Bab 9 Mabuk
Bab 9 Mabuk
Selesai makan dengan Vano tanpa mengajak Edo. Dia kembali lagi ke tempat karaoke setelah selesai makan. Karena tidak.mah meninggalkan temannya sendiri. Dnegan terpaksa dia kembali lagi.
"Kalian dari mana?" tanya Edo kesal.
"Makan!" Jawab Vano singkat.
"Kenapa tidak mengajak aku tadi?"
"Lagian kamu sibuk dengan wanita di samping kamu," jelas Vano sembari tersenyum tipis memandang Jeni.
"Kita mau lanjut atau pulang" tanya Jenj mengalihakn pembicaraan.
"Lanjut!" jawab jutek Edo.
Vano dan Jeni terkekeh bersamaan. Mereka mulai bernyanyi lagi menikmati lagu yang ada. Dan Jeni hanya sebagai penonton sekaligus pendengar suara yang tidak terlalu bagus itu.
Setelah asyik bersenang senang terlihat mereka bertiga sudah keluar dari tempat karauke. Dan kini Vano dan Edo yang sudah terlalu banyak minum dj dalam. Tubuh mereka terlihat lunglai lemas. Jeni dengan terpaksa memopang tubuh Vano untuk masuk ke dalam mobil dan sedangkan Edo mencoba berjalan sendiri meskipun tak bisa jalan sempurna. Dia berjalan sempoyongan sampil menggoda para Wanita cantik. Memang kebiasaan Edo yang tak bisa di hilangkan. Kini langit nampak sudah gelap namun suasana di luar masih terlihat ramai banyak anak muda berkencan afau sekedar bersenang senang.
"Om berat banget sih" Ucap Jeni membaringkan tubuh Vano di kursi belakang Mobil.
"Jangan panggil aku, Om. Aku masih terlalu muda untuk di panggil Om." jelasnya tersenyum tipis.
Vano menarik tangan Jeni hingga berbaring di atas tubuhnya. " Kamu suka yang seperti ini kan" Vano memegang erat pinggang Jeni, mengusapnya lembut.
"Lepaskan!" Jeni emnarik tubuhnya beranjak berdiri.lagi.
"Dasar Kalau Otak Mesum meskipun mabuk atau tidak tetap saja mesum" Decak sebal Jeni.
Tiba tiba seseorang menarik tangannya membawa dia beberapa meter dari mobil Vano.
"Lepaskan!"
"Kamu siapa?" seorang laki-laki menariknya semakin jauh dari mobil Vano. Hingga langkahnya berhenti di sebuah taman.
"Sakit," pekik Jeni menajamkan pandanganya. Dia tahu siapa yang menariknya itu.
"Maaf, non!" pengawal itu menunduk takut.
"Baiklah! Ada apa kamu mencariku?" tanyanya jutek.
"Non, tolong cepat pulang, nyonya sudah mencari non Jeni, dari kemarin"
"Kenapa dia mencariku?" tanya Jeni sok acuh tak acuh.
"Nyonya sekarang lagi sekarat di rumah sakit sejak pulang dari luar negeri kemarin malam"
"Apa? Mama sakit?" Bagai di sambar petir malam hari hati jeni terasa sangat sakit mendengar ucapan pengawal jika mamanya sakit. Meskipun orang tuanya tak perdulikan dia tapi Jeni sangat sayang pada ke dua orang tuanya.
"Apa benar yang kamu bilang?" Ucap Jeni dengan mata yang sudah berkaca-kaca menahan rasa tangis nya yang ingin sekali keluar.
"Nyonya ingin, non Jeni, cepat pulang!"
"Baiklah aku akan pulang tapi tidak sekarang, nanti setelah urusanku selesai aku akan segera pulang. Sekarang kamu cepat pergi dari sini sebelum teman aku melihat kamu di sini" Jeni mendorong pengawalnya agar segera pergi jauh darinya.
"Baik Non, tapi tolong anda segera pulang. Keluarga Non sudah menunggu di rumah." pengawal itu bergegas pergi dan beranjak masuk ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari mobil Vano.
