Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6 : Stranger

Sepasang mata biru tengah mengedarkan pandangannya ke tiap tempat, menangkap satu persatu orang yang ada di ruangan Jinggels Clab. Ia tersenyum tipis, lantas, melenggang pasti di tengah keramaian begitu percaya diri.

Sungguh, penampilannya memukau bersama kaos pebble grey yang di padukan bersama mini skirt kulit berwarna gelap. Tidak lupa, ia menyematkan kalung permata berjenis chocer, sementara kaki jenjangnya di halangi sepatu long boots.

"Beautiful Vampire!"puji dari mulut pria hidung belang yang mencoba mendekatinya. Namun, di tolak mentah oleh kilat matanya yang tajam.

"Laura!"panggil seseorang pada gadis itu hingga dengan cepat ia menoleh, mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.

"Kau mengikuti ku, Marvel?"tandasnya sembari mengedarkan pandangan yang sangat lantang ke sosok tersebut.

"Hm? Ayolah, ini pesta umum. Siapapun bisa datang,"balas Marvel sembari memberikan gelas minumannya pada Laura.

"Aku bisa beli sendiri! Lagipula, aku tidak ingin menerima konsekuensi jika kau menaruh sesuatu di dalamnya."

"Wow! Kau selalu hati-hati, Laura. Mengagumkan!"balas Marvel sembari menyesap minumannya hingga tandas.

"Tapi, kau tidak pernah berhati-hati pada Steven,"bisik pria itu sembari mengulum bibirnya, lalu terkekeh pelan hingga pandangam Laura begitu tajam ke arahnya.

"Menjaulah Marvel, aku sedang tidak ingin membuat keributan di sini."

"Wow.. Aku suka kau Laura. Seriously, kadang aku berpikir bagaimana hebatnya kau di ranjang,"seketika Laura mengecutkan bibirnya miring, menaikkan pandangan yang tampak tidak bersahabat.

Tiga detik kemudian, Laura memegang bahu Marvel begitu kuat, memastikan pria itu tidak akan pergi kemanapun.

Brakk!!

"Argghhh!!! Shit!"erang Marvel di tengah kebisingan music yang terdengar keras. Laura menghantam bagian vital pria tersebut dengan lututnya, tanpa peduli jika barang nya yang tengah mengeras mungkin patah.

"Lain kali, tempatkan mulut mu di tong sampah!"maki Laura sembari mendorong Marvel untuk menjauh. Lantas, ia segera memutar tubuhnya dan melangkah menuju bar yang tampak memanggilnya sejak tadi.

"Identitas mu,"pinta bartender membuat Laura memicingkan mata.

"Ayolah, apa aku terlihat seperti gadis 17 tahun?"tanya Laura sembari mengeluarkan kartu pengenalnya.

"Kau belum cukup umur!"

"Apa kau gila? Umur ku sudah—"

"Di Florida, batas minum untuk seseorang yaitu 21 tahun, kau kurang tiga bulan lagi!"balas bartender tersebut dengan suaranya yang begitu pasti. Ia tidak akan menyalahi aturan.

"Sialan, biasanya aku—"

"Peraturan di luar berbeda dengan Jinggles club, baby!"potong pria bermata elang itu sembari menurunkan tubuh di meja pembatas dan menghisap ujung rokok nya.

"Fucker!"Maki Laura sembari merampas identitasnya dari pria tersebut dan mengeluh kasar. Ia memutar tubuhnya, melangkah menjauh meja bar tersebut dengan langkah yang asal.

"Berikan padanya!"ucap seorang pria yang kini duduk tepat di sisi kanan Laura. Ia melirik, menangkap sosok asing yang melemparkan senyuman penuh ancaman ke arahnya.

"Kau sepertinya sendiri di pesta halloween ini, apa tidak—"

"Jangan mencoba merayuku, aku tidak butuh bantuan mu."terang Laura sembari memalingkan pandangan dan mulai beranjak dari tempatnya.

"Jika kau tidak bisa bekerja sama, maka aku akan menembak siapapun yang ada di ruangan ini, termasuk kau!"ucap pria itu sembari menunjukkan sebuah senjata api dari balik jubah panjang nya. Laura terdiam, menatap benda tersebut sembari mengulum lidahnya.

"Kau mengancam ku?"bisik Laura.

"Aku sudah mengepung tempat ini, jadi keluarlah dengan pelan!"perintahnya lagi membuat gadis itu langsung mengedarkan pandangan ke tiap tempat. Mencoba menyaring orang-orang yang tampak mengancamnya saat ini.

"Okay, Kau menang!"keluhnya sembari melengkungkan bibir. Ia menaikkan alis melangkah lebih dulu hingga pria itu percaya dengan caranya menyerah. Sangat mudah.

"Tenang dan jangan coba-coba kabur!"Laura merasakan pinggulnya seperti tertahan sesuatu, ia tahu persis itu adalah bagian dari senjata api milik pria itu. Ia hanya menaikkan tangan, tampak sangat pasrah sembari melangkah dan memerhatikan beberapa orang tampak mengikutinya dari beberapa sudut.

