Bab 11 Menang Balap
Bab 11 Menang Balap
Semua perkumpulan balap sudah satu demi satu membubarkan diri. sedangkan Vano mencoba mencari Jeni ia berlari ke sana kemari. Namun tak menemukan nya. Vano masih tak menyangka jika Jeni lah yang selama ini di idolakan para Racing dan di takuti oleh pembalap lain. Kemampuannya sungguh di luar dugaan Vano. Benar benar gadis luar biasa bagi Vano beda dengan yang lain.
Bahkan Vano sadar kemampuannya jauh di atas rata rata dia. Benar benar pertunjukan yang menganggumkan membuat Vano benar benar tak bisa berkata lagi. Ia hanya melotot membuka mata lebar lebar menyaksikan aksi Jeni yang begitu sempurna. Dan tak menyangka seorang gadis kecil masih di bawah umur benar benar mahir dalam dunia balap.
Namun kini ia bingung harus mencari jeni di mana. Matanya tak pernah berhenti beputar arah untuk mencarinya.
"Jeni kamu di mana?" Teriak Vano berjalan menerobos kerumunan para pendukung yang sudah berjalan ingin pulang.
Vano menatap Edo yang Berdiri di tengah kerumunan begitu banyak anak muda. Ia terlihat bingung mencari seseorang.
"Eh.. Edo kamu lihat Jeni tiak??" Vano menepuk pundak Edo membuat nya berjingkat terkejut.
"Kenapa kamu selalu mengejutkanku?" Edo memegang dadanya yang masih dag dig dug di buatnya. Dia terkejut kedatangan Vano tiba tiba di sampingnya.
"Aku tidak melihat dia berhenti tadi, apa dia pergi?" kata Edo .
"Entahlah. Aku juga tidak melihat dia dari tadi." Vano terlihat Bingung wajahnya mulai terlihat muram. Bagaimana tidak Jeni sosok yang bisa membuat dia senyum saat ada masalah saat ini. Ya, tapi sekarang dia benar benar pergi.
"Tapi siapa sebenarnya dia? Kenapa tiba- tiba pergi begitu saja?" Batin Vano dengan tatapan kosong mengarah ke depan. Matanya tertuju pada dio hang mulai berjalan mendekatinya.
"Ini kunci montorku." Saut Dio yang tiba tiba muncul di depan Edo dan Vano. Ia melemparkan kunci montornya pada Vano dengan wajah sangat kesal. ia masih belum terima kalah dari Vano. Sifat ingin berkuasanya mulai muncul. Kali ini dia tidak mau kalah lagi dengan Vano.
Vano tersenyum kecut, "aku tidak butuh motormu." Pungkas Vano nengulurkan kunci montor Dio.
"Buat aku saja." Saut Edo meraih kunci montor di tangan Vano.
"Baiklah terserah kalian ambilah, tapi aku merasa sudah menang dari kamu Vano bisa mendaptakan hati Vivi dari kamu." sambung Dio dengan senyum liciknya bertaburan . Ia membalikkan badan memeluk Vivi berjalan pergi meninggalkan Vano yang terlihat wajahnya sudah mulai memerah.
"Sudahlah lagian wanita tak cuma Vivi di dunia ini." Edo menepuk pundak Vano mencoba memberi semangat temannya yang terlihat sudah mulai ingin menonjok Dio.
Vano menatap tajam ke arah Dio dengan kedua tangan mengepal sangat erat. Wajahnya terlihat sudah mulai memerah seketika Seolah ingin rasanya memukul habis Dio. Namun ia tidak mau berbuwat kasar di depan seorang wanita. Dan lagian juga ada sosok teman yang selalu memberi semangat saat dia benar benar terpuruk.
"Sudah ayo kita pergi." Ucap Vano. Kini mood nya sudah mulai hilang. Ia tidak mau merayakan kemanangan itu apa lagi tanpa ada Jeni sosok yang membuat dia menang dalam taruhan.
"Apa kamu tidak mau bersenang senang dulu."
"Kamu pergi saja sendiri!" pungkas Vano dengan wajah nampak lesu berjalan menuju ke montor ninjanya yang tak jauh dari ia berdiri hanya beberapa langkah.
"Iya, memang orang kalau sudah galau susah di ajak nongkrong." decak Edo kesal. Ia menggelengkan kepalanya berjalan pergi berlawanan arah dengan Vano.
Vano terlihat muram tak seceria biasanya ia berjalan dengan tatapan kosong menaiki montornya. ia segera Menyalakan montornya menarik gas secara perlahan. Ia masih teringat tentang Vivi dan di sisi lain ia juga teringat tentang Jeni yang tiba tiba pergi saat selesai balap.