------
Kini Jeni masuk ke dalam mobil Vano, melihat Vano sudah tak sadarkan diri kebanyakan minum pada akhirnya dia yang nyopir lagi. Jeni membiarkan Edo untuk pergi pulang sendiri karena memang dia masih kuat berdiri meskipun agak sempoyongan.
Jeni melihat jam tangan hitam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 20.00. dengan pandangan melirik ke arah Vino sekilas. " Apa dia masih bisa sadar entar . bukannya dia juga ada janji mau balap montor" Batin jeni perlahan mulai menyalakan mesin mobilnya dan menancap gas perlahan keluar dari tepat gak jelas itu.
" Ehh.... kamu " Ucap Vano nampak tak bisa duduk sempurna. Dia benar benar sudah mabuk berat.
"Apa sih Van?" Jeni mengerutkan keningnya melirik Vano yang masih memejamkan matanya.
"Ngigau atau gimana sih nih Om..Om" decak kesal Jeni.
"Jangan ngebut-negebut" Pungkas Vano di belakang yang masih tertidur dengan tubuh setengah sadar.
"Udah diam saja tidur tenang di belakang" pungkas Jeni yang masih fokus pada jalan di depannya.
"Dia suka ngigau atau gimana, kenapa tidur, tapi bisa ngomong" Batin Jeni tersenyum tipis mencuri pandang mrlihat ketampanan Vano.
Vano terdiam lagi, jeni melirik ke belakang dia sudah tertidur lagi. Kali ini dia benar benar membuat hari yang paling menjijikan padanya. Dan berbagai hal tak terduga pun terjadi.
Setiap perjalan nampak hening tak ada suara cerewet Vano dan kekonyolan Jeni. Hanya hembusan Ac dan suara musik klasik yang menemani Jeni. Hampir 25 menit perjalanan, mereka sampai di rumah.
"Tunggu!!" Langkah Jeni terhenti mendengar suara Dion memanggilnya.
"Ada apa lagi?" Tanya Jeni memutar malas kepala ke belakang. Dengan tatapan mata sebal.
"Kamu apakan kakak aku?" Tanya Dion berjalan menghampiri Jeni.
"Lihat sendiri saja dia kenapa jangan tanya lagi, bisa melihat jelas kan?" Jeni melangkahkan kakinya pergi menaiki tangga. Membiarkan Dion mengerutu gak jelas di belakang.
"Eh.. tunggu" teriak Dion tak di gubris oleh Jeni.
"Ih.. dasar itu wanita nyeselin," umpat Dion yang masih tetap berdiri di tempatnya.
"Jika aku punya adik nyeselin seperti dia udah aku jitak habis rambutnya." Umpat Jeni dalam hati. Ia merasa sangat kesal mendengar cerewer Dion adik Vano yang membuat ia ingin sekali membungkam mulutnya.
Jeni membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. "Makasih kamu pergi saja biar aku yang rawat dia" Ucap Jeni pada pelayan yang membantunya.
Jeni di bantu seorang pelayan memopang tubuh Vano masuk ke dalam kamar. Dan membaringkan tubuhnya di atas king size milik Vano.
"Baik non" suara tutup pintu membuat Jeni merasa lega. Ia mulai membaringkan Vano di ranjang, lalu melepaskan ke dua sepatu yang masih menempel di kakinya.
Benar sepatunya tu seperti bau sampah busuk menyeruak masuk ke dalam penciumannya.
"Huek..huek.."
"Nih sepatu bauk banget sih... gak pernah di cuci apa gimana" Grutu Jeni terus berdecak kesal.
"Apa ini memang sarang bangkai atau gimana" jeni menutup penciuamnya rapat.
"Rasanya kepalaku pusing, haduh pengen pingsan rasanya aku baunya membuatku lemas seketika" gumam Jeni terus ngomel ngomel gak jelas. Ia memegang ke dua sepatu Vano dengan mencincingnya ke atas seakan jijik. Tak lupa menutup hidung mungilnya.
