Bab 14 Diikuti Linda Wanita Murahan
Bab 14 Diikuti Linda Wanita Murahan
"Kita mau kemana?" Pungkas Jeni yang masih berdiri di depan pintu.
"Keluar."
"Udah tau kalau keluar, nih aja sudah di luar kan?" Ucap Jeni kesal.
Vano menghela nafas sejenak. "maksud aku keluar jalan jalan." pungkas Vano.
"Oh jalan... baiklah." Jeni berjalan mendahului Vano menuju ke montornya. Ia sudah bersiap memegang helm full ficenya di pinggang kanannya.
"Apa kamu mau naik montor?" Vano tak habis pikir dengan Jeni. Gadis cantik seperti dia sudah hobi balap. Dan kelakuannya juga sangat tomboy namun membuat ia kesemsem.
"Iya lah, kan aku bawa montor." Pungkas Jeni mengerutkan keningnya.
Vano menepuk keningnya, menggrlengkan kepalanya melihat keanehan pada diri Jeni.
"Lebih baik naik mobil , kamu sudah dandan cantik dengan gaun sexy seperti itu mau naik montor. Bikin pengguna jalan lain meleleh matanya melihat kemolekan tubuh kamu yang di umbar." pungkas Vano segera menarik tangan Jeni menuju ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat ia berdiri.
Ia seolah tak suka tubuh Jeni di umbar dan di lihat orang lain kecuali dia. Padahal kan mereka belum pacaran.
Jeni mendengus kesal tapi apa boleh buat ia menerima tawaran Vano. Karena memang ia butuh bantuan dia. " Cepat masuklah, apa kamu mau berdiri terus di situ" pungkas Vano dari dalam mobil yang sudah bersiap untuk mengemudi mobilnya.
Jeni memiringkan bibirnya memutar mata malas dengan segera masuk ke dalam mobil. Perlahan Vano mulai keluar dari rumahnya menuju ke suatu tempat.
" Oy . Ada apa kamu tiba-tiba datang mencariku. Kemarin kamu ngilang gitu aja di arena balap." Pungkas Vano yang fokus pada jalan di depannya.
"Memangnya tidak boleh?" Jawab Jeni Cuek membalas perbuatan Vano padanya tadi yang selalu bikin ia kesal.
Vano menghela nafas sejenak. " Anak ini di tanya baik baik malah nyolot gitu!" Batin Vano melirik ke arah Jeni.
"Bukannya tidak boleh cuma kemarin kenapa kamu tiba-tiba ngilang." Pungkas Vano mencoba untuk sabar menghadapi Jeni yang bikin ia pusing.
"Kemarin aku di cari mama aku, mereka pulang dari luar negeri," ucap Jeni.
"Sekarang aku hanya ingin bertemu aja." Jawab Jeni.
"Apa kamu kangen ciuman denganku atau kangen aku pegang seperti kemarin tertuju dalam kenikmatan." Pungkas Vano nampak terus terang pada Jeni . Wajah Jeni memerah seketika ia membuat Vano bergidik katakutan dengan tatapan tajam jeni menatap ke arahnya.
Vano terkekeh kecil, "hehe.. maaf tak usah di masukin hati." Pungkas Vano tersenyum tipis menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.
"Udah belum kamu bicaranya." Ucap Jeni Cuek.
"Sudah." jawab Vano menelan ludah.
Jeni terus terdiam ia berpikir bagaimana harus memulai pembicaraannya. Ia jadi minta tolong atau tidak . Entahlah ..
Pikirannya jadi pusing gara-gara soal perjodohan yang gak masuk akal yang tiba-tiba di ucap oleh ayahnya. Jeni berpikir jika dia masih kecil belum mempunyai pengalaman lagian masa depannya juga masih jauh belum siap untuk menikah muda.
"ARGGGG...." Jeni berdecak kesal memukul kepalanya berkali-kali. Vano hanya terdiam kebingungan melihat tingkah Jeni di sampingnya.
"Ini anak gila atau gimana sih?!" Batin Vano terus melirik ke arah Jeni.
Ia ingin sekali tanya namun takut di sengap oleh lebah sampingnya itu bahkan sengatannya dia lebih sakit dari lebah.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" mata Jeni melotot ke arah vano yang dari tadi cari kesempatan menatap Jeni.
"Siapa yang lihati kamu, jangan percaya diri gitu." pungkas Vano mengerucutkan bibirnya.
"Huuffft." Jeni terus berdecak kesal memalingkan pandannya ke pemandangan jalan yang nampak dari samping jendela mobilnya.
"Apa dia lagi menstruasi kenapa jadi sensitif begitu?" Batin Vano yang sudah tak berani menatap Jeni.
Hingga suasana mobil nampak sangat hening tidak ada satu kata yang keluar dari mulut mereka. Vano terkadang melirik ke arah Jeni yang dari tadi melamun dengan tatapan kosong.
Hingga sudah satu jam perjalanan Vano berhenti tepat di depan Cafe Cempaka langganannya bersama Edo. Entah sekarang Edo di dalam atau enggak.
Di sisi lain Alinda terus mengikuti mereka sampai di sebuah Cafe ia ingin tahu bagaimana wajah pacarnya Jeni yang di maksuk. Ia bersembunyi di balik mobil menunggu Jeni dan Vano masuk ke Cafe lebih dulu.
"Kamu mau turun tidak?" Pungkas Vano membuka pintu mobil Jeni.
