Bab 16 Perjodohan Yang Tidak Diinginkan
Bab 16 Perjodohan Yang Tidak Diinginkan
"Kamu cari kesempatan ya?" gumam Jeni mulai menggerakakn kakinya perlahan. Namun Vano mengunci kakinya agar tak bisa bergerak. Dan hanya bisa terdiam di dalam dekapanya.
Ia membalikkan badan Jeni ke ranjang,
"Sudah ku bilang jangan bergerak, punyaku sangat sensitif" Bisik Vano lirih membuat Jeni bergidik seketika.
Jeni mengerutkan bibirnya menatap tajam ke arah Vano. " dasar mesum, apa yang kamu lakukan?" bentak Jeni.
Vano hanya diam tersrnyum, dia masih menindih tubuh jeni, dengan senyum tipis kenggoda miliknya. Baru kali jni dalam hidupnya bisa menyentuh wanita. Bahkan bernai memeluknya sangat erat. Jeni tak bisa berkutik sama sekali. Ingin rasanya menendang jauh tubuh Vano jauh-jauh dari tubuhnya. Namun dekapan tangannya melingkar di pinggangnya, dengan kaki memeluk kakinya.
Apa hang harus lakukan, agar aku bebas dari orang mesum ini. Aku gak mau masa remajaku terbuang sia-sia hanya karena nafsunya.
"Jangam terlalu bergerak, aku ingin sesekali seperti ini. Soalnya hanya kamu yang bisa membuat hangat tubuhku.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya.
" tok..tok..."
" Non Jeni gak papa?" Tanya seorang pelayan di balik pintu.
"Ada pelayan kamu, ya?" tanya Vani menarik ke dua alisnya ke atas. Dan hanya di balas dengan bibir mengkerut dari Jeni.
"Bilang ke pelayan kamu gak papa" Bisik Vano lirih.
"Apa katamu? Kamu membuat aku seperti ini,"
"Memangnya kamu mau jika orang tua kamu tahu,"
Jeni menunduk, "Emm.. enggak, juga!"
"Ya, udah cepat bilang,"
Vina menghela napasnya.
"Gak papa bik" ucap Jeni dengan nada kerasnya.
"Ya, sudah non." ucap pelayan itu.
Mendengar langkah kaki yang sudha pergi menjauh. Vano terdiam merasakan miliknya yang mengeras.
"Sialan!" umpatnya.
"Kenapa?" tanya Jeni bingung.
"Kenapa si kecil gak bisa di kontrol" Batin Vano nampak terlihat keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya.
Vano memegang tengkuk Jeni, menariknya membuat ke dua bibirnya saling menyatu. Dia menghilangkan rasa tegang yang membuat tubuhnya semakin tidak bis adi kontrol. Jeni yang terkejut hanya mengerjapkan matanya, mengedipkan matanya berkali-kali, ke dua bubur mereka kini sudah saling bertemu. Menggulum lembut penuh dengan gairah. Dan Jeni hanya diam merasakan bibirnya seakan sudah di gulum habis oleh Vano. Jeni yang sempat terbius sesaat, dia mulai sadar. Apa yang dia lakukan salah. Seketika wanita itu mengeluarkan seluruh kekuatan tangannya, mencoba menarik tubuhnya sekuat tenaganya lepas dari dekapan Vano.
Saat sudah lepas dari dekapan Vano, ia berbaring di sampingnya, punggung tangannya mengusap kasar mulutnya, dia tidak mau bekas bibir Vani masih membekas di bibirnya.
"Percuma kamu mengusap bibir kamu. Bekas itu tidak akan pernah hilang. Karena aku tidak meninggalkan bekas, tapi rasa. Sebuah rasa yang akan kamu ingat selamanya." ucap Vano. Seketika Jeni melebarkan matanya, menatap ke arah Vano.
"Jangan menciumku seenaknya" ucap jeni menatap tajam ke arah Vano.
Vano hanya diam, menindih tubuh wanita itu ke dua kalinya.
Jeni nampak kikuk merasakan ada benda keras bergerak di atas miliknya. " Apa ini" Batin Jeni dengan mata memandang ke atas.
