area ruangan. Suara teriakan terdengar meledak, saat menyadari dua orang tewas tertembak oleh perampok bersenjata tersebut. Mereka menyamar, layaknya penjahat profesional.
Sementara empat orang lainnya, bertugas mengumpulkan semua orang di tengah ruangan, membuat semua nya dalam keadaan tiarap dan merusak beberapa barang yang mungkin memicu seseorang yang nekat untuk menghubungi polisi.
"Kau, apa kau tidak dengar perintah ku?"tanya seorang pria bertopeng batman sembari berdiri tegas pada Caroline yang merunduk di sisi Laura.
"Aha! Kau mencoba melawan sepertinya,"tukas pria itu kembali sembari mengarahkan senapan laras panjang ke arah gadis itu.
"Fucker!"maki Caroline sembari membuang ludahnya santai. Sungguh, apa yang ia lakukan mencoba menghambat para kawanan perampok tersebut, ia sudah menekan panggilan cepat yang langsung terarah pada Maxent.
"Sialan. Sepertinya kau ingin mati,"ucap pria tersebut, ia menekan senjata ke arah kepala Caroline dan menyipitkan mata cukup tajam.
"Bangun!"pria itu menarik lengan Caroline membuat Laura langsung meremas kedua tangannya sendiri. Harusnya ia berhasil membuat Carol tetap diam sejenak.
"Kau, ingin menjadi pahlawan?"tukas pria lainnya sembari mengarahkan senjata pada Laura yang bergerak naik.
"Ikat mereka!"tegas pria lainnya membuat seluruh mata langsung terarah pada pria paling tegap di antara lima orang tersebut.
"Lepas!"sentak Caroline sembari menginjak kuat salah satu kaki pria tersebut, hingga cengkeramannya terlepas.
"Brengsek!" salah satu pria yang ada di sudut kiri, menaikkan senjatanya dan langsung mengarahkan pada Caroline.
Dorrr!!! Dorrr!!
"Arrhhh!! Shittt!"
Namun, Laura yang gesit melihat semua hal tersebut langsung mendorong pria yang ada di dekatnya dan menarik handgun yang terselip di balik punggung nya, lantas, menembak lebih cepat ke arah perampok yang mengancam Caroline, lantas, pria yang ada di sisi gadis itu. Headshot.
Kesempatan terbuka lebar, untuk beberapa orang sandra yang ada di tengah ruangan, mereka bergerak, mencoba mencari tempat aman. Walaupun sulit, setidaknya mereka tidak terkena serangan peluru yang mungkin meleset.
"Laura..."ucap Caroline sembari melebarkan bola matanya tegas. Ia terkejut dengan aksi yang baru saja ia lihat. Setidaknya, Laura berhasil menyelamatkannya.
"Caroline down!"sentak Laura membuat gadis itu langsung memalingkan pandangan.
Dorrr!!
Hampir saja, satu peluru mengenai gadis tersebut. Caroline berhasil mengelak, ia merunduk dan merebut senapan panjang yang ada di sudut kakinya, milik perampok yang tampak tewas tersebut, segera, ia melangkahkan kaki. Mencari tempat bersembunyi paling efisien.
Sisa tiga orang perampok, Laura mampu melihat Caroline dari kejauhan, mata mereka bertemu tampak memberi tanda dari masing-masing tempat.
Dorr!!
Satu peluru melesat cepat ke arah Laura, beruntung gadis tersebut segera mengelak, kembali berlindung pada tembok tebal dengan cat berwarna grey. Ia menahan napas, memutar handgun nya untuk memeriksa sisa peluru. Perlu di ingat, Laura sangat hati-hati, ia profesional, setiap tindakan nya selalu di perhitungkan. Karena itulah, dalam beberapa waktu ia sering terlihat memeriksa handgun bermerk Glock 20 nya.
Dorr!! Dorr!!
Dorr!!
Dorr!!
Sekali lagi, Laura mendengar suara tembakan, seketika itu juga ia langsung keluar dari tempat persembunyiannya untuk menembak.
Dorrr!
Sekali saja, ia berhasil menembak tepat mengenai kepalanya saat perampok tersebut mencoba menembaki beberapa orang yang ia lihat. Sisa dua dan, semua harus selesai. Laura merunduk, mengedarkan pandangan untuk memeriksa hingga berhasil menggapai Caroline.
"Kau bisa menembak?"tanya Laura membuat Caroline mengangguk.