"Iya ini juga turun." Jawab Jeni masih terlihat sangat kesal. Ia berjalan nyelonong masuk lebih dulu meninggalkan Vano yang masih berdiri di samping mobil.
"Sebenarnya tuh anak kesambet setan apa kenapa jadi lesu muram gitu wajahnya?" Batin Vano yang mulai berjalan mengikuti langkah Jeni.
"Jalan cepetan dikit kenapa Om?" Pungkas Jeni.
"Ini juga sudah cepat." jawab Vano mulai berjalan lrbih cepat lagi.
Alinda POV
"Jadi itu pacarnya ternyata ganteng juga kenapa aku tidak deketin dia aja ya. Lumayan buat di kenalin ke orang tua." Pungkas Alinda di balik mobilnya.
"Lebih baik sekarang aku harus berdandan lebih cantik lagi agar dia terpesona denganku?" Alinda segera mengelurakan peralatan make up nya di tas sampingnya.
Linda gadis yang sangat feminim di bandingkan Jeni yang selalu tampil polos tanpa balutan make up tebal menutupi wajah cantiknya.
Kemanapun Linda pergi tak lupa dari bedak lipstik dan sebangsanya. Ya itu kebiasaannya dari dulu udah mendarah daging dalam dirinya tak bisa di hilangin lagi.
"Udah cantik , waktunya beraksi." pungkas Linda.
Sebelum turun ia menata poni rambutnya dengan jemari lentiknya agar terlihat lebih rapi. Lalu ia segera membuka pintu mobilnya. Dan menutupnya kembali.
Ia berjalan masuk ke dalam Cafe dengan penuh pesona membuat para pengunjung menatap ke arahnya namun tiak dengan Vano yang masih Fokus dengan wajah Jeni di depannya.
"Vano.. Jeni!" Teriak Edo dari balik pintu berlari mendekati mereka tak sadar ia menabrak Alinda yang berdiri di tengah jalan menghalangi langkahnya.
"Brukkk..." Alinda tersungkur ke lantai membuat semua mata oengunjung terarah padanya.
Jeni menahan tawanya melihat Linda di tersenungkur ke lantai. "Makanya jadi perempuan jangan kecentilan." Gumam Jeni tersenyum tipis seakan hatinya merayakan kemenangan.
"Maaf ..maaf" Pungkas Edo mencoba menolong Linda .
Linda menepis uluran tanga Edo.
"Eh kamu kalau jalan lihat-lihat dong" Bentak linda.
"Eh kenapa kamu yang marah? Udah mending aku yang nolong kamu. Makanya kalau melamun jangan di tengah jalan!" Edo beranjak pergi dengan perasaan kesalnya tanpa perdulikan Linda lagi.
"Ih... dasar tu Cowok belagu banget udah salah malah ikutan marah-marah lagi" Decak Linda kesal ia membanting tasnya di lantai berkali kali.
Jeni berjalan mendekati Linda mengulurkan tangan ke arahnya dengan senyum tipis seakan dia mengejek habis Alinda.
" Eh... jatuh ya.. mau aku bantu?" Pungkas Jeni lirih menarik ke dua alinya ke atas dengan senyum kecutnya.
"Hemm.. aku tak perlu bantuan dari kamu, Aku bisa berdiri sendiri." Alinda menepis tangan Jeni membuat semua orang di kafe geram dengan ulahnya.
"Belagu sekali perempuan itu, udah di tolong, tidak tau terima kasih." Pungkas salah satu pengunjung Cafe.
"Iya sok cantik pula." Saut yang lainnya.
"Tapi dia memang cantik." saut seorang lelaki.
"Apa kamu bilang, dia cantik kalau gitu aku gimana. Sudah sekarang ayo kita pulang." kekasihnya nampak marah menaeik telinga lelaki itu keluar dari cafe.
"Gimana masih mau nerima gak? Kalau tidak, aku pergi sekarang." pungkas Jeni menarik bibirnya sedikit.
Alinda mengerutkan bibirnya dengan terpaksa menerima uluran tangan Jeni. Karena seolah semua pengunjung cafe menatapnya jijik ingin sekali memukulnya.
Mereka berjalan menuju ke arah tempat Edo dan Vano duduk.
"Kamu kenal dia?" Tanya Vano nampak menatap Alinda dari atas hingga bawah.
"Iya, dia sepupuku." Jawab Jeni melirik tajam ke arah Alinda. Lalu perlahan duduk di kursinya.
"Mereka kalau di lihat dari dekat sama-sama sexy. Lihat bola mereka sama merekahnya, membuat mata ku tak berhenti menatap." bisik Edo pada Vano di sampingnya.
"PLAKK..." Vano memukul kepala Edo.
"Pikiranmu terlalu kotor, apa perlu aku cuci sekarang?!" Jawab Vano melirik tipis ke arah Edo.
Alinda nampak tak punya muka dia benar benar sangat pecaya diri mengajak Vano kenalan lebih dulu.
"Hai.. aku Alinda panggil saja aku Linda." Pungkas Linda mengulurkan tangannya.
"Aku Vano dan ini Edo pungkas." Vano menerima uluran tangan alinda dengan senyum manisnya.
"Dasar mata lelaki sama aja." Batin Jeni mengerutkan bibirnya melempar wajahnya berlawanan arah seolah jijik mendengar perkataan Linda.