Bab 15 Diam-diam Masuk ke Kamarnya
Bab 15 Diam-diam Masuk ke Kamarnya
Di tengah pembicaraan antara Linda Vano dan Edo Jeni seolah mencoba untuk senyum di depan mereka meskipun terpaksa. Sebenarnya ia merasa sangat jijik melihat semuanya. Hingga hampir satu jam mereka seolah sudah saling akrab berbincang berbagai hal bercanda bersama terlohat seperti sudah kenal lama.
Jeni memiringkan bibirnya melempar wajah berlawanan Arah.
"Basi banget dia." gumam Jeni lirih.
"Eh Jen.. kenapa kamu dari tadi diam saja??" Pungkas Edo mencoba bertanya pada Jeni di depannya.
"Hehe..." senyum terpaksa pada Edo.
"Memangnya aku harus teriak teriak di sini biar gak diam gitu." pungkas Jeni dengan nada kentusnya.
"Ya, kan biasanya kamu bawel." Saut Vano melirik ke arah Jeni.
"Lagian kan sudah ada sepupuku yang sok Cantik itu." Jawab Jeni melieik ke arah Linda.
"Ya, tapi ayolah kita ngobrol bersama, tidak asyik kalau tidak ngobrol bersama." sambung Edo.
"Kalian lanjut saja sendiri. aku kan sudah biasa sendiri. Lagian aku bisa main game online lebih asik dari pada berbincang dengan pengganggu." Pungkas Jeni dengan senyum sinis melirik ke arah Alinda.
"Ini baru permulaan, Jeni aku akan merebut hati Vano kalau bisa aku akan segera perkenalkan di ke orang tua sekaligus ke keluarga besar kita." Batin Alinda dengan senyum semringai kemenangan Melirik ke arah Jeni.
"Sebenarnya mereka kenapa?" Bisik Edo pada Vano di sampingnya.
"Tak tau!" Jawab Vano yang terus menatap Jeni sibuk dengan ponselnya.
"Vano!" Pungkas Linda dengan panggilan menggoda . Ia berpindah tempat duduk di samping Vano.
Jeni kenggeram kesla melihat ulah Linda. "Benar-benar wanita murahan!" Batin Jeni melirik tajam ke arah Vano dan Linda.
"Bisa tidak, jangan dekat dekat" Pungkas Vano. Ia nampak sangat grogi harus berdekatan dengan wanita lain. Namun kecuali dengan orang yang ia sayangi dia berbeda lebih berani."
Linda memeluk tangan Vano menempelkan lengan vano ke dadanya, membuat vano merasa risih dengan perbuwatan Linda.
"Brakkk..." suara gebrakan meja membuat semua tercengang menatap Jeni yang tiba tiba berdiri berpindah tempat duduk ke belakang. Pandangannya seolah fokus dengan ponselnya.
"Kenapa dia?" Bisik Edo tepat di telinga akan Vano.
"Entahlah!!" Jawab Vano.
Edo segera mendekati Jeni duduk di sampingnya. Melirik apa yang di kerjakan Jeni.
"Kamu main itu juga?" Edo mencoba mengajak ngobrol Jeni.
"Iya ini permainan asyik dan seru banget, apa kamu juga main?" Jawab Jeni.
"Baiklah, ayo kita main bersama." Pungkas Edo yang mulai mengeluarkan ponselnya. Mereke asyik bermain game berdua. Melihat kedekatan Edo dan Jeni, Vano terlihat sangat tidak suka wajahnya terlihat Muram ia melepas kasar tangan Linda dari lengannya yang memang dari tadi terus mempet Vano.
"Kamu bisa tidak jangan menyentuhku?!" bentak Vano. Linda terdiam seketika wajahnya terlihat kesal menatap ke arah Jeni yang asyik bermain. Apa lagi mata Vano Tidak pernah berhenti menatap Jeni membuat ia semakin marah.
Hingga 2 jam berlalu suasana Vano dan Linda semakin canggung mereka hanya terdiam. Akhirnya Jeni memutuskan untuk pulang sendiri naik taxi. Sebanarnya Edo sudah menawarkan tumpangan buwat Jeni namun ia menolak dan lebih memilih naik taxi dan soal montornya ia sudah suruh bodyguard nya untuk ambil di rumah Vano.
Tidak saling menyapa Jeni langsung nyelonong gitu aja pergi ke ujung jalan mencari sebuah taxi. Tak butuh waktu lama sebuah taxi berhenti tepat di depannya.
"Jen tunggu!" Vano berlari berusaha mengejar taxi yang sudah melaju jauh di depannya.
Jeni menghentikan langkahnua, dengan napas sedikit ngos ngosan.
"Sebenarnya dia kenapa? Apa salahku hingga kau membuatnya marah denganku?" Gumam Vano mencoba mengatur napasnya kembali.
"Sebenarnya apa salahku? Apa karena Linda tadi?" Gumam Vano tak hentinya bertanya pada dirinya sendiri. Ia membalikkan badannya berjalan kembali ke arah Cafe. Ia sudah pasrah tak melanjutkan mengejar Taxi yang di tumpangi jeni karena sudah begitu jauh tak terjangkau olehnya.