"Jeni.... sini sayang" Vano tiba tiba terbangun menarik tangan Jeni berbaring di sampingnya.
" Aku mau kamu temani aku di sini" Vano mulai tak sadar dengan apa yang di ucap. Ia merengkuh tubuh Jeni sangat erat membuat jeni meronta namun rengkuhan Vano semakin erat.
" Diam ... Jangan menolak.. " Jeni terdiam seketika .
"Kamu saja mau dengan Edo aku gak mau ada bekas ciuman bibir Edo di bibir kamu" tidak sadar Vano mengucap kata itu membuat Jeni terdiam mengedip kedipkan matanya, matanya mulai melebar ketika Vano mulai mendekatkan bibirnya.
Kini Jeni merasa benda sangat kenyal melumat nya kasar. Dengan tangan bermain di sela baju Jeni.
"Hentikan Om.. Eh.. Maksud aku Vano," ucapnya gugup. "Apa yang kamu lakukan?" Teriak Jeni mencoba melepaskan dekapan erat Vano.
"Jangan Menolak aku mau kamu menikmati saja" Bisikan Vano membuat jantungnya seakan berhenti.
Kini dia semakin bermain ganas menciumi leher Jeni. " aku akan melumat semua tubuh kamu bekas ciuman Edo, aku gak suka" bisik Vano. Jeni hanya terdiam seolah linglung dengan apa yang dia katakan. Entah kenapa dia tiba tiba berbicara seperti itu. Jeni terdiam seketika menerima perlakuan Vano .
Kini tubuh Jeni menerima permainan Vano memegang bagian atas dan bawah bersamaan membuat Jeni berdesah sangat keras. " Ommm!!"
Terdengar suara telfon berbunyi membuat Vano menghentikan permainannya dan segera meraih ponselnya di saku celana.
"Ada apa??" Ucap Vano yang masih tak bisa membuka mata lebar.
"Jangan lupa ke sini, aku sekarang sudah ada di dekat tempat balapan" Pungkas Edo dengam suara lemahnya. Dia yang masih segengah mabuk sudah berada di sana. Pasti akan menimbulkan masalah jika di biarkan sendiri.
"Apa kamu pulang lebih dulu??"
"Tidak seklian nanti saja, sekarang kamu cepat kemari" Edo menutup telfonya.
Sial kenapa belum juga selesai sudah suruh ke sana. Melihat Jeni yang masih berbaring masih terbuka Vano tak bisa menhan dia melanjutkan permainannya.
"Udah," Jeni mendorong tubuh Vano menjauh darinya.
"Kenapa kamu menolak" tanya Vano.
Jeni terdiam seketika dia teringat mamanya yang terbaring sakit di rumah. Pasti semua dokter mama ada di sana merawatnya namun tidak bisa melihat wajah mamanya semakin membuat hatinya terasa sakit.
"Lebih baik kita sekarang ke arena balap" Ucap Jeni segera memakia semua bajunya dengan segera.
"Kamu berbaliklah, jangan mengintip" Ucap Jeni pada Vano di belakangnya.
Vano beranjak menuju ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang masih terasa berat untuk terbuka lebar ke dua matanya.
"Udah cepat ganti pakaian dan segera berangkat, kali ini aku yang akan bonceng Om" Ucap Jeni membuat Vano terkejut.
"Apa?" Vano keluar dari kamar mandi miliknya, berjalan mendekati Jeni.
"Kenapa kamu melotot seperti itu, emangnya salah??"
"Tak ada, tapi apa yakin kamu bisa?" Tanya Vano nampak ragu ragu pada Jeni.
"Tenang saja mungkin kalau jatuh ya masuk rumah sakit." Jeni mencoba membuat Vano takut.
"Gila kamu, tidak mau biar aku yang bonceng."
Jeni terkekeh kecil melihat Vano. " Udah lah percaya sama aku." Jeni menarik tangan Vano yang baru saja ganti baju. Mereka berjalan keluar dengan sangat hati hati. Jika ketahuan adiknya bisa bahaya. Mulutnya tidak bisa di kondisikan nanti.