"Hm! Cukup bisa membantu mu,"balasnya datar. Ayolah, tidak ada satupun anak Alexander yang tidak bisa mengenakan senjata, keduanya cukup terlatih. Jika Maxent dan Caroline di kirim ke medan perang, Alexander yakin, keduanya pasti akan selamat.
"Okay, aku akan memancing mereka, kau bisa menembak sisanya. Jangan menembak bagian badannya, mereka mengenakan anti peluru,"tukas Laura sembari menukar senjata laras panjang Carol dengan Glock 20 yang mematikan.
"Okay!"
Namun, di tengah rencana keduanya, sirine polisi terdengar kuat dan, sebuah peringatan lantang terdengar. Mereka saling memandang dan membuat kedua perampok yang tersisa nekat.
Mereka mendadak keluar dari persembunyian dan menembak brutal para sandera yang ada di dalam ruangan.
"Brengsek, siapa yang memanggil bantuan!"teriak pria itu lantang dan membuat Caroline geram. Ia menaikkan senjata dan langsung menembak lengan kiri salah satu pria tersebut, serta melumpuhkan satu kaki pria satunya lagi hingga keduanya langsung terjatuh ke lantai.
"Kalian sudah di kepung! Menyerah lah!"teriak suara polisi yang ada di luar ruangan.
Laura berlari kencang, menuju perampok tersebut untuk mengikat kedua tangan mereka dengan cable ties yang tampak berserakan di lantai. Ia cukup gesit.
Melihat hal tersebut, Caroline langsung membuang napasnya lega
Melihat hal tersebut, Caroline langsung membuang napasnya lega. Ia melihat pintu ruangan bank terbuka lebar, di dobrak oleh seorang anggota kepolisian. Seketika, semua orang keluar dari persembunyiannya, mencoba mencari tahu atas apa yang baru saja terjadi.
"Caroline!"tukas seorang pria yang menyusup masuk di antara polisi, Maxent, ia tidak sendiri, pria itu bersama Luiz.
"Maxe! Kau tidak memberitahu daddy kan?"tanya Caroline sembari memeluk erat pria tersebut dan melirik ke arah Luiz yang terdiam lega. Ia mengedarkan pandangan dan, menatap satu gadis yang tampak bicara pada polisi.
"Kau tidak apa-apa?"tanyanya parau, sembari memeriksa keadaan gadis tersebut tanpa menjawab pertanyaannya.
"Hm, untunglah dia menolong ku, jika tidak mungkin aku tertembak,"ucapnya sembari memutar pandangan ke arah Laura sangat tepat.
Tap!!
"Laura?"panggil Maxent pelan membuat Carol langsung mengerutkan kening.
"Kau kenal dia, Maxent?"tanyanya dengan suara penasaran, hingga kedua mata mereka bertemu kembali sejenak.
"Hm— sangat mengenalnya,"balas Maxent sembari melangkah ke arah Laura yang belum menyadari kehadirannya sedikitpun.
"Luiz,"Carol memeluk pria itu, mencoba mencari kehangatan dalam ketakutan yang masih begitu ia rasakan.
"Maaf karena aku tidak menemanimu,"ucap Luiz datar, membalas pelukan Caroline begitu erat. Ia khawatir, namun, hal tersebut tidak terlalu ia tunjukkan.
Sementara, Maxent menarik lengan Laura membuat tubuh gadis itu sedikit bergerak ke arahnya. Seketika, mata birunya langsung melebar, menangkap jelas pria tersebut.
"Kau tidak apa-apa?"tanya Maxent parau.
"Pertanyaan bodoh, ini hanya hal kecil Maxe,"tukas gadis itu sedikit terkekeh. Ia melirik ke arah Caroline, lalu tersenyum tipis.
"Kekasih adik mu?"tanya Laura datar, hingga Maxent langsung menoleh cepat.
"Bukan. Kau mau di peluk juga?tawar Maxent sembari mengulum bibir.
"Jika ia, aku akan memeluk polisi tampan itu saja, Ah— aku tidak ingin memeluk pria yang sudah memiliki kekasih,"sindir Laura sarkas.
"Hm? Apa yang di katakan Caroline padamu?"tandas Maxent sembari mengerutkan kening.
"Avril, kau bilang, kau sudah memutuskan hubungan mu dengannya. Tapi—"
"Aku memang sudah putus, Caroline tidak tahu itu, lantas, kau cemburu?"tanya Maxent dengan suaranya yang cukup tegas. Mereka tampak begitu larut dalam obrollan lain, tanpa peduli polisi yang tengah mengevakuasi seluruh tempat dan, menanyai sandera lainnya.