Jeni POV
"Nyeselin banget Linda itu, rasanya ingin sekali aku menggaruk mukanya jambak-jambak rambutnya!" Gumam Jeni dengan memperagakan aksinya. Ia terlihat sangat kesal dengan tingkah laku linda yang selalu ikut campur urusannya bahkan setiap lelaki yang dekat dengan Jeni selalu di dekatin Oleh Linda.
" Pak.." panggil Jeni pada pak supir di depannya.
"Iya non?"
"Seumpama bapak melihat ada teman bapak yang keganjenan dan ingin merebut pacar bapak, menurut bapak enaknya di apain?" Pungkas Jeni dengan penuh amarah yang mulai membara. Seolah tangannya ingin sekali bertindak.
"Maaf, ya,non, sebelumnya. Kalau menurut bapak lebih baik jambak aja rambutnya biar tahu rasa." sopir Taxi itu tertawa kecil mencoba bercanda dengan Jeni.
"Dan satu lagi non harus balas dia dengan merebut orang yang dekat dengannya. Jika kita saling membalas maka dia akan merasa tersaingin dan terluka sama seperti apa yang kita rasain." Sopir itu melanjutkan ucapanya.
"Gitu, ya, pak... " Jeni nampak menimang nimang ucapan pak sopir. Kini sepertinya ia harus merubah semua penampilannya jauh lebih cantik lagi untuk membalas semuanya.
Jeni tertawa kecil membayangkan dirinya perlahan membalas perbuatan Linda. "Makasih pak sarannya." Ucap Jeni tersenyum manis.
Tak lama taxi berhenti tepat di depan rumah nya. Semua keluarga nampaknya sudah pulang tak ada satu mobil pun di sana.
"Kemana mereka?" gumam Jeni matanya memutar melihat sekelilingnya.
Ia berjalan masuk ke dalam rumah, melihat rumahnya nampak kosong. Ia melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya keluarganya tak ada di sana. Rumah nampak sepi, hening. Tetlihat tak ada tanda kehidupan di sana.
Tak lama salah satu pelayan berlari menghampirinya.
"Non Jeni." Sapa pelayan itu. membungkukkan badannya.
"Kemana semua orang pergi?" Tanya Jeni terlihat bingung tiba tiba seisi rumah menghilang.
"Semua ke restauran terdekat non." Jawab pelayan itu.
" Ou.. tumben amat mereka tidak makan di rumah." Gumam jeni lirih.
"Ya, sudah kalau begitu." Jeni berjalan masuk ke dalam kamarnya. Perlahan membuka pintu dengan terus berdecak kesal. Ia tak menyangka baru kali ini keluarganya pergi ke restaurant bersama tanpa ajak dia juga.
Ia menutup pintu kamarnya kembali. Pandangannya tertuju pada pintu balkon yang sudah terbuka.
"Kenapa terbuka?" Gumam Jeni berjalan mengendap endap menuju ke balkon.
Tiba tiba seseorang datang menutup ke dua matanya dari belakang.
"Siapa kamu?" pungkas Jeni menarik tangan kekar itu ke depan. Dan memutarnya ke belakang. Membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Ampun...ampun..." pungkas lelaki itu.
"Vano?" Jeni membelalakan matanya melihat Vano tiba tiba di depannya.
Ia mendorongnya melepas tangan Vano.
"Kenapa kamu bisa masuk ke rumahku?" Tanya Jeni berjalan duduk di kursi deoan meja belajarnya.
"Gampang bagiku mengetahui siapa kamu, di mana rumah kamu kamar kamu dan segalanya tentang kamu." Pungkas Vano berjalan duduk di atas ranjang. Ia mulai membaringkan tubuhnya di ranjang empuk milik Jeni.
"Eh.... jangan tidur di situ." Jeni beranjak berdiri menarik tangan Vano agar segera pergi dari kamarnya.
Tubuh Jeni yang mungil tak bisa mengimbangi tangan kekar Vano yang malah menariknya hingga berbaring di atas tubuhnya. Tak bisa menghindar Vano merengkuh erat pinggang Jeni membuatnya tak bisa berkutik.
"Lepaskan aku!!" jeni mencoba melepaskan rengkuhan tangan kekar Vano.
"Jangan bergerak, kamu tahu kan punyaku sangat sensitif jika kamu bergerak di atasnya entah apa yang terjadi." Gumam Vano mengnarik alisnya ke atas dengan tatapan menggoda pada Jeni.
"Shiiiittt.. Sialan!" pungkas Jeni. Ia hanya diam menatap mata Indah Vano yang tak bisa ia pungkiri.
"Di lihat dari dekat, ia sangat tampan." Batin Jeni.
Vano hanya diam terus menatap wajah cantik Jeni dengan tangan masih merengkuh erat pinggang Jeni.
"Ingat, Jangan bergerak!" Pungkas Vano mencoba mengingatkan Jeni yang mulai bergerak ingin melepaskan diri.