Lamunannya terhenti menderdengar ponsel Vano berbunyi di balik saku celananya. Ia segera berhenti di bahu jalan mengambil ponselnya. Matanya melotot seketika ketika tahu siapa yang menelfonnya.
"Mama?"
"Gawat, pasti mama sudah pulang!" Decak kesal Vano.
Ia segera mengangkat telpon mama nya kalau tidak pasti mama nya akan teriak teriak seperti orang kesurupan gak jelas.
"Vano, kamu di mana sekarang?" teriakan mamanya menggelegar membuat Vano sontak menjauhkan ponselnya dari telinganya.
"Semoga gendang telingaku tidak pecah." decak Vano memegang telinganya yang mulai berdenging.
"Apa kamu bilang?" ucap Mamanya dengan nada semakin tinggi. Pendengarannya sangat tajam membuat nya bisa mendengar suara Vano meskipun sangat pelan.
"Maksud aku tadi. Ada apa ma??" Pungkas Vano lirih tersenyum tipis mencoba berbohong.
"Kamu cepat pulang sekarang kalau tidak mama akan membawa mu ke rumah teman mama."
"Aku udah di jalan sekarang, kalau mama terus bicara kapan aku sampai rumahnya." Vano menutup telfonnya sekatika. Melanjutkan perjalananya lagi. Kini ia mulai menarik gas nya lebih cepat agar sampai di rumah tepat waktu.
Jeni POV
Hanya butuh waktu 30 menit Jeni sampai di depan rumahnya. Ia segera turun dari montornya melepas helm full fice yang ia pakai hingga terurai rambut panjang sepunggung miliknya. Ia menyisir rambutnya dengan jemari jemarinya sampai ujung rambut Ia berjalan masuk ke dalam rumah yang sepertinya sudah terbuka.
"Aneh kenapa pintunya terbuka?"
Jeni berjalan penuh ragu, " masuk gak.. masuk" decak Jeni mengehela nafas memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah yang begitu megah. Dia berjalan perlahan mengendap endap menatap sekelilingnya yang terlihat sangat gelap. Ia tidak melihat sama sekali . Semuanya sepi tak ada satu pelayan pun yang keluar dan anehnya rumahnya sangat sepi bak kuburan.
"Ini rumah apa goa hantu?" gumam Jeni berjalan masuk mencoba menyalakan lampu.
Matanya terkagum seketika melihat apa yang ada di depannya.
"Happy birthday!" suara yang begitu riuh meriah ia tak menyangka semua pelayan dan orang tuanya ada di rumah menyiapkan semuanya pesta kecil kecilan untuknya.
"Mama! Ayah!" Matanya sudah mulai berkaca kaca Jeni berlari memeluk ke dua orang tuanya. Meluapkan tangisan kebahagiaan.
"Maafin mama ya nak, mama baru bisa rayain ulang tahun kamu meskipun telat 2 hari." Mamanya mengusap rambut Jeni.
" Tidak apa Ma. Jeni kira mama sakit beneran. Jeni kan tidak mau mama sakit." Ucap Jeni meluapkan tangisannya seperti anak kecil yang haus kasih sayang orang tuanya.
"Dan ada sebuah kado kecil dari ayah." Pungkas ayahnya. Jeni melepaskan pelukannya seketika, menyeka air mata dengan punggung tangannya.
"Mana?" Pungkas Jeni mengulurkan telapak tangannya.
Sebuah kunci mobil di letakkan di telapak tangannya. Membuat jeni melotot seakan bola matanya mau keluar. Gimana tidak ia biasa balap mobil saja harus diam diam pakai mobil temannya. dan kini di kasih kejutan tak terduga dari ayahnya.
"Berarti ayah dukung aku ikut balapan mobil lagi dong??" Rayu Jeni memainkan kelapak matanya dengan tatapan centil nya.
"Tetep gak boleh apa lagi balap montor ayah juga tidak bakalan ngizinin kamu." pungkas ayahnya. Semua mulai merayakan ualng tahun Jeni. Jeni mulai memetong kue dan nyuapin ke dua orang tuanya.
Seperti keluarga yang 10 tahun tak bertemu. Mereka benar benar meluapkan rasa rindunya. Apa lagi Jeni adalah anak tunggal.
"Besok kita akan mengadakan pertemuan pada semua kekuarga kita." Ucap Ayahnya membuat semua terdiam seketika. Termasuk Jeni yang semula senyum raut wajahnya mulai berubah. Jeni tidak erlalu suka dengan keluarga adik ayahnya entah kenapa dia memang gak suka dari awal.