"Cemburu?"kekeh Laura ringan. Ia tersenyum simpul lalu mendekat sedikit pada Maxent hingga bibirnya sampai pada telinga pria tersebut.
"Kapan kita bermain dengan Mr.P dua puluh centimenter mu itu lagi?"tukas Laura melihat Maxent menelan saliva, ia tersenyum simpul lalu terkekeh pelan.
"Dasar pria mesum!"tuding nya cepat, sembari memutar tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan, mencari Caroline yang tampaknya sudah tidak ada di dalam ruangan tersebut.
"Ikut aku!"Maxent meremas jari Laura, menariknya cepat hingga melangkah keluar dari bank. Tempat tersebut langsung di beri police line.
"Maxent, Laura!"tegur Caroline membuat gadis itu langsung melepas tangannya. Ia tidak ingin mengekspose sir di hadapan Caroline.
"Ah! Carol, aku—"
"Laura kau punya waktu malam ini?"tanya Caroline membuat gadis tersebut langsung melirik ke arah Maxent.
"Waktu?"
"Yah! Aku ingin mentraktir mu, kau harus ikut, aku tidak mau tahu! Kau, Maxent dan Luiz,"paksa Caroline.
"Hm— sepertinya aku tidak bisa. Aku—"
Tap!!
"Ayolah, kau juga harus mengenal keluarga Morgan, aku yakin, mom ataupun daddy senang,"Caroline menangkap tangan gadis itu, membuatnya sangat ragu dengan ucapan yang baru saja di lontarkan Caroline.
"Tapi, sepertinya aku tidak bisa, aku punya—"
"Aku yakin bisa, kau hanya gadis pengangguran Laura. Kalian bisa bersenang-senang di mansion ku!"poton Maxent sembari menepuk bahu gadis tersebut. Sial— Laura ingin mengumpat, atau lebih baik memukul Maxent hingga pingsan.
"Okay! Itu ide baik, aku juga akan mengundang beberapa orang, aha— setidaknya kita bisa berpesta nanti malam, kau ikut kan Luiz?"tanya Caroline sembari menatap tegas wajah datar pria tersebut.
"Hm!"balasnya singkat, namun sesuai harapan Caroline.
"Good, aku akan memesan makanan dan menelpon daddy!"
Tap!!
Maxent menangkap tangan Caroline, ia menaikkan alis membuat gadis itu menoleh cepat ke arahnya. "Biar aku yang menelpon daddy,"ucapnya tegas, hingga Carol langsung mengangguk paham.
"Okay, aku akan membawa Laura dulu—"
"Kemana?"potong Maxent lantang.
"Ayolah, kami harus membersihkan diri, ratusan salon menunggu kami,"balas Carol parau.
"Ah tidak. Aku tidak suka—"
"Ayolah, kau setidaknya harus melemaskan otot jari mu, santai lah,"Caroline menangkap lengan Laura, menariknya cepat tanpa ingin di sanggah sedikitpun. Ia cukup mewarisi karakter Alexander, pemaksa. Apapun yang ia inginkan harus ia dapatkan.
Maxent menghembuskan napas, ia mengulum bibirnya yang basah sembari menatap Caroline yang membawa Laura menjauh. "Tampaknya kau mulai ingin bersenang-senang Luiz. Kapan kau mulai tertarik pada pesta di banding pekerjaan kantoran?"tandas Maxent membuat pria itu menoleh cepat. Ah— Alexander mempercayai putra tunggal Billy untuk memimpin salah satu perusahaan penyewaan Yacht nya sejak tiga tahun terakhir ini, uang yang ia dapatkan juga tidak main-main, hal tersebut termasuk rencana Alexander untuk menjauhkan Caroline dari Luiz. Setidaknya, ia tidak menjadikan pria tersebut untuk menjadi bodyguard khusus Caroline seperti Megan.
"Menurut mu?"balas Luiz sembari mengedarkan pandangannya ke tiap tempat.
"Ayolah, kau memang harus berpesta, jika aku jadi kau, aku akan berontak atau membakar salah satu Yacht daddy,"
"Hm! Sebagai anaknya, kau tidak berani melakukan hal tersebut,"balas Luiz kasar membuat Maxent terdiam.
"Okay, kita akan tunggu para gadis itu di mansion ku,"Maxent memutar tubuhnya, melirik ke arah polisi sejenak. Jika Caroline bermasalah, ia cukup yakin, Alexander akan menyelesaikannya. Lagipula, pemerintah cukup yakin untuk melindungi siapapun keluarga Morgan sejak kejadian Nuklir di era daddy nya tersebut.