Tap!!

Mendadak, Laura menangkap tangan pria itu dan menariknya cepat lalu memutar haluan tubuhnya mereka hingga gadis itu berlindung di belakangnya.

Dorrrr dorr dorr!!

Suara tembakan terdengar lantang, mengenai pria yang ia jadikan tameng nya. Lantas, gadis itu merebut senjata apinya dan membalas tembakan.

Suara teriakan penuh di tengah ruangan, orang-orang berlarian di tengah kekacauan. Laura berlari cepat, melindungi dirinya di balik sebuah tembok pembatas yang hanya muat dengan tubuhnya.

Dor! Dor!

Laura menembak, mengenai dua orang sangat tepat di tengah kekacauan. Ia cukup gesit bergerak di tengah ruangan yang mulai sepi, hingga mendapatkan serangan balasan yang beberapa kali nyaris mengenai nya.

"Daddy!!"suara anak kecil berusia sekitar enam tahun terdengar menangis di tengah ruangan. Ia mengusap matanya dan mencoba mencari sesuatu yang tampak hilang, ayolah— ini club malam, bagaimana seorang anak kecil bisa masuk ke dalamnya; pikir Laura.

"Oh my god!"pikir Laura merasakan tangannya mendadak bergetar. Ia menahan diri sejenak, mencoba menstabilkan serangan yang tampak tidak pasti. Ia memeriksa sisa pelurunya, lantas menahan napas sejenak, cukup yakin dengan sisa peluru yang hanya tersisa dua.

"Keluarlah Laura, aku tahu kau tidak akan senang jika anak itu akan menjadi korban kan?"teriak salah satu pria yang berusaha menyerang nya. Mereka tampak begitu hapal, namun, tidak satupun dari mereka yang Laura kenali.

"Aku akan membelah otak mu, jika kalian melakukan itu,"balas Laura lantang sembari mengintip anak kecil yang tampak ketakutan itu. Ia bergetar, masih menangis di tempatnya.

"No!"Laura mengerutkan kening, ia melihat sebuah ujung senapan tampak mengarah langsung pada gadis tersebut. Secara mendadak, Laura langsung berlari keluar dari persembunyiannya, berusaha menggapai anak kecil itu untuk melindunginya.

Dorrrr!!!

Lagi, sebuah tembakan terdengar lantang nyaris mengenai sudut kaki Laura yang memeluk gadis kecil itu dan menyingkirkannya ke pinggir dengan lompatan yang tidak terarah hingga punggung nya mengenai tembok hingga handgun nya terlepas.

"Finally. Buat semuanya mudah Laura. Kami tidak ingin menyakitimu!"ucap salah satu pria yang tampak berdiri di dekatnya sembari mengarahkan senjata ke anak kecil yang tidak bersalah itu. Mereka tampak gila.

Laura terdiam, tampak tersudutkan oleh tujuh orang pria bersenjata lengkap. Ia menelan ludah sembari memegang mata gadis kecil itu. "Aku akan menurut, tapi jangan menyakiti anak ini."

"Kami tidak bisa mempercayaimu, Laura!"balas pria itu sembari menarik gadis kecil tersebut.

"Jangan libatkan orang lain dalam misi mu, aku tidak mengenal kalian!"balasnya sembari menahan tubuh anak itu. Laura mengerling saat seseorang melangkah maju sembari mengangkat senjata ke arah anak itu.

"Kau gilaaa??? Hahh?"teriaknya sangat kencang sembari menahan seluruh emosionalnya yang sangat terbakar. Ia memeluk erat gadis kecil itu, mencoba membuatnya tetap aman.

"Kami hanya menjalankan perintah, jadi—"

Dorr!! Dor!! Dor!! dor!!

Mendadak, suara tembakan keluar dari area lain, menembaki para strangers tersebut tanpa ampun, Laura merampas salah satu senjata api yang ada di tangan musuhnya itu dan berhasil melindungi gadis kecil itu di belakangnya.

Dor!!

Laura melepaskan tembakan, mengenai jantung salah satu pria terakhir yang tadinya menodongkan senjata ke arahnya. Mereka tewas seketika. Laura melempar senjata api tersebut, melirik seseorang yang baru saja menolong nya.

"Maxent,"ucapnya dengan suara yang tampak terkejut. Sungguh, ia tidak menyangka bahwa tembakan pria itu cukup akurat, stabil dari apa yang ia bayangkan.

"Bagaimana keadaan mu?"tanya Maxent melangkah mendekati gadis itu, memeriksa nya dengan pandangan khawatir.

"Hm— baik. Tapi...."Laura melirik ke arah gadis kecil yang berada di dekatnya, menariknya maju dan menurunkan tubuh.

"Bagaimana Club membiarkan seorang anak kecil untuk masuk?"tanya Maxent penuh emosi.