Vano mengendus, mengecup lembut leher Jeni membuatnya merasakan napas berat Vano berjalan ke lehernya.
Merasa Vano sudah mulai lengah Jeni mendorong tubuh Vano hingga jatuh terlempar ke lantai. " Dasar Om mesum!" P?umpat kesal Jeni beranjak berdiri.
"Sudah aku bilang jangan pernah menyentuhku. Apa masih kurang jelas" jeni meninggikan suaranya.
"Apa yang kamu lakukan sakit tahu" ucap Vano meringis kesakitan masih duduk di lantai.
"Itu balasan buwat lelaki mesum seperti kamu" pungkas Jeni menyeret tangan Vano menuju ke balkon kamarnya.
"Aku yang melemapar kamu loncat ke bawah atau kamu turun sendiri" Pungkas Jeni dengan tatapan tajam membuat Vano bergidik ketakutan.
"Udah.. udah aku bisa turun sendiri!" ucap Vano beranjak turun ke bawah perlahan .
Pergi jauh jangan ganggu aku" Teriak Jeni di atas balkon menatap Vano yang sudah berlari mengendap endap bersembunyi di balik pohon agar tak terlihat oleh penjaga.
Tak lama mobil keluarganya sudah mulai datang . Namun ada satu mobil yang sangat familiar baginya. " Mobil siapa itu?" batin Jeni. Ia melirik Vano yang masih belum keluar dari gerbang rumahnya ia masih menatap ke arah mobil keluarganya.
Jeni bersiul memanggil Vano. Memberi kode padanya agar cepat pergi dari rumahnya. " Tuh Om Om muda, ngapain masih melotot di situ" Batin jeni.
" Tok...tok...tok..." Suara ketukan kamarnya pintu membuat Jeni kesal. dia belum bisa memantau Vano agar tidak ketahuan orang tuanya. Malah ada orang yang ingin mengganggunya.
"Siapa?" teriak Jeni.
" Ini mama nak" Jawab mama Jeni.
"Ayo cepat keluar ada tamu di luar, dan semua sudah berkumpul di luar" Pungkas mamanya dari balik pintu.
" Ada linda gak ma?" Tanya Jeni berjalan mendekat ke pintu.
" Gak ada sayang, entah linda pergi kemana dari tadi belum balik juga" Jawab mamanya.
"Ya, sudah mama keluar dulu aku mau ganti baju sebentar"
"Baiklah!"
Jeni berjalan menuju lemarinya ia membolak balikkan bajunya melihat tak ada baju yang cocok untuknya. Apa lagi dia sudah tidak punya gaun lagi. semua bajunya dominan baju cowok, yang sedikit longgar. karena memang dia tidak suka bodi tubuhnya terlihat dan akan mengundang nafsu para laki-laki yang melihatnya.
Akhirnya Jeni memutuskan untuk pakai celana ketat dengan kaos hitam agak longgar membuat Jeni lebih terlihat keren dan cantik dengan rambut masih terurai panjang.
Ia segera membuka pintu kamarnya turun menuju ruang tamu. Di sana keluarganya sudah menunggu dia. Ia tak sabar siapa sebenarnya tamu yang mama maksud tadi. Kenapa di lihat dari mobilnya sangat familiar baginya.
Ia turun dari tangga semua mata tertuju padanya. Bagaimana tidak semua berpakaian formal dan ada yang pakai gaun agar lebih anggun sedangkan jeni pakai kaos hitam pendek biasa agak longgar.
"Hallo, semua" sapa Jeni dengan senyum manisnya.
"Jeni kenapa kamu pakai kaos" Tanya papa nya yang melotot seakan sangat marah dengan ulah Jeni.
"Gak ada gaun," pungkas Jnei lirih.
Kini pandangannya tertuju pada lelaki di depan ayahnya yang sangat familiar di pandangannya.
" Edo?" Jeni membelalakan matanya melihat Edo di depan ayahnya. Dia terlihat sangat akrab dengan keluarganya. Dari tadi berbincang hingga bisa tertawa bersama.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Jeni masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Bukanya tadi kamu masih di cafe, dan sekarang kenapa bisa dnegan orang tuaku?" tanya Jeni penasaran.
" Kalian sudah saling kenal" tanya papa Jeni.
"Sudah om. Kenal akrab malahan " pungkas Edo menarik tangan Jeni duduk di sampingnya. Dia hanya tersenyum mengabaikan pertanyaan Jeni.
"Ya,syukurlah jadi perjodohan akan berjalan dengan mulus jika kalian sudah akrab" Pungkas papa Jeni dengan wajah nampak berbinar.
"Apa perjodohan?" Jeni di bikin syok seketika mendnegar kata perjodohan itu. Bagaimana tidak terkejut melihat siapa yang di jodohkan dengannya. OM mesum yang selalu mengganggunya.
"Iya, apa kamu gak setuju. Tapi setuju tidak setuju. Papa mau kamu menikah dengan Edo." jelas papa Jeni kala itu..
"Memangnya cinta bisa di paksa. Cinta itu bukan sepeda rusak yang di paksa terus di ayun masih bisa. Hanya perlu berbaikan dulu. Tapi cinta meski di perbaiki apapun jika memang tidak suka, tetap tidak suka," jelas Jeni mengeluarkan semua perasaanya.
"Jadi apa kamu tidak setuju?" tanya papa Jeni memastikam. wajahnya terlihat sangat serius.
"Pasti dia setuju om, mungkin sekrang dia lagi syok aja mendengar kata perjodohan" saut Edo membuat Jeni melirik tajam ke arahnya.
"Apa yang kamu katakan?" Bisik Jeni mencubit kecil paha Edo.
" Aaww.. sakit" desah Edo lirih.
" Jangan bilang seenaknya pada orang tuaku. Siapa bilang aku mau di jodohkan denganmu" Bisik Jeni membuat Edo terdiam seketika. Dia menginjak keras kaki Edo, seketika membuatnya terjingkat mengangkat kakinya.
"Kalian kenapa?" sambung mamanya.
"Sepertinya kalian sudah saling suka, ya?" goda mamanya.
"Gak papa ma??" Ucap Jeni dengan senyum terpaksa. Dia memalingkan pandangannya berlawanan arah.
"Jika kalian mau menikah makan bulan deoan selesai kamu ujian kalian menikah" Pungkas papa Jeni membuat mata jeni melotot seketika sekaan mau keluar.
"Paa! Aku gak mau" Ucap jeni mengerutkan bibirnya.
"Tidak bisa di ganggu gugat, Edo memilih kamu untuk menikah dengannya dari pada Linda maka dari itu kamu mau tidak mau harus menikah dengannya. Titik." pungkas papa jeni.
"Apa apaan kalian semua, aku gak mau" Jeni beranjak berdiri berlari menaiki tangga dengan air mata yang sudah tak bisa terbendung lagi.
"Jeni!" teriak mamanya mencoba menghentikan langkah Jeni.
"Sudah biarkan saja dia berpikir dulu, aku yakin lama lama ia mau menerimanya" ucap Papanya.
" Brakkkk" Jeni membanting pintu kamarnya membuat semua orang menatap ke atas .
"Mereka benar benar gak bisa mikirin perasaanku?? Apa mereka gak tau jika aku tidak suka perjodohan. Ini bukan jaman siti nurbaya lagi kenapa harus di jodoh jodohkan segala" Decak Jeni kesal melemparkan tubuhnya ke ranjang emouk miliknya. Ia tengkurap memeluk bantal dengan air mata yang sudah mulai jatuh membasahi pipinya.
"Semuanya jahat..." teriak eni melemparkan Bantalnya ke lantai.
"Kenapa bukan linda kenapa harus aku"
"Aku tidak perduli dengan harta, lebih baik aku menikah nanti dengan pilihanku sendiri belahan hatiku" decak Jeni beranjak duduk memeluk guling mendekapnya erat.
Ia masih terus berdecak kesal. Menggerutu gak jelas di kamar mengurung diri.
"Kenapa aku harus menikah dengan Edo" gumam jeni menarik tisu membersihkan ingusnya.