"Itu juga yang aku pikirkan Maxent,"balas Laura sembari memeluk gadis kecil itu, tampak memberi rasa percaya agar ia mampu menahan rasa takutnya.

"Maaf... Aku..."seseorang mendadak muncul, mencoba mendekat membuat Maxent menaikkan senjatanya. Ia tidak akan percaya pada siapapun.

"Daddy!"teriak gadis kecil tersebut sembari melangkah dari pelukan Laura dan mendekati pria tersebut, hingga Maxent lngsung menurunkan senjatanya.

"Kau kan pria bartender tadi,"ucap Laura sembari melempar pandangan penuh tudingan tajam.

"Yah! Aku terpaksa membawa Zeana diam-diam ke club. Istri ku meninggal saat ia berusia enam bulan, maaf karena aku—"

"Kau bisa menitipkan nya pada seseorang,"balas Maxent membuat pria bartender itu memalingkan pandangan ke arahnya. Ia menggeleng lalu memeluk Zeana, putrinya itu erat.

"Tidak ada pilihan itu, semua orang tidak peduli dengan ku ataupun Zea,"balasnya sembari mengeluh pelan.

"Polisi sebentar lagi akan datang, kau bisa pergi. Aku akan mengurus semua ini,"ucap Maxent sembari menahan napas.

"Thanks. Aku akan mengingat kalian."ucap pria bartender tadi sembari mengedarkan pandangan dan segera memutar tubuhnya yang terasa berat.

Laura mendekati Maxent perlahan, ia menatap pria itu tajam lalu mengeluh kasar. "Kau tahu siapa mereka?"tanya pria itu datar, sembari menyelipkan senjata nya di balik jaketnya.

"Tidak. Tapi aku yakin mereka salah satu suruhan Blindberg,"balas Laura sembari menarik napas.

"Blindberg?"

"Lebih tepatnya, my daddy,"keluh Laura sembari mengangguk pelan, sekadar memastikan ucapannya.

"Sudah berapa lama kau menghadapi ini?"tanya Maxent penasaran.

"Sejak pertemuan terakhir ku bersamanya,"Laura menatap pria itu tajam, menatap dengan matanya yang biru lalu melangkah mendekat, lantas memeluk Maxent. Sungguh, Laura tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di pikirannya saat ini, yang jelas, ia membutuhkan kehangatan dari siapapun itu, termasuk Maxent.

Beberapa detik kemudian, anggota kepolisian datang, mencoba memastikan kekacauan di tengah pesta halloween. Mereka meminta keterangan dari Maxent, membuat semuanya begitu pasti tanpa mengusik Laura yang memerhatikan mereka dari dalam mobil sport pria tersebut.

Laura tersenyum tipis, ia meremas jaket Maxent yang sempat di berikan pria tersebut untuknya. Perlahan, sesuatu muncul di hati Laura, ia begitu kagum, tepatnya merasakan jantung nya berdebar mendadak.

"Ah aku mungkin gila, tidak mungkin! Aku tidak mungkin menyukai Maxent."gumam Laura sembari memalingkan pandangannya. Namun, bagaimanapun ia kembali menoleh, menangkap sosok Maxent yang kini melangkah ke arahnya.

"Sudah selesai, mereka akan memeriksa CCTV dan mencoba menemukan pelakunya,"ucap Maxent saat ia sudah meletakkan tubuhnya di kursi kemudi. Laura hanya mengangguk, ia diam tanpa membalas apapun.

"Ya Tuhan, aku benar-benar berdebar,"pikir Laura sembari memalingkan pandangannya ke arah jalan.

"Kau tidak apa-apa kan?"tanya Maxent menyentuh jemarinya yang dingin, hingga gadis itu langsung menepis pria tersebut.

"Ya. Aku baik,"balas Laura dengan suara bergetar.

"Kau mau kemana? Aku akan mengantar mu!"

"Aku ingin ke mansion mu,"ucap Laura spontan tanpa melirik sedikitpun ke arah Maxent.

"Hm— baiklah,"balasnya cepat sembari melirik ke arah ponsel yang ada di hadapannya.

"Caroline,"pikir Maxent sembari menahan napas. Ia mengangkat panggilan itu segera dan meletakkannya di telinga.

"Maxent, are you okay? Aku baru saja mau berangkat ke Jinggles Club tapi—"

"Yah! Aku baik-baik saja. Katakan pada daddy, aku tidak pulang malam ini."ucap Maxent membuat Laura meliriknya. Ah- ia lega, karena suara gadis yang ia dengar sayup ternyata saudarinya.

"Yah! Untunglah aku belum ke sana, Ah ya, Avril sepertinya mencari mu, dia—"

"Aku tutup dulu, jangan lupa katakan pesanku pada daddy,"balas Maxent dan langsung mematikan ponselnya. Ia tidak ingin dengar apapun soal Avril, mereka bertengkar hebat akhir-akhir ini.

Maxent mengeluh pelan, lalu mulai menggerakkan mobil sport nya untuk segera menjauhi kawasan yang masih tampak kacau tersebut secepat mungkin.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel